Pos

Istilah Benang Tigo Sepilin (BTS) akan ditemui ketika ada proses pengambilan keputusan baik keputusan yang menyangkut penyelesaian suatu masalah di desa maupun keputusan yang berkenaan dengan perencanaan pembangunan desa. BTS merupakan wadah pengambilan keputusan yang sudah ada di desa BPJ sebelum BPJ ditetapkan sebagai desa defenitif. Wadah pengambilan keputusan ini boleh jadi merupakan suatu isntitusi atau aturan main dari suatu komuniti dan boleh jadi juga merupakan organisasi karena ada pemain atau pelaku-pelakunya.

Unsur-unsur BTS ini terdiri dari: Pertama, unsur aparat pemerintah desa (Kades, Sekdes, Kaur dan Kadus). Kedua, unsur tokoh-tokoh adat (Rio Niti sebagai pucuk pimpinan adat, Dt Gedang Sat, Dt Kampung Sat dan Dt Paduko Kayo). Dan Ketiga, Unsur tokoh-tokoh agama / syara’ (Imam, Khatib dan Bilal). Karena harus ada tiga unsur ini dalam pengambilan keputusan maka wadah ini disebut juga dengan Benang Tigo Sepilin atau Tigo Tungku Sejarangan. Makna dari BTS ini adalah jika salah satu unsur tidak ada, maka keputusan tidak dapat dibuat. Ibarat memasak nasi, jika hanya ada dua tungku untuk menjerangkan periuk, maka periuk jelas tidak dapat diletakkan di atas dua tungku tersebut dan tentunya nasi tidak dapat dimasak.

Pengamatan sepintas dari Tim Studi terhadap BTS desa BPJ adalah bahwa telah terjadi keretakkan dari unsur-unsur ini. Dengan kata lain pilinan benangnya sudah tidak kuat lagi atau tungku-tungku yang tigo sudah goyah. Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh tidak kuatnya pilinan benang ini terlihat dari pengabaian warga terhadap sangsi yang dijatuhkan jika warga berbuat salah. Akibat lain misalnya terhambatnya beberapa proses pembangunan seperti pembangunan PLTA mikro terutama yang membutuhkan swadaya tenaga masyarakat.

Diduga bahwa melemahnya pilinan benang ini dikarenakan oleh tidak konsistennya unsur ini dalam melaksanakan keputusan ataupun menerima sangsi terhadap pelanggaran tertentu, seperti kata petitih tongkat yang membawa rebah atau pagar makan tanaman. Ketidak konsistenan ini terlihat dari adanya pilih kasih unsur-unsur ini terhadap sangsi yang dijatuhkan, terutama bila yang dikenai sangsi adalah keluarga maupun keponakan mereka sendiri. Kondisi pilih kasih dalam menjalankan sangsi ini tentunya menjadi pelajaran yang berharga bagi warga desa. Ungkapan-ungkapan warga desa seperti ungkapan si Anu salah tidak dikenai sangsi karena si Anu adalah keluarga BTS, mengapa pula saya harus di berikan sangsi jika salah, adalah ungkapan yang mencerminkan kurangnya kepercayaan dan penghargaan warga terhadap BTS ini.

Keretakkan BTS karena kepentingan-kepentingan pribadi unsur-unsurnya dan ketidak konsistenan BTS dalam menjalankan keputusan, merupakan kendala besar yang akan dihadapi oleh desa dalam menjalankan setiap program pembangunan ke depan. Mengapa tidak, BTS yang jika dipinjam istilah Foley dan Edwards (1999) merupakan modal sosial yang memungkinkan terjadinya kapasitas lokal yakni suatu kemampuan komunitas untuk memecahkan masalah mereka secara kolektif, telah menipis di desa BPJ. Dapat dibayangkan jika institusi dan organisasi pengambilan keputusan terutama untuk memecahkan masalah-masalah bersama sudah mengabur ataupun menipis, maka desa BPJ tidak akan dapat memainkan perannya sebagai desa otonom seperti yang dikehendaki oleh UU no 22 tahun 1999.