Jalaluddin, diakui oleh komunitas suku Anak Dalam di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas, sebagai pewaris Jenang yang dianggap oleh komunitas Suku Anak Dalam, sebagai tempat mengadu, tempat memecahkan berbagai persoalan yang menimpa komunitas Suku Anak Dalam. Menurut Jenang Jalaluddin, sepengetahuan beliau, Jenang pertama bernama Abdul Latif, atau lebih dikenal dengan nama Jenang Selatih. Setelah Jenang Selatih meninggal, posisi jenang digantikan oleh Jenang Baharuddin (Kakek Jenang Jalaluddin).
Setelah Jenang Baharuddin (Jenang Bahar) meninggal dunia, semestinya yang menggantikan jenang adalah Nasir, anak Jenang Bahar. Namun demikian Nasir ini menetap di Jakarta, padahal sewaktu Nasir masih kecil, Nasir sudah banyak mengenal kehidupan komunitas suku anak dalam, karena sering bepergian dengan Jenang Bahar. Posisi Jenang kemudian digantikan oleh Ismail, anak dari saudara perempuan Jenang Bahar. Akan tetapi Jenang Ismail ini hanya menjabat posisi Jenang selama lebih kurang dua tahun. Tidak dijelaskan oleh Jenang Jalaluddin, alasan dari berhentinya Jenang Ismail ini.
Sekitar Tahun 2015, Pemerintah Kabupaten Sarolangun mengangkat Jenang untuk komunitas Suku Anak Dalam. Nama Jenang yang dilantik pemerintah ini adalah M. Azzek. Jenang Azzek, tidak mendapat legtimasi dari beberapa tokoh suku anak dalam, karena berbagai alasan. Menurut Jenang Jalaluddin, beberapa tokoh yang datang secara pribadi kepada beliau seperti Nggrip, Ngandum (Pamusai) Tarib (Jailani), Betaring, meminta agar Jalaluddin bersedia memangku jabatan Jenang, karena Jalaluddin adalah keturunan dari Jenang, mulai dari Selatih sampai ke Jenang Bahar. Apalagi beberapa benda pusaka Jenang seperti keris tanpa gagang dan tongkat rotan manau, masih berada pada keluarga Jalaluddin.
Diakui oleh Jenang Jalaluddin, bahwa benda pusaka ini merupakan media komunikasi antara Jenang dengan komunitas Suku Anak Dalam, terutama para Temenggung. Benda-benda lain yang menjadi media komunikasi antara Jenang dengan para Temenggung adalah baju, topi/kopiah, dan simpul rumput. Masing-masing benda ini menunjukkan tingkat kepentingan yang berbeda. Misalnya keris, jika para Temenggung menerima kiriman keris dari pembawa pesan, maka ini berarti bahwa detik itu juga Temenggung harus berangkat menuju Jenang, karena ini menyangkut kepentingan nyawa manusia. Menurut Jenang Jalauddin, media komunikasi ini berlaku bagi suku anak dalam di kawasan Bukit Duabelas, yang menurut selokonya Tanah Garo Pangkal Wari, Sungai Serengam Ujung Waris, Air Hitam Tanah Bejenang.
Sejarah “Jenang” juga dinukilkan oleh Tengganai H Jailani, bahwa dulunya Suku Anak Dalam tidak mengenal Jenang. Akan tetapi ketika penjajah masuk ke Air Hitam, ada sosok Abdul Latif tampil membela komunitas Suku Anak Dalam dari keinginan penjajah (Jepang) untuk memperlakukan Suku Anak Dalam sebagai tenaga kerja paksa dan melindungi kaum wanita dari hasrat untuk memperkosa Suku Anak Dalam. Semenjak itu sosok Abdul Latif dianggap sebagai “Bapak/Pelindung atau Jenang” oleh Suku Anak Dalam.