Penulis : Oky W
Suku anak dalam merupakan kelompok masyarakat adat yang berada di pedalaman Sumatera tepat nya Daerah Sumatera Tengah dimana suku anak dalam sendiri tersebar di dua Provinsi yaitu Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi, dimana suku anak dalam sendiri dari zaman dahulu bertempat tinggal di dalam hutan suku anak dalam merupakan sebutan yang umum untuk menjuluki suku tersebut namun banyak sebutan-sebutan lain seperti anak dalam, sanak, orang kubu, anak suku dalam, orang rimba. sebutan kubu sendiri telah di tulis oleh Van Dongen seoarang pegawai Belanda pada tahun 1906 yang dalam laporannya Van Dongen menceritakan bahwasanya di Daerah Jambi ia bertemu dengan salah satu suku yang mereka hidup di dalam hutan dan melakukan transaksi menggunakan metode silent tread dengan warga desa karena mereka mengisolasi diri dan takut unutuk bertemu dengan orang luar dan Van Dongen mengasumsikan bahwa orang kubu sebagai manusia primitif. Setelah mendengar laporang yang di tulis oleh Van Dongen tersebut dua tahun kemudian seorang antriopolog Jerman Bernad Hagen melakukan perjalanan ke Daerah Sumatera untuk melkaukan pengamatan terhadap orang kubu. Dari hasil pengamatanya Bernard Hagen menerbitkan buku Die Orang Kubu Auf Sumatera di dalam bukunya hagen cenderung memiliki pendapat yang sama dengan laporan yang di tulis oleh Van Dongen.
Konotasi yang melekat saat menyebut suku anak dalam yang akan langsung terlintas oleh masyarakat umum adalah jorok, mistis, bau, bodoh dan hal-hal negative lainya namun saat ini masyrakat suku anak dalam tidak dapat kita generalisir sama dimana pada tulisan Budi Setiawan mengategorikan suku anak dalam menjadi lima yaitu Kelompok tradisional, kelompok ini masih sangat kuat mempertahankan adat istiadat dan norma sosial nya, kelompok ini sangat jarang melakukan interaksi dengan dunia luar dan warga desa, lokasi pemukiman terletak jauh ditengah kawasan TNBD, sumber mata pencaharian sangat tergantung dengan berburu dan meramu. Kelompok tranisisi, kelompok ini sedang mengalami proses adaptasi dengan berbagai pengaruh dari luar, interaksi dengan masyarakat luar sangat intensif baik untuk keperluan ekonomi, sosial, dan politik, anggota rombong sebagian masih bermukim di dalam hutan, sudah mengenal barang sekunder seperti HP, motor, arloji, senjata rakit (kecepek), sumber matapencaharian berburu, meramu dan berkebun karet di hutan dan dipasarkan keluar, kepatuhan terhadap norma dan adat-istiadat sudah mulai longgar. Anggota rombong ada yang ingin menetap diluar dan ada juga yang menginginkan tetap hidup di hutan selamanya. Sebagian besar Orang Rimba di kawasan TNBD ada dalam kelompok ini. Kelompok pengembara, kelompok ini memilih tinggal di kebun-kebun sawit dan karet milik warga desa atau perusahaan, mobilitas berpindah-pindah tinggi, tidak memiliki lahan, tidak memiliki pekerjaan tetap, ada yang menjadi pengemis, masih berburu, potensi konflik dengan warga desa dan perusahaan cukup tinggi karena memungut berondolan dan mencari hasil kebun warga, komitmen kepada adat istiadat sudah longgar bahkan sudah mulai dilupakan, tidak memiliki akses terhadap hutan, tidak terdaftar secara administratif sebagai penduduk desa. Kelompok ini secara ekonomi, sosial dan budaya paling marjinal dari kelompok lainnya.
Kelompok bediom, kelompok ini sudah bertempat tinggal di luar kawasan hutan, sumber matapencaharian masih tergantung pada HHNK, sumber pendapatan diluar dari bekerja sebagai buruh harian membersihkan kebun warga desa dan perusahaan, kaum perempuan dan anak-anak mengumpulkan berondolan (buah sawit matang yang jatuh ke tanah), beberapa orang bekerja sebagai satpam.
di perusahaan sawit, sebagian besar kondisi ekonomi anggota sangat marjinal termasuk kelompok miskin karena tidak memiliki lahan kebun dan pekerjaan tetap. Sudah memeluk agama (Islam dan Kristen) Anggota rombong ada yang berpikir tetap bertahan diluar hutan, namun masih ada anggota yang berpikir akan balik kehutan bila kondisi ekonomi mereka semakin sulit, sebagian besar tinggal di lokasi perumahan dari program bantuan pemerintah. Kelompok bekampung, kelompok ini sudah menetap di desa, mulai membangun rumah sendiri, berkebun karet atau sawit, interaksi dengan warga desa baik walaupun masih ada steorotipe warga desa, sudah memakai adatistiadat melayu umumnya, telah memeluk agama, sudah terdaftar sebagai warga desa, kondisi ekonomi relatif mapan.
Dimana dapat kita lihat bahwasanya tidak semua suku anak dalam merupakan masyarakat yang tertinggal marjinal dan miskin dari pembagian lima golongan diatas terbukti dengan adanya pemuda-pemuda suku anak dalam yang sudah dapat mengenyam Pendidikan di perguruan tinggi baik itu perguruan tinggi yang berada di Provinsi Jambi maupun di luar Jambi, selain sudah terdapatnya masyarakat suku anak dalam yang mendapatkan Pendidikan tinggi terdapt pula masyarakta suku anak dalam yang menjadi anggota POLRI maupun TNI dimana ini tentunya menjadi cita-cita banyak orang. Salain itu terdapat pula masyarakat suku anak dalam yang sudah memiliki kebun-kebun pribadi dan membuat usaha.
Meski terdapat masyarakat suku anak dalam yang telah berhasil bertarnsformasi secara social namun masih banyak juga warga suku anak dalam yang belum berhasil bertansformasi secara social diamana mereka telah keluar dan bersentuhan dengan dunia luar serta mengenal teknologi dan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat seperti orang luar, namun secara mata pencaharian mereka belum dapat beradaptasi sehingga mereka menjadi masyarakat yang miskin dan lemah secara kehidupan atau gagal bertransformasi secara social hal ini tentunya akan menjadi sebuah permasalahan dimana gejala-gejala social saat ini telah terlihat. Terdapat warga suku anak dalam yang melakukan perbuatan kriminal seperti pencurian, kejahatan seksual, dan penculikan hal ini jelas terpampang nyata dan dapat dengan mudah kita akses pada berita-berita.
Gejala social ini tentu membuat kita semakin miris dimana kejahatan tentu erat kairtan nya dengan kemiskinan dan lemahnya kehidupan seseorang dimana hal ini selaras dengan pendapat Aristoteles dimana ia mengatakan bahwasanya salah satu sumber dari kejahatan adalah kemiskinana. Ini merupakan efek domino yang ditimbulkan akibat kemiskinan yang di alami oleh suku anak dalam dimana kemiskinan dapat menyebabkan permasalahan-permasalahan pada suku anak dalam maupun masyarakat pada umumnya.
Adapun efek domino yang dapat terjadi yaitu kelaparan, kebodohan, hingga pada akhirnya dapat menyebabkan Tindakan kriminal. Dengan kata lain gejal social yang telah terjadi saat ini merupakan afek domino yang dihasilkan dari gagalnya transformasi social yang dilakukan oleh suku anak dalam. Lalu apa yang harus dilakukan sekarang? Tentu pertanyaan ini yang akan keluar dari setiap kepala kita. Transformasi social yang gagal ini tidak dapat kita abaikna begitu saja dan pertanyaan diaats harus kita jawab segera, salah satu hal yang dapat kita lakukan adalah bekerjasama antar multi pihak baik itu pemerintah, swasta, LSM, dan masyarakat serta memandang permasalahan ini sebagai permasaslahan Bersama dimana sektor Pendidikan menjadi salah satu kunci yang perlu di sentuh terlebih dahulu sehingga hal ini dapat menjadi investasi jangka Panjang bagi kita dan menghentikan gejala-gejala social yang terjadi hari ini.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!