PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hutan adalah sumberdaya alam yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai fungsi sangat penting untuk pengaturan tata air, pencegahan bahaya banjir dan erosi, pemeliharaan kesuburan tanah dan pelestarian lingkungan hidup, sehingga untuk dapat dimanfaatkan secara lestari, hutan harus dilindungi dari kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit (Anonim, 1992). Hasil studi dari foto satelit yang dilakukan pemerintah pada tahun 1982 menunjukkan bahwa tutupan hutan Indonesia (forest coverage) adalah 119,3 juta hektar (RePPProT, 1990). Sementara itu, Citra Satelit yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan menunjukkan luas tutupan hutan tahun 1993 sebesar 92,4 juta Hektar (termasuk hutan bekas tebangan HPH), dengan kawasan hutan tetap yang tidak berhutan seluas 20,6 juta Hektar. Dengan demikian maka laju deforestasi dari tahun 1982 sampai 1993 adalah sebesar 2,4 juta hektar pertahun. Angka deforestasi tahunan ini jauh melebihi deforestasi yang diduga oleh Departemen Kehutanan dan FAO, yakni seluas 900 ribu hingga 1,3 juta hektar pada tahun 1990, dan lebih tinggi dari rata-rata laju deforestasi hutan tropik di seluruh dunia yang hanya 987 ribu hektar pertahunnya (WALHI, 1999).
Di sisi lain perubahan hutan tropis ke bentuk penggunaan lahan untuk kepentingan pertanian terus berlangsung. Berdasarkan data statistik, untuk periode 1984 – 1995 luas hutan di pulau Sumatera mengalami penurunan sebesar 1,2% pertahun (BPS 1985, 1990, 1991, dan 1996). Sementara itu dari sumber yang sama, pertumbuhan lahan pertanian pertahun pada periode yang sama adalah 1,4% (Budidarsono S, 1999). Di samping itu peristiwa kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1992, 1997, 1998, dan 1999 juga berdampak berkurangnya luas hutan tropis dalam skala besar, khususnya di Sumatera dan Kalimantan. Berdasarkan siaran Bulletin malam RCTI pada tanggal 4 Agustus 1999 disebutkan bahwa di Sumatera terdapat 341 titik api.
Untuk Provinsi Jambi, data yang dikeluarkan oleh Bapedalda Jambi dinyatakan bahwa terdapat sebanyak 19 titik api di Provinsi Jambi pada tahun 1999. Hal ini menunjukkan bahwa hutan sebagai sumberdaya alam yang banyak diakses terutama oleh masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan semakin terancam kelestariannya dan setiap saat kawasan hutan terus mengalami pengurangan luas. Laju penurunan ketersediaan sumberdaya hutan merupakan satu kerangka untuk mengantar ke arah dan upaya memikirkan keberadaan sumberdaya alam lainnya.
Dalam kenyataannya pembicaraan mengenai pengelolaan sumberdaya alam khususnya kawasan hutan seringkali hanya menjadi wacana di tingkat permukaan (dengan bukti kecilnya perbandingan antara konsep/model yang dibangun dengan implementasi di lapangan) dan jarang mengakar pada tatanan basis yaitu masyarakat. Memang diakui sudah banyak konsep pengelolaan sumberdaya alam yang mengedepankan partisipasi masyarakat namun belum mampu menjawab persoalan laju penurunan baik dari aspek kuantitas maupun kualitas sumberdaya alam dimaksud. Hal ini disebabkan model-model atau konsep-konsep pengelolaan sumberdaya alam seringkali kesulitan dalam mendefinisikan masyarakat dan tidak tersosialisasi karena biasanya hanya melibatkan sebagian kecil masyarakat dimaksud.
Keadaan sebagaimana dikemukakan di atas semakin menuntut upaya-upaya pengelolaan hutan sebagai basis sumberdaya alam yang mampu menunjang keberlanjutan ketersediaan sumberdaya alam dimaksud. Ke depan upaya perlindungan dan pengelolaan hutan khususnya dan sumberdaya alam umumnya yang menjamin kelestarian semakin diperlukan dan merupakan suatu keharusan guna mengantisipasi kelangkaan sumberdaya alam yang dapat mengakses kebutuhan terutama bagi masyarakat lokal yang masih bertumpu dari ketersediaan sumberdaya alam dimaksud.
Dalam konteks ini dibutuhkan bangunan mekanisme yang mudah dipahami dan memungkinkan untuk diimplementasikan oleh masyarakat lokal di dalam pengelolaan sumberdaya alam dan bangunan mekanisme tersebut harus dirancang bersama oleh masyarakat lokal – bukan kalangan pengembang – yang di dalamnya terdapat korelasi antara kebijakan pemerintah – yang sering bertumpu pada kepentingan pembangunan – dengan upaya menumbuhkan partisipasi masyarakat terutama yang bermukim di sekitar kawasan sumberdaya alam.
Upaya pengelolaan bersama sumberdaya alam oleh masyarakat lokal mestilah direncanakan oleh seluruh komponen masyarakat lokal dan berangkat dari model-model yang mereka miliki untuk selanjutnya secara bersama-sama pula mereka merekonstruksi model pengelolaan yang berorientasi kebutuhan sekarang dan di masa yang akan datang. Untuk itu upaya memulai pembelajaran bersama menjadi penting keberadaannya bagi masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya alam secara mandiri dan difahami.
Pengelolaan sumberdaya alam yang melibatkan partisipasi masyarakat secara langsung diyakini akan dapat diwujudkan jika gagasan pengelolaan sumberdaya alam dibangun secara bersama oleh masyarakat sasaran. Terbukti sudah banyak konsep alternatif pengelolaan sumberdaya alam terutama kawasan hutan yang berbasis masyarakat yang ditawarkan untuk menjawab kebutuhan di atas namun dalam operasionalnya ternyata belum mampu menumbuhkan partisipasi masyarakat secara maksimal. Pengertian partisipasi masyarakat disini harus diartikan secara luas yang meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi.
Masyarakat sudah sejak lama memiliki kaidah-kaidah dan kearifan-kearifan dalam mengelola sumberdaya alam. Kearifan-kearifan tradisional masyarakat lokal yang sampai sekarang masih dapat kita lihat adalah berupa adanya kawasan-kawasan yang dilindungi dan sistem-sistem pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya alam yang memperhatikan keseimbangan dan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam hutan. Kearifan tradisional tersebut berupa hutan larangan/adat desa, hutan lindung desa, lubuk larangan, tanaman/satwa yang dilindungi, perlindungan mata air/hulu sungai, sistem adat dalam pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya alam hutan dan sanksi-sanksi pelanggarannya, dan lain-lain.
Masalahnya adalah seringkali kaidah-kaidah dan kearifan dimaksud tertindas oleh kebijakan pemerintah yang berorientasi terhadap kepentingan pembangunan yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat lokal. Selain itu pola-pola pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat lokal sering tidak tersosialisasi sehingga proses penemuan kembali menjadi penting untuk dilakukan.
Berdasarkan hasil inventarisasi dan identifikasi terhadap praktek pengelolaan sumber daya alam di Provinsi Jambi terdapat berbagai model pengelolaan sumberdaya alam yang berorientasi terhadap konservasi sumberdaya alam yang dilakukan oleh masyarakat lokal yang sudah mentradisi secara turun-temurun seperti Hutan adat, Hutan Lindung Desa, Lubuk Larangan, Hutan Rakyat, Kawasan Lindung Rawa dan Kawasan Plasma Nutfah Lokal.
Dalam prakteknya ternyata masyarakat lokal mengalami berbagai masalah. Masalah yang paling umum dihadapi adalah tidak adanya aspek legalitas untuk sumberdaya alam dalam wilayah kelola masyarakat lokal. Hal ini berdampak munculnya kasus perampasan hak kelola masyarakat lokal oleh pengusaha (HPH, HTI, Perkebunan sawit dan kawasan hutan negara) yang nota bene mengantongi izin resmi dari pemerintah.
Masalah lain yang muncul yang sebenarnya merupakan manifestasi dari masalah pertama di atas adalah masalah keterdesakan dalam mengakses kebutuhan yang bertumpu dari ketersediaan sumberdaya alam yang produk akhirnya adalah munculnya kompetisi dalam pengelolaan sumberdaya alam (berebut hasil hutan, klaim atas kawasan hutan, dan sebagainya baik antar warga maupun warga dengan perusahaan. Semakin sempitnya ruang gerak masyarakat lokal dalam mengakses sumberdaya alam karena wilayah kelolanya semakin dikelilingi oleh kwawasan HPH, HTI, Perkebunan sawit dan kawasan hutan lindung negara juga mengharuskan masyarakat lokal memanfaatkan sumberdaya alam secara maksimal dan seringkali untuk mencapai tujuan-tujuan ini masyarakat lokal meninggalkan kearifan-kearifan yang dulu diterapkan.
Untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam yang lestari dan berkelanjutan oleh masyarakat lokal tersebut sangat diperlukan media dimana semua komponen masyarakat merasa memiliki dan media tersebut dapat berfungsi sebagai tempat melakukan pembelajaran bersama, mulai dari tahap meramu gagasan sampai membangun pola yang oleh masyarakat diyakini mampu menjawab kebutuhan saat sekarang maupun dimasa mendatang.
Atas dasar uraian tersebut di atas maka untuk merumuskan pola pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis masyarakat, penting dilakukan kegiatan “Pembelajaran Bersama Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam” yang berangkat dari kaidah-kaidah dan kearifan-kearifan yang dimiliki oleh masyarakat lokal itu sendiri dalam mengelola sumberdaya hutan dan sumberdaya alam lainnya untuk selanjutnya dipadukan dengan cara-cara baru yang memungkinkan untuk diadopsi yang mengarah pada upaya rekonstruksi dan implementasi.
Dalam memulai dan mewujudkan proses belajar masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya ini dilakukan pemilihan fokus site Desa Telentam sebagai fokus pengelolaan Lubuk Larangan dan Desa Baru Pangkalan Jambu sebagai fokus pengelolaan hutan adat.
Alasan pemilihan fokus site program di Desa Pangkalan Jambu dan Desa Telentam diatas adalah :
- Kedua desa tersebut memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya alam hutan (Hutan Adat) dan sumberdaya alam sungai (Lubuk Larangan).
- Kedua desa tersebut mengalami ancaman internal (eksploitasi) dan eksternal (HPH, Pertambangan, dan Kebijakan Tata Batas Kawasan Hutan Lindung/Negara) terhadap keberlangsungan kelestarian sumberdaya alam hutan dan sungai.
Kedua desa tersebut kondisi sosial budaya masyarakatnya telah dikenal oleh lembaga (PRAKARSA MADANI) melalui interaksi dengan masyarakat sebelumnya.
1.2. Permasalahan Pengelolaan Sumberdaya Alam Di Daerah SIte Program
1.2.1. Hutan Adat Di Desa Baru Pangkalan Jambu
Penyerahan kawasan hutan adat pada tahun 1993 yang memiliki potensi keragaman hayati itu masih setengah hati. Sebab tidak semua hutan adat yang diserahkan menjadi kewenangan masyarakat adat untuk mengelola dan mengawasi, dikemudian hari kawasan hutan adat tersebut ditarik kembali oleh kekuatan hegemoni negara, sesuai dengan tata batas defenitif TNKS yang dikeluarkan Juni 1995, dari luas kawasan hutan adat 792 hektar, seluas 745 hektar masuk dalam kawasan Taman Nasional dan hanya 47 hektar berada diluar kawasan Taman Nasional.
Pemancangan tata batas baru TNKS ini menimbulkan permasalahan bagi masyarakat adat Desa Pangkalan Jambu khususnya mengenai luas kawasan hutan adat yang menjadi berkurang disatu pihak, dipihak lain masyarakat kehilangan kawasan hutan yang selama ini digunakan untuk mencari hasil hutan non kayu seperti madu, rotan dan lain-lain yang pada faktanya sumber matapencaharian alternatif mereka disaat matapencaharian utama mereka bersawah dan berkebun kopi, karet, dan kulit manis tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Permasalahan tata batas wilayah desa dan batas Taman Nasional Kerinci Seblat di Desa Pangkalan Jambu sampai saat ini belum dapat diselesaikan secara partisipatif dan demokratis, bagi pihak TNKS persoalan dianggap selesai tetapi bagi pihak masyarakat desa tidak dapat berbuat apa-apa dan hanya pasrah karena sudah keputusan pemerintah walaupun secara adat mereka telah kehilangan wilayah ulayatnya.
Akibat “kelalaian” dalam tata batas (zonasi), pengelolaan dan pengamanan hutan adat menjadi dilematis, yang berada dalam taman merupakan kewenangan Balai TNKS, dan yang di luar taman oleh masyarakat adat. Sudah menjadi rahasia umum, pihak balai TNKS punya keterbatasan dalam mengamankan hutan dari kegiatan penebangan illegal, sementara masyarakat menjadi rendah rasa kepemilikan terhadap kawasan sehingga mereka menjadi acuh terhadap kelestarian kawasan tersebut.
Dampaknya sebagian besar kawasan hutan adat ditebangi secara liar, terutama oleh masyarakat dari luar yang dibekengi oknum aparat keamanan. “Kami tidak bisa mempertahankan hutan adat kami, karena pengamanan yang berada di dalam taman merupakan kewenangan pihak Balai TNKS”, ungkap seorang tokoh adat Desa Baru Pangkalan Jambu.
1.2.2. Lubuk Larangan Di Desa Telentam
Issue yang menarik sehubungan dengan pengelolaan Lubuk Larangan adalah menyangkut aspek upaya perlindungan species endemik (plasma nutfah) dan aspek pengelolaannya. Di daerah aliran sungai khususnya Batang Tabir dan beberapa sub DAS Batang Tabir terdapat jenis ikan species endemik yang semakin terancam dari kepunahan, nama ikan ini adalah Ikan Semah (nama lokal). Namun kelestarian kawasan lubuk larangan dan keragaman hayati yang dimilikinya mendapat tekanan dari faktor internal dan ekternal masyarakat Desa Telentam.
Ancaman dari dalam berupa tindakan eksploitasi yang tidak diiringi dengan upaya membudidayakan sehingga lama-kelamaan keberadaan species endemik semakin dirasakan kelangkaannya. Ancaman dari luar berupa adanya tekanan pengelolaan sumberdaya yang berhubungan dengan keberadaan habitat jenis species endemik dimaksud yaitu DAS Batang Tabir dengan adanya aktivitas keberadaan perusahaan pemegang hak konsesi HPH yang beroperasi di sekitar hulu sungai dan rencana Pemerintah Daerah Propinsi Jambi dan Kabupaten Merangin yang merencanakan pembukaan tambang marmer di bagian hulu DAS Batang Tabir.
Dengan adanya ancaman aktivitas HPH dan rencana pertambangan marmer ini keberadaan sumber daya alam perairan Sub DAS Batang Tabir khususnya kawasan lubuk larangan menjadi terancam.
Dampaknya adalah salah satu sumber alternatif mata pencaharian masyarakat Desa Telentam akan terganggu. Terganggunya sumber matapencaharian ini akan menimbulkan tekanan kepada masyarakat untuk mencari sumber matapencaharian lain yang paling mudah adalah melakukan penebangan hutan dengan mengeksploitasi kawasan hutan yang berada dalam wilayah desa.
Persoalan ini sebenarnya tidak hanya menyangkut keberadaan species endemik dimaksud tetapi termasuk di dalamnya dengan keberadaan beberapa sumberdaya alam lainnya yang sebenarnya mampu berfungsi dalam mensuplai pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar seperti perkebunan dan persawahan, hasil hutan non kayu serta kawasan hutan dalam wilayah Desa Telentam.
Upaya-upaya masyarakat untuk mempertahankan keberadaan species endemik dimaksud, diwujudkan dalam bentuk perlindungan terhadap teritori yang menjadi habitat yang dikelola secara tradisional (Lubuk Larangan). Orientasi perlindungan lubuk larangan pada saat ini hanya untuk kepentingan menghimpun dana pembangunan desa dari hasil yang diperoleh setiap kali panen besar dilakukan.
Dengan pola yang seperti ini keberadaan lubuk larangan tidak menyentuh kepentingan ekonomi masyarakat secara langsung. Dampak dari pola ini menyebabkan rasa memiliki masyarakat terhadap kelestarian lubuk larangan menjadi rendah, hal ini ditunjukkan dari sikap mereka yang acuh terhadap berbagai ancaman dan tekanan dari luar seperti aktifitas HPH dan rencana pertambangan batu bara yang pada faktanya aktivitas tersebut dapat merusak kelestarian lubuk larangan.
Kondisi diatas seharusnya tidak perlu terjadi, jika pengelolaan lubuk larangan hanya untuk mengedepankan kepentingan aspek konservasi semata, sebaliknya diyakini dukungan masyarakat akan muncul jika pengelolaan lubuk larangan dikaitkan dengan kepentingan ekonomi masyarakat.
Dari aspek ekonomi, lubuk larangan tersebut memiliki potensi untuk menjadi sumber matapencaharian alternatif bagi masyarakat dengan dikelola secara komersial sebagai salah satu kegiatan alternatif badan usaha milik desa yang dapat menyalurkan modal untuk kegiatan ekonomi lain bagi masyarakat, misalnya dana hasil panen lubuk larangan dijadikan modal untuk pengembangan usaha ekonomi produktif bagi masyarakat desa.
1.3. Tujuan
Program Pembelajaran Bersama Pengelolaan Sumberdaya Alam Oleh Masyarakat Lokal yang dilaksanakan di Desa Baru Pangkalan Jambu Kecamatan Sungai Manau dan Desa Telentam Kecamatan Tabir Ulu Kabupaten Merangin bertujuan :
- Membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya suatu mekanisme baru (kontrak sosial) dalam mengatasi berbagai permasalahan pengelolaan sumber daya alam yang dihadapi melalui proses belajar bersama.
- Meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan sumberdaya alam dengan meningkatkan pendapatan dengan memperhatikan aspek kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya alam.
1.4. Strategi Dalam Implementasi Program Proses Pembelajaran
Mencapai tujuan, Program Pembelajaran Bersama ini memuat beberapa strategi dalam pelaksanaannya, antara lain :
- Identifikasi Kebutuhaan dan Strategi Pemecahan Masalaha, masing-masing bersama dengan jaringan para pemangku kepentingan yang mempunyai komitmen untuk mendukung pengelolaan SDA secara lestari dan berkelanjutan. Kebutuhan akan diseleksi selama persiapan proyek, diikuti dengan pengembangan kriteria penentuan prioritas kebutuhan, pengumpulan informasi dan konsultasi. Kemampuan dan pengalaman yang dimiliki oleh lembaga dalam pengembangan masyarakat, advokasi, keanekaragaman hayati, konservasi, analisa sosial dan kelembagaan akan digabungkan dengan data penggunaan lahan dan kawasan hutan, dan informasi pemanfaatan SDA, tingkat kemiskinan/pendapatan, dan kapasitas masyarakat lokal guna memperoleh gambaran lokasi proyek yang memiliki potensi besar untuk konservasi kawasan sumber daya alam melalui pemberdayaan dan pelibatan masyarakat lokal.
Aktivitas ini dilakukan untuk mendapatkan mandat masyarakat sekaligus mengetahui peluang, kendala dan pola/model Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) yang ada dan atau yang akan dibangun serta bahan pembanding pada kegiatan studi banding. Komponen dasar yang akan digali adalah struktur issue dan problem serta kondisi sosial ekonomi terkini.
- Proses Diskusi dan Konsultasi untuk melengkapi hasil kajian site dan strategi peningkatan kapasitas masyarakat lokal dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik dan menjalin sinergi dengan lembaga atau proyek konservasi dan pengembangan hutan berbasis masyarakat. Kebutuhan peningkatan kapasitas lembaga maupun para pemangku kepentingan lokal sangat diharapkan melibatkan masyarakat lokal mulai dari tingkat perencanaan, implementasi dan keberlanjutan program.
- Pengorganisasian dan Pemberdayaan Masyarakat Lokal pengguna SDA untuk melakukan negosiasi yang efektif dengan pemangku kepentngan lainnya, proyek bermaksud untuk mendukung masyarakat lokal di site program yang mempunyai ketertarikan dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan dengan menghubungkan mereka untuk berjaringan dengan pihak-pihak yang mempunyai ketertarikan yang sama, menyediakan informasi dan pelatihan, dan mendukung mereka untuk melakukan lobi dan advokasi. Dalam proses persiapan proyek pertanyaan kunci yang akan dijawab adalah ketidakberdayaan pemangku kepentingan lokal karena mereka mempunyai kelemahan dalam hal informasi, lemahnya pengalaman mengefektifkan pemanfaatan informasi yang diperoleh dan lemahnya dalam hal menyusun agenda politik dan ekonomi mereka sehingga mengalami banyak kendala dalam hal memperjuangkannya dengan cara yang lebih efektif dan strategis.
- Pengelolaan Kawasan Konservasi (Hutan Adat dan Lubuk Larangan), Proyek akan mengembangkan strategi untuk mengintegrasikan kebutuhan masyarakat lokal kedalam perencanaan dan pengelolaan serta pemeliharaan fungsi konservasi dari keanekaragamanhayati serta peningkatan mutu pelayanan lingkungan. Ini merupakan hal penting yang harus dipenuhi oleh pengelola kawasan SDA untuk mencapai sasaran proyek dalam jangka panjang.
- Peningkatan kapasitas dan Penguatan jaringan institusi pemangku kepentingan lokal dan lembaga mitra lokal, proses proyek akan mengidentifikasi kelompok/anggota jaringan konservasi yang potensial. Kemudian akan dilakukan peninjauan kembali prakarsa dan kebutuhan pembangunan yang telah disepakati atau dilakukan melalui proses yang partisipatif. Peningkatan kapasitas diarahkan kepada lembaga pelaksana dan kebutuhan pemangku kepentingan lokal dengan melibatkan mereka dalam proses perencanaan, pengelolaan proyek dan pengelolaan keuangan, disamping itu juga dilakukan kegiatan fasilitasi untuk mendukung pemangku kepentingan lokal dalam menganalisis kondisi lingkungan sosial politik mereka untuk mengidentifikasi peluang dan melakukan kerja-kerja advokasi. Pengembangan program juga akan mengidentifikasi dan membangun kontrak sosial baru bagi para pemangku kepentingan lokal di setiap lokasi proyek yang mana secara bersama mereka juga akan terlibat dalam merencanakan dan melaksanakan proyek dan dalam jangka panjang mereka akan mampu melakukan advokasi secara mandiri ketika proyek berakhir.
1.5. Hasil (Outcome) Program Yang Diharapkan
Beberapa hasil yang diharapkan di akhir pelaksanaan program adalah :
- Terjaganya kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya alam khususnya hutan dan sungai di wilayah kelola masyarakat Desa Pangkalan Jambu dan Desa Telentam.
- Kesejahteraan masyarakat di Desa Pangkalan Jambu dan Desa Telentam mengalami peningkatan.
- Berkurangnya eksploitasi dan konflik pengelolaan sumberdaya alam di Desa Pangkalan Jambu dan Desa Telentam.
1.6. Aktivitas Program
Untuk mencapai tujuan program pembelajaran bersama masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam maka aktifitas program yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :
- Pemetaan Partisipatif
Pemetaan Partisipatif merupakan suatu metode pembuatan peta yang menggabungkan peta-peta modern dengan peta-peta mental tata ruang tradisional yang dimiliki oleh masyarakat adat (Sirait, 1996). Secara filosofis, peta hanya merupakan alat penunjuk wilayah sebagai “ Sumber Daya Kewenangan” yang dipakai oleh pembuatnya, maka memindahkan ketrampilan pemetaan kepada masyarakat lokal merupakan alat perangsang untuk memotifasi masyarakat agar lebih peduli terhadap lingkungan hutan disekitar tempat mereka tinggal dan menyeimbangkan fungsi umum Sumber Daya Hutan.
Oleh karena itu pemetaan partisipatif yang melibatkan masyarakat lokal secara utuh, merupakan proses transfer teknologi yang memberikan kewenangan kepada mereka untuk menyampaikan sudut pandang tentang wilayah dan sistem pengelolaan sumber daya alam kepada pemerintah. Pemetaan oleh masyarakat juga termasuk upaya konservasi atau proteksi terhadap masyarakat adat atas wilayah mereka dari berbagai kemungkinan pemanfaatan dan eksplotasi yang tidak mempertimbangangkan kepentingan masyarakat itu sendiri.
Kegiatan pemetaan partisipatif sebagai jawaban dari permasalahan tata batas Taman Nasional dan tata batas tanah ulayat masyarakat Desa Pangkalan Jambu, dengan adanya peta yang dibuat secara partisipatif dapat dijadikan alat negosiasi masyarakat kepada para pihak (stakeholders) yang memiliki berbagai kepentingan terhadap wilayah yang sama.
Adapun tujuan dari pemetaan partisipatif ini adalah membantu masyarakat dalam memecahkan persoalan tata batas tanah ulayatnya dengan memadukan sistem modern dengan sistem tradisional, dan menciptakan landasan yang kuat bagi kebijakan yang lebih memberikan peluang pemanfaatan sumber daya hutan kepada masyarakat lokal, sebagai suatu kesatuan antara pemerintah dan masyarakat dalam pemecahan persoalan yang menyangkut atas wilayah tertentu.
Tahapan kegiatan pemetaan partisipatif dilakukan terlebih dahulu dilakukan musyawarah tokoh adat (MUSTODAT) yang dihadiri oleh tokoh adat desa yang akan melakukan pemetaan dan tokoh adat desa-desa yang berbatasan dengan secara langsung. Musyawarah Tokoh Adat desa ini bertujuan untuk saling memberi informasi tentang titik batas antara desa masing-masing sesuai dengan sejarah dan bukti-bukti batas desa baik berupa peta marga, peta kolonial Belanda maupun berdasarkan pepatah adat desa masing-masing.
Setelah kegiatan MUSTODAT kemudian dilakukan kegiatan pelatihan pengenalan dan cara menggunakan alat serta teknik pengambilan titik batas bagi wakil-wakil masyarakat yang akan terlibat langsung dalam melakukan kegiatan pemetaan dilapangan. Kegiatan selanjutnya adalah melakukan pengambilan titik batas dilapangan oleh Tim Pemetaan yang terdiri dari masyarakat dan staff lembaga.
Setelah kegiatan pengambilan titik batas selesai dimulailah penggambaran peta dengan memindahkan titik batas yang diambil dengan menggunakan GPS. Kegiatan penggambaran dan finishing peta dilakukan di Jambi yang dilakukan secara bersama oleh staff lembaga dan utusan masyarakat.
Peta yang telah diselesaikan kemudian dijadikan alat untuk melakukan negosiasi ke berbagai pihak baik itu dengan masyarakat antar desa, Balai TNKS, dan pemerintah. Hasil negosiasi ini kemudian dilakukan revisi terhadap peta sesuai dengan kesepakatan berbagai pihak yang berkepentingan.
Kegiatan akhir setelah revisi peta adalah pengesahan peta yang dilakukan oleh berbagai pihak dari level pemerintahan desa, tokoh adat, Balai TNKS atau instansi teknis sampai kepada level pemerintahan kabupaten (Bupati).
Kegiatan pemetaan partisipatif akan dilakukan di dua desa focal point yaitu Desa Pangkalan Jambu dan Desa Telentam.
- Studi Aksi secara Partisipatif
Studi aksi partisipatif adalah studi yang dilakukan dengan melakukan dialog dan belajar bersama dengan masyarakat dimana dalam studi ini masyarakat tidak hanya sebagai objek studi melainkan merupakan subjek (pelaku) studi itu sendiri.
Studi ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran potensi, peluang, permasalahan serta kebutuhan masyarakat dan kapasitas lokal dalam penyelesaian permasalahan yang terjadi di komunitas mereka.
Studi dilakukan dengan teknik Focus Group Diskusi (FGD), Konsultasi, Indepth Interview serta pengumpulan data sekunder (monografi desa, kecamatan dan kabupaten).
Kegiatan studi aksi ini akan dilakukan di dua desa focal point yaitu Desa Pangkalan Jambu Kecamatan Sungai Manau dan Desa Telentam Kecamatan Tabir Ulu.
- Lokakarya Desa.
Lokakarya Desa merupakan forum stakeholders desa melihat, memaparkan, mengklarifikasi dan saling tukar informasi secara bersama tentang hasil-hasil dari kegiatan pemetaan partisipatif dan studi aksi partisipatif.
Dari hasil diskusi forum multi stake holders desa ini kemudian dilakukan analisa bersama tentang kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman serta kemampuan sumberdaya yang dimiliki masyarakat. Lokakarya dilakukan untuk menyusun strategi aksi bersama guna menjawab permasalahan bersama serta komitment (kontrak sosial) baru dalam pengelolaan sumber daya alam yang lestari dan berkelanjutan.
Kegiatan ini dilakukan di dua desa focal point yaitu Desa Pangkalan Jambu Kecamatan Sungai Manau dan Desa Telentam Kecamatan Tabir Ulu. Peserta lokakarya adalah multi stake holders desa dan staff dari organisasi pelaksana program yang berperan sebagai fasilitator.
1.7. Keluaran (Output) Program Yang Ingin Dicapai
Keluaran atau output program Pembelajaran Bersama ini yang ingin dicapai antara lain :
- Adanya beberapa jenis peta antara lain : (1) peta tata batas wilayah ulayat, (2) peta tata batas wilayah desa, (3) peta pemukiman penduduk, (4) peta tata guna lahan, (5) peta tata ruang desa.
- Teridentifikasinya permasalahan dan kebutuhan, institusi, konflik, potensi sumber daya alam dan organisasi masyarakat sipil yang ada di masyarakat lokal yang menunjang pengembangan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan.
- Adanya kesepakatan mekanisme baru (kontrak sosial) dalam pengelolaan sumberdaya alam bersama oleh masyarakat lokal.
- Adanya rencana aktivitas bersama dalam mengelola sumberdaya alam yang lestari dan berkelanjutan.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!