Transmigran Hitam Ulu mendapat lahan 0,25 Ha untuk lahan pekarangan, 1 Ha untuk lahan pangan serta 2 Ha untuk lahan Perkebunan. Para transmigran mulai menempati lahan semenjak tahun 1979 sampai dengan Tahun 1983.  Warga transmirasi Hitam Ulu berasal dari penduduk Kabupaten Pekalongan, Kendal, Purworejo, Grobogan, Sekitar Provinsi Jawa Timur, Sekitar Provinsi Jawa Barat, Bandung dan Intransum ABRI Diponegoro.

[table id=1 /]

Diawal penempatan, ketika LU 1 belum menghasilkan, para transmigran mendapat jaminan hidup dari pemerintah berupa beras 50 Kg, ikan asin 5 Kg, minyak goreng 3 Kg, minyak tanah 8 liter, garam 2 Kg, sabun cuci batangan serta peralatan dapur.

Dalam mengelola LU 1, pemerintah juga memberikan bantuan bibit padi sebanyak 30 Kg, bibit tanaman pekarangan 20 batang, pestisida dan racun tikus/babi 3 Kg, pupuk urea dan TSP 3000 Kg serta kapur pertanian.  Para transmigran harus belerja keras dalam memanfaatkan LU 1 karena sebagian besar mereka menerika LU 1 masih banyak tunggul-tunggul kayu dan batang-batang kayu yang masih belum di chipping.

Pada awalnya LU 1 ditanam dengan tanaman kebutuhan pokok seperti padi, cabe, singkong, ubi rambat, terong, bawang putih, bawang merah dan berbagai jenis palawija. Tahap ini dikenal dengan tahap konsolidasi dan tahap konsolidasi ini berlangsung sekitar sampai tahun 1984.

Setelah melewati tahap konsolidasi, para transmigran ini memasuki tahap pengembangan. Pada tahap ini pemerintah berupaya mendorong terbentuknya koperasi unit desa (KUD), pembinaan pendidikan, kesehatan dan keluarga berencana, serta mulai dibentuk perangkat desa sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Pada tahap ini juga pemerintah berupaya merintis hubungan dengan pihak swasta terutama dalam mengembangkan LU 2 yang sama sekali belum tersentuh pembangunan.

Untuk pembangunan Lhan Usaha 2 (LU 2), pemerintah pada tahun 1987, meminta PT Sari Aditya Loka-1 (SAL-1) untuk membantu pelaksanaan program transmigrasi untuk memfasilitasi pembangunan kebun plasma (PIR-TRANS) untuk 6,600 KK seluas 13,221 Ha (realisasi). Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 353/ Kpts / KB.510 / 6 / 1987 yang menunjuk PT SAL-1 sebagai pelaksana program pengembangan PIR Trans Kelapa Sawit di Daerah Rantau Panjang Tabir, Kabupaten Sarolangun Bangko dan wilayah Muara Bungo, Kabupaten Bungo Tebo Provinsi Daerah Tingkat I Jambi.

Persiapan pembangunan kebun plasma dilakukan dalam kurun waktu 2 tahun dari 1987 hingga 1989. Pola yang diterapkan adalah Operasional dengan PT 100% artinya seluruh kegiatan operasional mulai dari pembukaan lahan, produksi hingga penerimaan TBS di PKS dikelola seluruhnya oleh PT SAL-1. Dari pola tersebut ditetapkan dengan komposisi perhitungan pembagian hasil panen yaitu 45% untuk biaya operasional, 45% untuk cicilan ke bank, dan 10% untuk fee petani sebagai pemilik lahan. Realisasi pembangunan kebun plasma oleh PT SAL-1 adalah seluas 13.221 Ha dan diikuti oleh 6.591 orang petani. Pola kemitraan ini selesai / lunas dalam kurun waktu tahun 1998-2004.

Namun demikian pada rentang tahun 2001-2003, sekitar 1060 Ha lahan yang diperoleh dari sisa Lahan Usaha II diperuntukkan sebagai kebun dengan pola KKPA (Kredit Koperasi Primer Anggota) sehingga HGU PT SAL-1 pada tahun tersebut seluas 5.171 Ha. PT SAL-1 hanya menggunakan cadangan lahan seluas 5.171 Ha untuk menjadi HGU. Sedangkan lahan seluas 1060 ha yang berasal dari sisa lahan usaha II dikembalikan kepada Pemerintah Kabupaten Merangin (Berdasarkan Surat Administratur PT SAL-1 kepada Gubernur KDH Tingkat I Jambi Nomor 244/ADM/SAL-1/IX/2000, agar dapat diberikan kepada masyarakat sekitar termasuk kepada warga Melayu dan Suku Anak Dalam dalam bentuk Kebun KKPA. Kesepakatan di Kantor Gubernur Jambi pada tahun 2000 telah memutuskan bahwa PT SAL-1 akan mengembalikan lahan seluas 1060 ha kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Merangin agar dapat dimanfaatkan untuk masyarakat melalui pola KKPA.  Proyek KKPA ini dikelola oleh Koperasi Unit Desa (KUD) Bangun Setia. Dari sinilah interaksi pertama kali antara PT SAL-1 dengan Suku Anak Dalam.

Bagi peserta yang berasal dari Suku Anak Dalam mereka harus memenuhi syarat bahwa calon penerima program KKPA wajib mendiami rumah yang disediakan pemerintah. Bupati Sarolangun saat itu mengeluarkan Surat Keputusan nomor 299 tahun 2002 mengenai penunjukkan petani KKPA bagi peserta yang berasal dari Kelompok Suku Anak Dalam . Pemerintah menetapkan 50 KK untuk 100 Ha lahan yang diperuntukkan bagi Suku Anak Dalam. Namun demikian tidak semuanya mau mengikuti program KKPA dan hanya 36 KK yang mengikuti sedangkan 14 KK yang lain tidak mau mengikuti program karena tidak bersedia untuk hidup menetap dengan menempati rumah. Namun demikian lahan KKPA yang telah diberikan kepada Suku Anak Dalam pada prosesnya digadaikan dan dikontrakkan  kepada masyarakat lain sehingga perusahaan sebagai operator tidak dapat melaksanakan kegiatan di kebun tersebut seperti panen dan rawat. PT SAL-1 telah berupaya membantu untuk mengembalikan lahan tersebut kepada Suku Anak Dalam dengan mengganti biaya gadai / biaya kontrak yang telah disepakati. Akan tetapi akhirnya semua peserta yang berasal dari komunitas Suku Anak Dalam menjual lahan di bawah tangan tanpa sepengetahuan dari perusahaan maupun pihak KUD yang menaungi program KKPA. Pada tahun 2005 terdapat penambahan luas HGU PT SAL-1 di Inti 2 sebesar 308,5 Ha sehingga total luas HGU yang diusahakan oleh PT SAL-1 saat ini adalah 5479,5 Ha.

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *