Tulisan ini disalin ulang oleh LSM PRAKARSA MADANI dari Laporan Peninjauan II Saudara Ali Ibrahim, Mahasiswa Jurusan Ilmu Pendidikan dan Pekerjaan Kemasyarakatan FKIP Univ. Padjadjaran, Bandung, Tahun 1962.
I. Kekuasaan Tertinggi.
Kekuasaan tertinggi dipegang oleh suatu majelis yang terdiri dari tujuh orang. Ketujuh orang itu sama tinggi kedudukannya. Majelis ini bernama “Datuk Berempat – Menti Bertigo”. Datuk berempat melambangkan bahwa negeri ini ada hubungannya dengan “Basa Ampek Balai” di Minangkabau. Menti Betigo melambangkan bahwa penduduk negeri ini terdiri dari tiga alur. Datuk Berempat – Menti Betigo jumlahnya tujuh orang: angka tujuh ini hikmahnya untuk mengimbangi “Piagam nan Tujuh Pucuk” di Kerinci.
Datuk Berempat berasal dari keluarga Datuk Putih dan keluarga Datuk Mangkuto Marajo. Yang berasal dari keluarga Datuk Putih ialah Datuk Penghulu Mudo dan Datuk Penghulu Kayo. Dan yang berasal dari keluarga Datuk Mangkuto Marajo ialah Datuk Bandaro Kayo dan Datuk Majo Bantan.
Masing-masing Datuk Berempat mempunyai wakil:
- Wakil Datuk Penghulu Mudo ialah Rajo Mananti
- Wakil Datuk Penghulu Kayo ialah Sempono Kayo
- Wakil Datuk Bandaro Kayo ialah Rajo Malendan
- Wakil Datuk Majo Bantan ialah Rajo Malintang
Keempat orang wakil ini disebut “Anak Gadang nan Berempat”. Mereka adalah anak timangan Datuk Berempat. Diibaratkan sebagai burung perkutut diujung jari: makan di tapak tangan, mengisap ka ujung kuku.
Menti Batigo diangkat dari orang Batin: diantaranya dari keluarga Depati Muara Langkap. Ketiga orang Menti itu masing-masing bergelar : Rio Niti, Rio Gemalo, dan Rio Sari*.
Antara Datuk Berempat Menti Betigo, haruslah diciptakan kerjasama yang sebaik-baiknya. Hal ini sinyatakan dengan kata-kata adat yang berikut:
Datuk Berempat sebagai Bapak,
Menti Betigo sebagai Induk,
Belalang Datuk Berempat,
Padang Menti Betigo
Merebah Datuk Berempat,
Cemeteh Menti Betigo
Peti nan begawang pada Menti nan Betigo
Anak Kuncinyo pada Datuk nan Berempat.
Dibawah Datuk Berempat Menti Betigo ini, kalau yang dinamakan “Nan Bejenjang Naik, Betanggo Turun” yaitu ninik mamak-ninik mamak yang masing-masingnya mengepalai sebuah kampung. Merekalah yang merupakan badan eksekutif yang langsung berhubungan dengan anak kemenakannya.
Jabatan Datuk Berempat Menti Betigo dan Nan Bejenjang Naik, Betanggo Turun ini, diwariskan menurut garis ibu; jadi kepada kemenakan. Jika menurut garis ibu tidak ada lagi yang patut, barulah jatuh kepada anak dengan jalan meresmikan secara adat.
II. Pembagian Tugas
Untuk memudahkan jalannya pemerintahan, maka diadakanlah pembagian tugas. Demikianlah Datuk Berempat Menti Betigo disamping menjadi anggota majelis tertinggi, ketujuh orang tersebut merangkap pula tugas-tugas tertentu:
- Datuk Berempat
- Datuk Penghulu Mudo, disamping menjadi anggota majelis tertinggi ia bertugas mengurus hubungan dengan negeri lain dan mengurus orang-orang yang keluar masuk.
- Datuk Penghulu Kayo, disamping menjadi anggota majelis tertinggi ia bertugas mengurus keramaian-keramaian yang diadakan, nan taisak-isak dilebuh.
- Datuk Bendaro Kayo, disamping menjadi anggota majelis tertinggi, ia bertugas mengurus perkara-perkara kejahatan seprti pembunuhan, perkelahian dan sebagainya. Menurut kata-kata adat urusan Datuk Bendaro Kayo ini disebut: darah teserak, daging tekuak.
- Datuk Rajo Bantan, disamping menjadi anggota majelis tertinggi, ia bertugas mengurus pertambangan. Atau ada orang akan membuka tambang emas, haruslah diberitahukan kepadanya terlebih dahulu. Menurut kata-kata adat urusan Datuk Bendaro Bantan ini disebut: ditebat nan tegenang, dibandar nan tajelo.
- Menti Betigo
Menti Betigo disamping menjadi anggota majelis tertinggi, masing-masing mereka bertugas menjadi Kepala Dusun (Rio) yang diberi kekuasaan untuk memerintah beberapa buah kampung yang berpusat di Dusun tempat kedudukan masing-masing Rio tersebut.
Selain dari itu mereka bertugas pula mengurus “air beralih, pulau menjurung” (maksudnya ialah tanah-tanah pertanian yang diruntuhkan oleh aliran sungai yang berubah-0ubah dan kemudian dapat dijadikan tanah pertanian kembali bila tanahnya telah timbul) dalam daerah masing-masing.
- Rio Niti, berkedudukan di Dusun Baru dan ia bertugas mengepalai serta mengurus Kampung nan IV.
- Rio Gemalo, berkedudukan di Dusun Nangko dan ia bertugas mengepalai serta mengurus Orang Tigo Alur.
- Rio Sari, berkedudukan di Dusun Sungai Jering dan ia bertugas mengepalai serta mengurus Kampung VIIIg
III. Agama
Untuk mengurus hal-hal yang berhubungan dengan agama, diangkat tiga orang pegawai agama:
- Imam
- Khatib
- Bilal
IV. Pengawas
Untuk mengamat-amati jalannya Undang-undang Adat, diangkatlah seorang pengawas yang diberi gelar “Rajo Malenggang”. Dialah yang akan mengetahui lebih dahulu jika ada dalam masyarakat terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-undang Adat. Rajo Malenggang berkewajiban memneri laporan kepada sidang Datuk Berempat Menti Betigo, jika ada cermin nan kabur, lantak nan goyah, buek nanlah berubah dan pakai nanlah terjun.
V. Pengadilan.
Perkara yang kecil-kecil diadili oleh ninik mamak-ninik mamak dimana kekuatan itu terjadi. Jika tidak putus oleh ninik mamak setempat dibawahlah kedalam sidang Datuk Berampat Menti Batigo. Sidang Datuk Berampat Menti Batigolah yang merupakan pengadilan yang tertinggi dan mereka berhak menjatuhkan hukuman atau denda kepada sipelanggar, sesuai dengan undang-undang adat.
Demikianlah garis-garis besar dari pada ketetapan-ketetapan Datuk Putih dan Datuk Mangkaro Marajo yang diresmikan sewaktu perhelatan besar di Pondok Pekan Puaso. Sementara itu Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo tidak aktif lagi memerintah. Mereka hanya bertindak sebagai penasehat saja sampai mereka meninggal dunia. Pemerintahan dijalankan oleh Datuk Berempat Menti Batigo serta nan Bajenjang Naik, Batanggo Turun. Pada waktu itu warga Pangkalan Jambu merupakan sebuah kerajaan keci yang bernaung dalam kerajaan Jambi.
Sejak masuknya kekuasaan penjajahan Belanda kedesa ini pada tahun 1901, sistem pemerintahan secara adat terus berlangsung, tetapi kemudian untuk hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah Belanda. Hukum-hukum adat setempat masih tetap dihormati pemerintah Belanda.
Dewasa ini dalam hal-hal yang berhubungan adat istiadat, masih berkuasa Datuk Barempat Menti Batigo. Tetapi untuk urusan-urusan yang berhubungan dengan pemerintah atasan, dikepalai oleh seorang Pasirah atau Kepala Marga.
VI. Asal Nama Pangkalan Jambu.
Dahulu, Marga Pangkalan Jambu bernama Renah Sungai Kunyit. Kemudian setelah terbentuknya pemerintahan Datuk Barempat Menti Batigo, datanglah raja Jambi beserta beberapa orang pengiringnya melihat keadaan negeri ini. Ditepian Dusun Nangko ada sebatang pohon Jambu. Sewaktu raja sampai ketempat ini, berhentilah ia dan perahu tersebut ditambatkannya pada batang jambu itu. Sejak itu raja menamakan negeri ini Pangkalan Jambu. lama kelamaan nama pangkal jambu berubah menjadi Pangkalan Jambu. Setelah itu dikenal orang negeri ini Pangkalan Jambu. Dari tahun 1901 sampai dengan tahun 1926 Pangkalan Jambu bernama “ Distrik Datuk Barempat Pangkalan Jambu “ dan mulai dari tahun 1926 sampai sekarang bernama Marga Pangkalan Jambu.
VII. Asal Usul Penduduk Marga Pangkalan Jambu.
Sebagian besar dari penduduk Pangkalan jambu berasal dari Minang Kabau, karena orang Minang Kabaulah yang mula-mula membuka negeri ini dibawah pimpinan Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo, kira-kira pada akhir abad ke-XIV.
Golongan penduduk yang kedua berasal dari Kerinci terutama dari Tamiai dan pulau Sangka, yaitu keturunan kaum keluarga Depati Muara Langkap.
Selain itu ada pula yang berasal dari daerah Palembang, Luhak XVI dan Muko-Muko yang disebut daerah Pesisir Balik Bukit.
Antara pendatang-pendatang dari berbagai daerah itu terjadi percampuran darah karena perkawinan atau semendo-menjemendo. Karena hal ini telah berlangsung beratus-ratus tahun, maka penduduk Pangkalan Jambu sekarang ini umumnya memopunyai hubungan kekeluargaan satu sama lainnya.
VIII. Asal Usul Mata Pencaharian Penduduk.
Asal usul mata pencaharian penduduk MArga Pangkalan Jambu pada zaman dahulu, ialah menambang dan mendulang emas. Tetapi kemudian disamping mencari emas, mereka juga membuka ladang dan sawah. Sejak dibukanya lahan pertanian, maka bertani dan menambang emas merupakan dua mata pencaharian yang sama pentingnya. Selain dari bertani dan menambang emas, penduduk juga memelihara ternak. Dewasa ini yang menjadi mata pencaharian pokok penduduk ialah bertani. Menambang atau mendulang emas, berternak hanya merupakan pekerjaan sambilan. Semenjak terbukanya hubungan lalu lintas mobil ada sebagian kecil penduduk yang hidup dari perdagangan.
IX. Perubahan – Perubahan Sosial.
Suatu kebiasaan yang telah teradat di desa ini ialah mengadakan perhelatan dan kendurian bila ada kematian dan peristiwa-peristiwa lainnya. Dalam hal ini akan dititik beratkan pada peristiwa kematian. Peristiwa kematian merupakan suatu kejadian yang harus diikuti oleh beberapa kali perhelatan. Prosesnya demikian : Bila ada seseorang meninggal dunia, maka perhelatan diadakan pada bilangan-bilangan hari yang ketiga, ketujuh, dua kali tujuh (hari keempat belas), hari yang keempat puluh dan bilangan hari yang keseratus. Semakin besar bilangan harinya semakin besar pulalah jamuan yang diadakan. Lebih-lebih lagi bagi keluarga yang tergolong dalam keluarga yang mampu.
Jika ditinjau secara ekonomis, maka perbuatan tersebut merupakan pemborosan belaka. Tetapi sebaliknya masyarakat memandang hal ini lah yang menentukan kedudukan sosial seseorang. Bagi keluarga-keluarga yang tidak mampu mereka menggadaikan sawah dan ladangnya untuk bisa mengadakan perhelatan guna menjaga nama baik mereka dalam masyarakat.
Berkat usaha dari ulama-ulama Islam dan organisasi Muhammdiyah sejak tahun 1938, maka kebiasaaan penduduk yang tidak ekonomis dan tidak menurut ajaran agama Islam yang sesungguhnya itu, dapat ditinggalkan secara berangsur-angsur, sehingga dewasa ini tidak ada lagi perhelatan menurut bilangan-bilangan hari tersebut diatas. Tetapi cukup hanya sekali kenduri sesuai dengan kemampuan keluarga yang meninggal dan hal ini tidak menjadi persoalan lagi bagi masyarakat.
Rencana semula Menti Betigo itu adalah : Rio Niti, Rio Gemalo dan Rio Menang. Tetapi karena sesuatu hal, Rio Menang tidak mau ikut serta. Sebab itu ia tidak hadir pada hari peresmian Undang-undang adat di Pondok Pekan Puasa. Untuk mencukupkan bilangan Menti ini sampai tigo orang, maka diangkatlah pada hari itu juga seorang Menti yang bergelar Rio Sari. Ia berasal dari orang berlima di Pondok Panjang Muara Sungai Bujur.
Sejak tahun 1909 Kampung VIII digabungkan oleh pemerintah Belanda masuk Marga Tanah Renah (Sungai Manau), karena penagihan pajak pada tahun-tahun sebelum tahun 1909, tidak beres oleh Kepala Distrik Pangkalan Jambu. Sebelum tahun 1909 perbatasan Marga Pangkalan Jambu dan Marga Tanah Renah aialah Sungai Sigata sebelah Timur Kampung Rumah Gedang sampai ke Kandang Balik dan kemudian mendaki ke hulu sengai Nagan.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!