Kegiatan Workshop Forum Kemitraan Pembangunan Sosial Suku Anak Dalam di Jambi dilaksanakan pada tanggal 16 – 18 Juni 2019 bertempat di V Hotel Jambi. Kegiatan workshop ini bertujuan untuk membahas dan menyepakati tiga agenda pokok yang merupakan pedoman dasar bagi Forum Kemitraan Pembangunan Sosial Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi yang meliputi :

  1. Aturan Dasar Forum Kerjasama Multipihak Pembangun Sosial Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi.
  2. Tata Kerja Pelaksanaan Program Forum Kerjasama Miltipihak Pembangun Sosial Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi.
  3. Arahan Program Forum Kerjasama Miltipihak Pembangun Sosial Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi.

Kegiatan workshop diawali dengan pemaparan materi dari lima keynote speaker yang dihadirkan, yaitu :

  1. Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Dirjend Pemberdayaan Sosial Kementerian Sosial Republik Indonesia : Kebijakan Nasional Pembangunan Sosial Komunitas Adat Terpencil keynote speaker Dr. Harapan L. Gaol (Direktur).
  2. Direktorat Kawasan Konservasi Dirjend Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia : Kebijakan KLHK Dalam Mendukung Pembangunan Sosial Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Dua Belas keynote speaker Ir. Dyah Murtiningsih, M.Hum (Direktur).
  3. Pemerintah Kabupaten Merangin : Kebijakan dan Program Pembangunan Sosial Komunitas Adat Terpencil (SAD) di Kabupaten Merangin Provinsi Jambi keynote speaker Dr. Al Harris (Bupati).
  4. Dinas Sosial dan Pencatatan Sipil Provinsi Jambi : Program Pemberdayaan Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi keynote speaker Arif Munandar, SE, ME.
  5. Pemerintah Kabupaten Sarolangun : Pemberdayaan Suku Anak Dalam di Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi keynote speaker Ir. Dedy Hendri, ME (Asisten II Bupati).

Kegiatan workshop dihadiri oleh berbagai unsur perwakilan yang terdiri dari Kementerian Sosial RI, Kementerian KLHK RI, Balai Taman Nasional Bukit Dua Belas, Dinas Sosial Provinsi Jambi, Pemerintah dan SKPD Kabupaten Sarolangun dan Merangin, Pemerintah Kecamatan di Kabupaten Merangin dan Sarolangun, Pemerintah Desa, Lembaga Adat Kecamatan Air Hitam, Kepolisian Sektor Air Hitam, Pemerintah Desa, Perguruan Tinggi, Perusahaan, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan Organisasi Profesi secara keseluruhan berjumlah 86 peserta.

Hasil yang dicapai dalam kegiatan workshop antara lain :

  • Kesepakatan atas dokumen Aturan Dasar Forum Kerjasama Miltipihak Pembangun Sosial Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi, dokumen Tata Kerja Pelaksanaan Program Forum Kerjasama Miltipihak Pembangun Sosial Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi, dan dokumen Arahan Program Forum Kerjasama Miltipihak Pembangun Sosial Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi.
  • Peserta workshop juga melahirkan beberapa poin rekomendasi sebagai berikut :
  1. Forum Kemitraan Pembangunan Sosial Suku Anak Dalam dapat mempedomani rumusan-rumusan gagasan dihasilkan yang mencakup aturan dasar, tata kerja pelaksanaan program, dan arahan program sebagai gagasan bersama dari para pihak yang terlibat dalam perumusan dimaksud.
  2. Para pihak yang melaksanakan berbagai aktivitas wajib melakukan koordinasi dengan para pihak pemegang otiritas wilayah tempatan dan pengembaraan Suku Anak Dalam dan meminta kepada para pihak pemegang otoritas wilayah untuk melakukan penertiban terhadap kegiatan yang mengatasnakamakan pembangunan sosial Suku Anak Dalam yang tidak mempoleh izin.
  3. Menunjuk Prakarsa Madani Institute sebagai penyelenggara kesekretariatan Forum Kemitraan Pembangunan Sosial Suku Anak Dalam dan memberikan mandat untuk mengembangkan keterlibatan para pihak yang mencakup wilayah Kabupaten Batanghari, Kabupaten Tebo, dan Kabupaten lainnya dalam wilayah Provinsi Jambi yang juga menjadi wilayah tempatan dan pengembaraan Suku Anak Dalam.
  4. Mendorong proses pengintegrasian para pihak di tingkat bawah yang memiliki potensi dalam mendukung pelaksanaan program yang meliputi kepala desa sekitar kawasan TNBD, temenggung, jenang, pangkal waris, dan ujung waris dalam wadah yang terorganisir.

Audiensi dan diskusi para pihak di Kecamatan Air Hitam dilaksanakan pada tanggal 16 Maret 2019 bertempat di Balai Pertemuan Desa Pematang Kabau Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun yang dikemas dalam bentuk kegiatan Sarasehan. Kegiatan sarasehan ini bertujuan untuk memperkuat pola hubungan komunikasi di tingkat bawah sebagai langkah awal memperkuat gagasan untuk melakukan kerjasama dalam melakukan pembangunan sosial Suku Anak Dalam.

Kegiatan sarasehan ini melibatkan dan dihadiri oleh para pihak di tingkat kecamatan yang meliputi :

  1. Camat Kecamatan Air Hitam
  2. Komandan Rayon Militer Kecamatan Pauh (yang meliputi wilayah Kerja Kecamatan Air Hitam).
  3. Kepala Kepolisian Sektor Kecamatan Air Hitam
  4. Perwakilan Balai Taman Nasional Bukit Dua Belas
  5. Perwakilan dari PT. Sari Aditya Loka 1
  6. Perwakilan dari PT. Jambi Agro Wiyana (Sinar Mas Group)
  7. Kepala Desa Pematang kabau
  8. Tenaga lapangan PT. Sari Aditya Loka 1.
  9. Temenggung dan Perwakilan Temenggung yang ada di Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin.
  10. Perwakilan Prakarsa Madani

Beberapa pandangan yang dikemukan oleh para pihak dalam kegiatan sarasehan dapat dijabarkan sebagai berikut :

  1. Pihak Kapolsek pada dasarnya memiliki tugas dalam mengayomi seluruh masyarakat baik masyarakat desa maupun masyarakat Suku Anak Dalam terkait penegakan hukum. Pihak kepolisian lebih mengedapankan aspek pembinaan yang artinya, dalam penanganan masalah hukum, pihak kepolisian membangun kerjasama dengan para tokoh masyarakat dan pemerintah desa sehingga hal-hal yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan itu yang lebih diprioritaskan. Bagi warga desa dan Suku Anak Dalam, jika menghadapi masalah pelanggaran hukum, pihak kepolisian siap memberikan pelayanan, kantor polsek terbuka 24 jam untuk melayani masyarakat. Proses pembinaan kepolisian dasarnya dari hukum adat. Jangan mempersepsikan kalau sudah punya Kartu Tanda Penduduk hukum adat tidak lagi berlaku, kalau ada yang mengatakan seperti itu salah. Tapi namanya kita hidup dalam negara maka ada hukum negara yang disebut hukum pidana dan itu harus kita patuhi. Narkoba kenapa salah karena salah untuk tubuh kita, berbahaya bagi tubuh kita. Mohon dipahami bahwa hukum dibuat untuk melindungi kita. Mohon para temenggung untuk mengingatkan warga dan anak-anak agar tidak melakukan pelanggaran hukum seperti menggunakan narkoba, judi dan sebagainya.
  2. Pihak Danramil yang saat ini mengkoordinir pembangunan kawasan pemukiman Suku Anak Dalam pada prinsipnya juga memiliki perhatian yang besar terhadap upaya mendorong terjadinya perbaikan taraf hidup Suku Anak Dalam. Bagi tentara, posisi masyarakat desa dan Suku Anak Dalam dipandang sama dan tidak ada yang diistimewakan dan semuanya berhak mendapat pengayoman terutama dari segi perlindungan kemananan. Saat ini, pihak tentara melalui Dandim telah dibangun kerjasama bersama pemerintah Kabupaten untuk coba mendorong Suku Anak Dalam menjalani hidup menetap yang salah satunya melalui pembangunan kawasan pemukiman Suku Anak Dalam yang pada akhirnya itu akan menjadi kampung Suku Anak Dalam. Kendatipun demikian, hal inipun perlu mendapat dukungan para pihak termasuk pemerintah desa dan masyarakat desa. Adat Suku Anak Dalam agar tetap dilestarikan dan ditegakan. Adat jangan ditambah-tambahkan lagi, ikuti apa yang sudah ada.
  3. Pihak Balai TNBD pada dasarnya sudah menunjukan komitmen untuk memberikan ruang penghidupan bagi Suku Anak Dalam melalui pembukaan akses bagi Suku Anak Dalam untuk mengelola kawasan TNBD sebelumnya mungkin tidak diperbolehkan. Pihak Balai TNBD telah menyusun pembagian zonasi TNBD yang diselaraskan dengan adat Suku Anak Dalam yang kedepannya diharapkan tidak lagi terjadi benturan dan konflik terutama terkait dengan keberadaan Suku Anak Dalam yang masih bermukim dalam kawasan TNBD. Kerjasama para mutlak diperlukan terutama terkait dengan masalah anggaran dan diharapkan dukungan perusahaan dan pemerintah kabupaten dapat bersama-sama mewujudkan apa yang telah digagas oleh pihak Balai TNBD. Untuk pemanfaatan kawasan TNBD perlu disurvey secara bersama sama kemudian dipetakan untuk ditetapkan wilayah kelola temenggung. Hal ini untuk menghindari terjadinya tumpang-tindih karena saat penetapan TNBD sudah ada bagian kawasan yang digarap oleh Suku Anak Dalam dan masyarakat sekitar. Perubahan pola hidup Suku Anak Dalam yang diharapkan tidak bersifat meninggalkan kearifan lokal. TNBD sesuai yang diamanatkan untuk sumber penghidupan Suku Anak Dalam. Soal menetap bisa dimana saja dan diharapkan keberadaan TNBD bisa menjadi sumber penghidupan Suku Anak Dalam. Banyak kasus Suku Anak Dalam tidak memelihara sumber penghidupannya sendiri, ada kebun yang dimiliki sudah berpindah tangan ke orang lain. Jadi ke depan Suku Anak Dalam bisa mempertahankan dan memelihara apa yang menjadi sumber penghidupan. Balai TNBD bersama pemerintah daerah (kabupaten) untuk mendorong perubahan pola hidup Suku Anak Dalam.
  4. Pihak Camat menjelaskan bahwa perhatian pemerintah sangat besar untuk mendorong kemajuan bagi Suku Anak Dalam. Saat ini pihak pemerintah tengah mengusahakan upaya perekaman data untuk pengurusan KTP bagi Suku Anak Dalam. Pemerintah berharap Suku Anak Dalam bisa memperoleh hidup yang layak dan warga desa tidak boleh cemburu jika pemerintah memberikan perhatian besar kepada masyarakat Suku Anak Dalam. Suku Anak Dalam dan masyarakat harus saling menghormati adat- istiadat masing-masing dan jika ada permasalahan bisa diselesaikan secara bersama-sama. Camat dalam kapasitasnya sebagian bagian dari pemerintah ikut mendorong pelaksanaan program untuk Suku Anak Dalam baik dari pusat, provinsi, dan kabupaten. Camat menegaskan bahwa jika ada orang yang tetap menyuruh Suku Anak Dalam hidup di sudung maka itu jangan diikuti karena Suku Anak Dalam juga harus bisa hidup seperti orang desa. Saat ini sebagian Suku Anak Dalam sudah memiliki KTP dan camat terus mengusahakan agar yang belum memiliki KTP ke depan sudah bisa memiliki KTP. Dan ditegaskan oleh camat bahwa seluruh pengurusan administrasi (KTP dan surat-menyurat) tidak dipungut biaya. Pesan camat berkaitan dengan pemilu diharapkan semua yang sudah memiliki hak pilih gunakanlah hak pilih tersebut dan diberikan kebebasan untuk memilih siapapun. Hal-hal yang berkenaan dengan SAD merangin mungkin bisa dibantu pak danramil untuk menyampaikan ke pak dandim karena camat tidak punya kewenangan. Semoga pemerintah Merangin juga melakukan hal yang sama seperti di Kabupaten Sarolangun. Pemerintah daerah bersinergis dengan Balai TNBD karena Suku Anak Dalam bersentuhan dengan TNBD.
  5. Pihak Kades Pematang Kabau menginformasikan bahwa Banyak hal yang sudah dilakukan berbagai pihak untuk Suku Anak Dalam dan keberhasilan akan sangat ditentukan oleh komitmen kita bersama. Kita semua berharap agar apa yang telah dilakukan dan diberikan oleh para pihak untuk kemajuan Suku Anak Dalam tidak sia-sia. Orang desa transmigran dulu juga dihadapkan pada kehidupan yang sulit namun semua itu bisa dilalui karena adanya motivasi yang kuat untuk merubah hidup. Kehadiran transmigran juga sebenarnya untuk mendorong kemajuan masyarakat desa sekitar. Dalam pandangan kepala desa, belakangan ini kita semua sangat mudah dipengaruhi oleh budaya-budaya luar. Banyak informasi yang diterima tidak dicerna sehingga banyak informasi yang salah diterima begitu saja. Peranan orang tua dan para pimpinan Suku Anak Dalam sangat penting dan dibutuhkan untuk memberikan pendidikan bagi anak anak dan anggota kelompok. Sekolah yang sudah difasilitasi oleh perusahaan agar dimanfaatkan oleh Suku Anak Dalam dan anak-anak dapat didorong untuk sekolah disana.

Di samping menjaring pandangan para pihak, kegiatan sarasehan ini juga memberikan kesempatan bagi Suku Anak Dalam dan pihak-pihak yang memiliki kedekatan sosial dengan Suku Anak Dalam untuk curah pendapat. Berikut beberapa pendapat dan pandangan Suku Anak Dalam yang dikemukakan dalam kegiatan sarasehan :

  1. Pak Sekampung Depati dari Temenggung Ngepas : Kelompok kami kurang diperhatiakan pemerintah. Kami mengharapkan anak anak kami bisa bersekolah agar tidak bodoh seperti orang tuanya. Pemerintah diharapkan bisa membantu kami untuk memperoleh rumah yang layak. Kami yang berada di wilayah Merangin kurang perhatian dan kami senang mendengar perhatian pemerintah di Sarolangun yang sangat besar terutama untuk Suku Anak Dalam Air Hitam. Saat ini kami masih merasa tidak aman karena hidup kami sering terusir karena numpang hidup di tanah orang lain.
  2. Pak Temenggung Ngepas : Kami selalu pindah-pindah karena orang yang punya tanah sering melarang Suku Anak Dalam menegakkan sudung. Jadi tolonglah kami ini dipikirkan agar bisa dapat hidup menetap. PT. SAL 1 sudah membantu mendidik anak-anak kami tapi belajarnya masih di bawah pohon dan kami berharap bisa dibantu fasilitas pendidikan.
  3. Pak Jang Desa Sungai Olak : Pemerintah jangan hanya memperhatikan SAD di Air Hitam tapi juga SAD lainnya khusunya di Merangin perlu juga diperhatikan. Soal Bukit 12 juga bisa dibuka untuk SAD lain dan tidak hanya untuk SAD Air Hitam, pemerintah jangan pilih kasih. Sekarang kami mendirikan tenda tenda selalu diusik karena tidak memiliki tanah yang bisa kami gunakan untuk tempat tinggal. Kami sudah mau diusir orang yang punya tanah, tidak ada penetapkan tanah untuk kami jadikan temapt tinggal. Sekarang sudah 23 KK sudah ditetapkan rumah untuk tempat tinggal. Anggota kami masih ada yang berpindah pindah.
  4. Pak Sikar : Kami merasakan kehilangan tempat tinggal, kami makan tidak merasa kenyang dan tidur tidak merasa nyenyak. Kami di Mandelang tidak melihat adanya satu pohon yang tinggal padahal kami sudah tinggal di hutan sejak jaman belum merdeka. Kalau di Bukit Dua Belas, SAD masih bisa bercocok tanam, kami berharap juga diperhatikan oleh pemerintah, kami berharap dengan pak kades, camat, dan pemerintah dan semua bersatu. Masyarakat desa juga sering membantu kami, kami juga sering membantu masyarakat desa. Masalah muncul karena mungkin anggota kami banyak yang tidak tahu, jadi mohon pemerintah juga membantu kami. Kami mengucapkan terima kasih kepada pemerintah dan pihak PT. SAL yang sudah membantu sekolah dan anak-anak kami sudah bisa sekolah sejak 2013.
  5. Wakil Temenggungf Meladang : Kami sudah istimewa, kami sudah punya rumah mewah, sumber penghidupan juga perlu dibantu agar kami tidak lagi pindah pindah. Kami menyadari bahwa keberadaan kami juga mengganggu yang punya tanah.
  6. Pak Jalaludin (Jenang) : Dari balai TNBD sudah dinformasikan sudah ditetapkan tanah-tanah yang bisa diakses Suku Anak Dalam, kami berharap akses bisa dibuka per kelompok.
  7. Pak Serenggi (Debalang Batin Temenggung Nggrip) : Dua tahun lalu kami diberi kartu BBM namun tidak ada pelaksanaan. Tidak semua temenggung memperoleh bantuan. Bantuan raskin awalnya 20, turun 15, turun 10, turun 5 kg, mohon dijelaskan kenapa begitu, tolong dijelaskan.
  8. Pak Besmen (Tengganai Kedundung Muda) : Apa yang disampaikan oleh nara sumber saya sangat setuju. Apa yang mau dilakukan jangan terdesak tapi dilakukan dengan cara pelan. Dorongan peningkatan ekonomi sudah cukup banyak, dan berharap bantuan perumahan bisa semuanya dapat. Kami berharap ada kegiatan-kegiatan yang bisa memberikan pemasukan seperti pariwisata yang dikelola Suku Anak Dalam.
  9. Pak Bepayung : Kalau ada warga yang ngomong pak camat sekarang bukan raja kami, saya mohon maaf. Saya harap kawan-kawan Suku Anak Dalam bisa sabar, tadi kita dengar semua ingin membantu tapi kita juga harus tahu kemampuan raja-raja kami juga terbatas. Jadi mohon kita bisa sabar. Kami merasa berterima kasih kepada bapak rajo-rajo yang sudah berusaha membantu Suku Anak Dalam. Orang desa bisa maju karena mengikuti peraturan desa, kito Suku Anak Dalam sudah tidak patuh dengan aturan temenggung.
  10. Pak Tamrin (Babinsa Desa Bukit Suban) : Sudah pernah dicanangkan program peduli Suku Anak Dalam namun tidak jalan karena ada kendala komunikasi. Dari banyak pihak yang memperhatikan Suku Anak Dalam memiliki persepsi yang berbeda. Suku Anak Dalam yang merasa putra daerah, ke depan kalau tidak diperhatikan bisa terjadi konflik sosial. Saat ini gejala akan muncul konflik sudah mulai kelihatan. Sejak tahun 2005, banyak pihak-pihak yang memanfaatkan Suku Anak Dalam untuk kepentingan pribadi. Jadi semoga ke depan tidak terjadi lagi. Mengurus Suku Anak Dalam banyak rintangan terutama mendapat tudingan dari berbagai pihak, karena Suku Anak Dalam selalu diprioritaskan. Langkah ke depan yang perlu dilakukan adalah menguatkan sumber penghidupan, baru kita pengaruhi pola pikirnya.
  11. Pak Bahtiar (Debalang Batin)

Adat-adat Suku Anak Dalam sudah banyak perubahan. Saya berharap adat-istiadat Suku Anak Dalam jangan sampai punah dan harus tetap dipertahankan. Adat-istiadat yang sudah ditinggalkan harus ditegakkan lagi dan dipatuhi oleh Suku Anak Dalam. Kami harapkan ada zona perkebunan dan ada jalan patroli di kawasan TNBD. Kami ingin Suku Anak Dalam memiliki sumber penghidupan, ada kebun yang dirawat, dan anak-anak bisa sekolah. Tidak ada gunanya Suku Anak Dalam tinggal di rumah mewah tapi perutnya lapar. Bagi orang rimba, jika sudah diberi lahan jangan lagi diperjual-belikan. Pemerintah dan perusahaan sudah berbaik hati membantu SAD.

Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari kegiatan sarasehan antara lain :

  1. Pada dasarnya para pihak sudah melakukan banyak hal untuk mendorong terjadinya perubahan taraf hidup Suku Anak Dalam melalui berbagai macam program yang dilaksanakan.
  2. Beberapa pihak sudah membangun kerjasama dalam melakukan upaya pembinaan terhadap Suku Anak Dalam dan disadari bahwa kerja para pihak yang sifatnya lebih luas dipandang sangat diperlukan.
  3. Suku Anak Dalam sudah menyadari bahwa para pihak sudah berbuat banyak untuk mendorong Suku Anak Dalam melalukan peningkatan terhadap taraf hidupnya meskipun dirasakan masih belum memadai dan prinsip keadilan belum sepenuhnya dirasakan oleh Suku Anak Dalam.
  4. Diharapkan ke depan bisa terjalin kerjasama dalam mendorong Suku Anak Dalam untuk mencapai perubahan. Apapun masalah yang dihadapi penting untuk dikomunikasikan ke pemegang otoritas dan pihak perusahaan juga penting untuk diajak kerjasama.
  5. Pada intinya, kerjasama antar pihak sudah menjadi keharusan dalam rangka pembangunan Suku Anak Dalam.

Ringkasan  Eksekutif

Suku Anak Dalam (SAD) merupakan salah satu kelompok masyarakat terasing yang ada di Indonesia yang sudah sejak lama hidup dan mengembara dalam kawasan hutan Bukit Dua Belas di Propinsi Jambi. Upaya untuk mendorong perubahan kualitas hidup SAD sudah dilakukan banyak pihak yang dikemas dalam bentuk pelaksanaan berbagai program pemberdayaan dan bantuan sosial untuk SAD PT. SAL 1 merupakan salah satu perusahaan yang sejak lama turut berperan dalam menggerakkan terjadinya perubahan dalam kehidupan orang rimba melalui berbagai program CSR dan bantuan sosial yang diberikan untuk SAD. Kendatipun demikian, secara selintas belum tampak perubahan yang signifikan dalam kehidupan SAD bahkan dari beberapa riset yang telah dilakukan terhadap SAD terungkap fakta-fakta dimana SAD semakin dihadapkan pada berbagai masalah dalam bertahan hidup dan dalam melangsungkan proses kehidupan sosialnya. Hal ini mendorong pihak PT. SAL 1 untuk melakukan kajian terhadap program CSR baik yang telah dilaksanakan maupun yang direncanakan pelaksanaannya untuk menjawab pertanyaan apakah proses pelaksanaan program sudah berjalan dengan baik serta apakah program memberikan hasil dan dampak positif bagi penerima program. Hasil kajian ini sangat diperlukan untuk melakukan perbaikan dan pengembangan program CSR PT. SAL 1 di masa yang akan datang sehingga segala sumberdaya yang dialokasikan berdayaguna bagi penerima program.

Kegiatan studi dilaksanakan dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan melalui kerjasama PT. ASTRA Agro Lestari Tbk dengan Prakarsa Madani Intitut. Studi dilakukan di 6 (enam) kelompok orang rimba yaitu Kelompok Bepayung, Kelompok Aprizal, Kelompok Nangkus, Kelompok Nggrip, Kelompok Sikar, dan Kelompok Pak Jang dengan sasaran studi meliputi 2 aspek yaitu penilaian terhadap 10 program CSR PT. SAL 1 dan aspek yang berkenaan dengan kehidupan SAD yang dipandang relevan untuk perancangan rekomendasi dan arahan program. Studi dilakukan dengan metode survey dan menggunakan instrument berupa kuesioner untuk wawancara terstruktur dan wawancara mendalam dengan jumlah responden orang rimba yang diwawancarai sebanyak 120 responden ditambah informan sebanyak 12 orang yang diambil dari berbagai pihak terkait. Data dan informasi yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan upaya merumuskan rekomendasi dan arahan program dilandasi oleh analisis kondisi faktual, analisis kebutuhan, dan analisis masalah.

Secara umum hasil studi memperlihatkan bahwa program CSR PT. SAL 1 masih perlu perbaikan di tingkat proses pelaksanaan program dimana masih minimnya upaya pelibatan pihak penerima program baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi program. Minimnya pelibatan partisipasi penerima program dalam proses pelaksanaan program memposisikan pihak perusahaan sebagai pihak yang dipandang memiliki tanggung jawab sepenuhnya terhadap pelaksanaan program. Dari segi hasil dan dampak program, hasil studi memperlihatkan bahwa seluruh program yang menjadi sasaran studi sudah memberikan hasil dan dampak positif terhadap penerima program. Kelemahannya dijumpai belum terarahnya hasil dan dampak program terhadap target-target perubahan yang ingin dicapai sebagai manifestasi dari keberadaan program.

Di sisi lain, hasil studi menemukan kecenderungan munculnya persepsi negatif SAD terhadap berbagai pihak yang menjadi obyek studi. Hal ini memperlihatkan bahwa seluruh aktivitas yang sifatnya mendorong terjadinya perubahan dalam kehidupan orang rimba dinilai tidak bermanfaat oleh SAD. Faktor penyebabnya adalah hampir seluruh aktivitas para pihak terhadap pemberdayaan orang rimba dinilai tidak memberikan perbaikan terhadap sumber-sumber pemenuhan kebutuhan hidup orang rimba yang merupakan aspek penting yang diposisikan sebagai jaminan hidup. Secara faktual, temuan studi menunjukkan bahwa persoalan percepatan peningkatan level kebutuhan SAD yang berbanding terbalik terhadap aspek pengembangan sumber-sumber pendapatan merupakan situasi yang membangun SAD semakin sulit untuk bertahan hidup.

Berangkat dari berbagai fenomena dan kondisi faktual yang ditemukan sebagai hasil studi, maka rekomendasi dan arahan program sebagai alat untuk mengintervensi proses perubahan sosial SAD dirumuskan dengan muatan-muatan yang mencakup prinsip-prinsip dasar, target-target perubahan dan capaian, rumusana program yang mencakup jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang, pola implementasi program, penguatan kapasitas pelaksana program, dan persiapan sosial penerima program. Mengingat kompleksnya sarana dan prasarana untuk mencapai sebuah bentuk perubahan sosial, maka sangat diyakini bahwa pihak perusahaan memiliki berbagai keterbatasan dalam melaksanaan serangkaian program yang direkomendasikan. Oleh sebab itu salah satu yang menjadi catatan penting dari rekomendasi studi adalah pentingnya dibangun kerjasama multipihak (bisa dalam bentuk konsorsium) yang memiliki tanggung jawab dan kepedulian terhadap pencapaian tujuan mendorong terjadinya perubahan sosial SAD, minimal SAD bisa hidup setara sebagaimana kehidupan masyarakat desa yang ada di sekitar mereka bermukim. Proses kerjasama multipihak ini juga penting untuk menghindari terjadinya tumpang-tindih program dan pemborosan pendanaan program dimana berbagai penghematan bisa dilakukan jika program dilakukan secara terintegrasi.

Luas Lubuk Larangan

  • Ketika ditanyakan tentang luas lubuk larangan, peserta FGD agak kebingungan menentukan luas yang pasti dari LR karena selama ini tidak pernah dilakukan pengukuran luas tersebut.
  • Menurut Surat Keputusan Desa Telentam Nomor 7 tahun 1994, Panjang kawasan Lubuk Taman Ciri adalah 300 meter, Lubuk Pesong sepanjang 500 meter dan Lubuk Batu Cagak sepanjang 75 meter. Sementara itu menurut SK Bupati KDH TK II Kabupaten SARKO, luas Lubuk Batu Taman Ciri adalah 500 meter.
  • Sampai saat ini Lubuk Larangan yang dikelola sepenuhnya oleh masyarakat adalah Lubuk Pesong dan Lubuk Ampelu. Berkenaan dengan luas ke dua Lubuk Larangan ini, ketika ditanyakan kepada peserta FGD, juga tidak ada jawaban yang pasti dari peserta FGD.

Pembagian Ruang Kawasan

  • Lubuk Larangan Desa Telentam dapat dikategorikan atas 3 jenis; Pertama, Lubuk Batu Ciri, yakni lubuk yang dikelola oleh Dinas Perikanan yang tujuannya sebagai lubuk inti atau reservat; Kedua, Lubuk Penyangga (Lubuk Lanca Bemban) yang berfungsi sebagai penyangga Lubuk Inti; Ketiga, Lubuk Pesong dan Ampelu yang digunakan untuk kepentingan warga desa.
  • Pembagian lubuk ini didasarkan atas kepentingan :
  1. Lubuk Batu Ciri: sebagai kawasan suaka (reservat) ikan, sering juga disebut sebagai lubuk inti, bertujuan sebagai perlindungan habitat berbagai jenis ikan yang terdapat di Sungai Tabir.
  2. Lubuk Lanca Bemban: sebagai kawasan penyangga, bertujuan sebagai penyangga fisik untuk lubuk taman ciri. Disamping itu Lubuk Lanca Bemban juga ditujukan sebagai perluasan habitat (tempat main) ikan yang ada di lubuk taman ciri.
  3. Lubuk Ampelu dan Pesong: sebagai kawasan lubuk larangan yang dapat dipanen, bertujuan menggalang atau mengumpulkan dana untuk pembangunan Mesjid desa Telentam.

SEJARAH DAN LATAR BELAKANG PENETAPAN LUBUK LARANGAN

Sejarah Lubuk Larangan Desa Telentam

  • Lubuk Larangan Desa Telentam ditetapkan pertama kali tahun 1992. Ide pembuatan lubuk larangan bersumber dari pengalaman di Muara Ngaol. Pasirah Ulu Tabir yang memperoleh informasi bahwa di Muara Buat Muara Bungo berhasil dikembangkan semacam lubuk larangan. Sekitar tahun 1970, Pasirah Ulu Tabir mengadopsi pengalaman Muara Buat dan membuat lubuk larangan di di Muara Ngaol. Masyarakat Telentam melihat pengalaman Ngaol yang berhasil mengumpulkan dana dan menginginkan juga membuat Lubuk Larangan.
  • Masyarakat mengusulkan kepada orang adat, yang waktu itu Datuk Rajo Gemoyang dijabat oleh Bapak Makson. Usulan ini ditindak lanjuti kemudian sekitar tahun 1992 ditetapkan Lubuk Pesong sebagai lubuk larangan.
  • Dulu tiap dusun ada peruntukan lubuk; Lubuk Cadak untuk Dusun Rumah Panjang; Lubuk Batu Guling untuk Dusun Kampung Tengah; Lubuk Pesong untuk Dusun Rumah Gedang dan Guguk; dan Lubuk Ampelu untuk Dusun Kandang.
  • Karena Lubuk Cadak dan Batu Guling gagal, maka pada tanggal 14 Oktober 1994 Kepala Desa mengeluarkan Surat Keputusan Desa nomor 7 tahun 1994, menetapkan beberapa kawasan menjadi lubuk larangan:
  1. Lubuk Taman Ciri sebagai lubuk penyangga dengan panjang 300 meter.
  2. Lubuk Pesong sebagai lubuk inti dengan panjang 500 meter.
  3. Lubuk Batu Cagak sebagai lubuk penyangga dengan panjang 75 meter.
  • Tahun 1995 melalui Keputusan Desa Nomor 34 tahun 1995, diserahkan pengelolaan Lubuk Taman Ciri dan Lubuk Lanca Bemban kepada Pemerintah Daerah TK II Sarolangun Bangko.
  • Melalui Surat Keputusan Bupati Nomor 135 tahun 1996, yang ditandatangani tanggal 25 Januari 1996, ditetapkanlah lubuk Taman Ciri desa Telentam sebagai suaka ikan (reservat) serta lubuk Lanca Bemban sebagai lubuk penyangga.
  • Saat ini hanya dua lubuk Lubuk Pesong dan Ampelu yang benar-benar dikelola oleh masyarakat Desa Telentam.

 PROFIL PARA PENGGAGAS

Gagasan Lubuk Larangan

Gagasan pembuatan Lubuk Larangan bersumber dari masyarakat luas. Tidak teridentifikasi siapa tokoh orang perorangan maupun kelompok sebagai penggagas pembuatan Lubuk Larangan. Gagasan dari masyarakat ini diteruskan kepada Datuk Rajo Gemoyang yang waktu itu dijabat oleh Bapak Makson. Dibawah kepemimpinan beliau Kerapatan Adat desa Telentam menetapkan bahwa Lubuk Pesong menjadi Lubuk Larangan.

Keadaan Masyarakat

  • Pada awalnya argumen penetapan Lubuk Larangan adalah karena masyarakat butuh dana pembangunan mesjid, iuran sulit dipungut dari masyarakat karena kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Argumen lain adalah banyaknya pendatang dari luar desa yang menangkap ikan, dan dikhawatirkan populasi maupun jenis ikan akan berkurang, maka dibuatlah Lubuk Larangan di desa Telentam.
  • Saat ini argumen tersebut masih tetap berlaku dan dipertahankan, ditambah oleh kenyataan sekarang populasi dan jenis ikan makin lama semakin berkurang di Sungai Tabir. Oleh karena itu sebahagian besar warga berpendapat bahwa Lubuk Larangan perlu dilestarikan.

POLA PENGELOLAAN LUBUK LARANGAN OLEH MASYARAKAT LOKAL

 Pengelola Lubuk Larangan

  • Lubuk Larangan (Pesong dan Ampelu) dikelola oleh organisasi Benang Tigo Sapilin (Kerapatan Adat Desa Telentam, kaum Syara’, dan Pemerintahan Desa).
  • Lubuk Taman Ciri (Reservat) dan Lubuk Lanca Bemban (Penyangga) di kelola oleh Dinas Perikanan. Sementara berkaitan dengan keamanan dan kelestariannya masyarakat masih bertanggung jawab.
  • Belum ada pembagian peran dan tanggung jawab yang jelas dari Benang Tigo Sapilin untuk mengelola Lubuk Larangan.

Pemanfaatan Lubuk Larangan

  • Lubuk Penyangga pernah dipanen dua kali. Panen pertama hasilnya 30 % untuk desa dan 20 % untuk karang taruna. Panen kedua dilakukan dengan cara lelang, hasilnya 40 % untuk mesjid dan 10 % untuk karang taruna.
  • Pemanenan Lubuk Pengangga ini telah diatur dalam SK Bupati Nomor 135 Tahun 1996, dimana dalam SK tersebut dinyatakan bahwa interval pemanenan adalah dalam jangka waktu 1 sampai 2 tahun dan pemanenan diatur oleh Kepala Desa Telentam.
  • Di Lubuk Penyangga juga boleh dilakukan pemancingan. Harinya ditetapkan pada hari sabtu malam minggu. Tetapi orang belum ramai karena penetapan hari yang kurang tepat. Biasanya yang dapatng adalah rombongan pedagang yang aktivitasnya begitu sibuk pada hari sabtu dan minggu.
  • Lubuk Larangan (pesong dan ampelu) dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan mesjid Desa Telentam.
  • Dalam pemanfaatan/panen, kerapatan adat, pegawai syara’ dan pemdes membentuk panitia pemanenan dan panitia ini bertanggung jawab penuh kepada Benang Tigo Sapilin.

Konpensasi Pemanfaatan

Belum ada teridentifikasi berbagai bentuk konpensasi dalam pemanenan Lubuk Larangan, seperti pemberian pakan, pelepasan benih, penanaman tumbuhan pakan disekitar sungai, dan lainnya.

INSTITUSI PENGELOLAAN DAN PERLINDUNGAN LUBUK LARANGAN

 Institusi Pengelolaan Lubuk Larangan

  • Belum ada peraturan desa ataupun peraturan tertulis tentang institusi pengelola Lubuk Larangan. Belum ada juga kejelasan struktur pengelola serta belum ada juga penjelasan tertulis tentang hak dan kewajiban masyarakat secara umum.
  • Dari hasil FGD, diperoleh informasi bahwa Benang Tigo Sapilin adalah lembaga yang diakui sebagai pengelola/pengatur Lubuk Larangan. Belum ada kejelasan kewenangan institusi pengaturan Lubuk Larangan Desa Telentam
  • Institusi yang ada dan dapat dicermati oleh Tim SP berkaitan dengan Lubuk Larangan adalah institusi pemanenan dan institusi pengawasan.

Institusi Pemanenan Lubuk Larangan

  • Dalam rapat yang dihadiri oleh Benang Tigo Sapilin, dibentuk panitia pemanenan Lubuk Larangan, ditetapkan pembagian hasil panen, ditetapkan tata tertib pemanenan, dan ditentukan waktu panen.
  • Panitia bertanggung jawab penuh kepada Benang Tigo Sapilin.
  • Sesuai dengan keputusan rapat tersebut alokasi pembagian hasil panen Lubuk Larangan adalah sebagai berikut:
  1. Tim pengawasan/pemelihara: 30 % dari hasil panen.
  2. Kerapatan Adat: Rp 100.000/lubuk
  3. Selebihnya untuk pembangunan mesjid.
  • Tata tertib Pemanenan adalah:
  1. Jala biasa, karcisnya : Rp 15.000/jala
  2. Jala menggunakan biduk, karcisnya : Rp 20.000/jala
  3. Menembak Dewasa, karcisnya : Rp 15.000/senapan
  4. Menembak Anak-anak, karcisnya : Rp 5.000/senapan
  5. Pukat atau Jaring, karcisnya : Rp 15.000/jaring

Institusi Pengawasan/Pemeliharaan Lubuk Larangan

  • Tim Yasinan 40 ditugaskan mengawasi dan memelihara keamanan Lubuk Larangan dari berbagai gangguan terhadap LR seperti pencurian, peracunan dan lainnya.
  • Tim Yasinan memperoleh 30 persen dari hasil panen Lubuk Larangan.
  • Tim Yasinan melakukan aktivitas pembacaan yasin minimal satu kali dalam seminggu.
  • Keanggotaan tim yasinan bersifat terbuka, artinya siapa saja warga desa dapat berpartisipasi dan bergabung ke dalam tim pengawasan/pemeliharaan ini.

JARINGAN PENGELOLAAN DAN PERLINDUNGAN LUBUK LARANGAN

Aktivitas Bersama

  • Aktivitas-aktivitas bersama yang dilakukan dalam dalam pengelolaan dan perlindungan Lubuk Larangan teridentifikasi beberapa jenis aktivitas.
  1. Aktivitas Pengawasan dan Pengamanan

Pengawasan di Lubuk Larangan Ampelu dan Pesong serta Taman Ciri dan penyangga, dilakukan oleh kelompok Yasinan 40, yang beranggotakan 12 orang. Pengawasan oleh Yasinan ini baru dilakukan pada tahun 2003 ini. Tahun-tahun sebelumnya pengawasan dilakukan oleh kerapatan adat sendiri, namun pencurian atau kecolongan tetap terjadi. Semenjak ada Yasinan 40, maka kecolongan dapat dihindarkan.

  1. Aktivitas Pemanenan Lubuk Larangan.
  • Dalam pemanenan, kerapatan adat Desa Telentam membentuk panitia pemanenan.
  • Panitia Pemanenan Lubuk Larangan adalah:

Pelindung:

  1. Datuk Rajo Gemoyang
  2. Kepala Desa

Ketua I

Ketua II

Sekretaris

Bendahara

Keamanan

Perlengkapan

Humas

Pemilihan Personil

  • Personil yang duduk dalam organisasi pengawasan ditetapkan secara terbuka dalam musyawarah. Artinya tidak ada batasan jumlah tertentu dari organisasi pengawasan dan pengamanan ini.
  • Personil yang duduk dalam panitia panen lubuk larangan dipilih dalam musyawarah yang dihadiri oleh Benang Tigo Sapilin. Tidak ada indikasi bahwa personil yang duduk dalam panitia terkait secara genealogis maupun teritorial.
  • Dalam rapat tersebut, tidak dijelaskan secara rinci tugas dan kewenangan personil yang duduk dalam panitia panen.
  • Berdasarkan pengalaman panen tahun 2003 dapat diidentifikasi tugas dan wewenang dari panitia panen.
  1. Pelindung
  2. Bertanggung jawab penuh terhadap kelancaran proses pemanenan lubuk larangan.
  3. Membuka secara resmi pemanenan dengan tanda melemparkan jala ke dalam lubuk larangan yang akan dipanen.
  4. Ketua I dan II
  5. Bertanggung jawab dalam pelaksanaan panen, mulai dari persiapan sampai masa panen tiba.
  6. Mengkordinasikan seluruh kegiatan pemanenan Lubuk Larangan.
  7. Sekretaris
  8. Mempersiapkan administrasi pemanenan berupa pengumuman, undangan, tata tertib panen dan tanda-tanda peserta.
  9. Menerima pendaftaran peserta dan membukukan pendaftaran tersebut dengan baik.
  10. Bendahara
  11. Membukukan pendaftaran peserta bersama sekretaris.
  12. Melaporkan perolehan dana dalam rapat panitia.
  13. Mengalokasikan pembagian dana sesuai dengan kesepakatan dalam rapat.
  14. Keamanan
  15. Menjaga ketertiban peserta sebelum waktu panen dimulai
  16. Menjaga keamanan secara keseluruhan sewaktu panen
  17. Memantau kecurangan-kecurangan yang terjadi sebelum panen dan selama panen berlangsung.
  18. Perlengkapan
  19. Mempersiapkan perlengkapan yang dibutuhkan pada waktu panen seperti pengeras suara, meja, kursi, tanda peserta.
  20. Mengkordinasikan perlengkapan pra panen seperti pembuatan beremban, luka, ilau, pundun dan lainnya.
  21. Humas
  22. Menginformasikan ketentuan-ketentuan panen Lubuk Larangan kepada masyarakat secara luas.
  23. Menyebarkan undangan panen kepada masyarakat luas.

FUNGSI KONSERVASI, SOSIAL, DAN EKONOMI PENGELOLAAN LUBUK LARANGAN

Fungsi Lubuk Larangan

Fungsi Konservasi

  1. Perlindungan populasi berbagai jenis ikan.
  2. Perlindungan habitat ikan.
  3. Lubuk Penyangga berfungsi sebagai penyangga teknis terhadap upaya pengambilan ikan di lubuk inti.
  4. Lubuk Penyangga juga berfungsi sebagai daerah perluasan habitat/tempat main ikan.

Fungsi Ekonomi

  1. Penyediaan kebutuhan ikan bagi warga ketika panen dilakukan.
  2. Penggalian dana pembangunan desa (mesjid)

Fungsi Sosial

  1. Pelestarian adat istiadat setempat dalam memelihara sumber daya alam terutama sungai dan berbagai jenis ikan.
  2. Penyedia jasa hobi memancing ikan (kolam pemancingan)

Jenis Ikan yang Dikelola dan Dilindungi di Lubuk Larangan

Jenis ikan

  • Jenis ikan yang banyak dan bernilai ekonomis adalah ikan semah, yang harganya mencapai Rp 30.000/kg.
  • Secara umum jenis-jenis ikan yang terdapat di Sungai Tabir dan Sungai Telentam di Desa Telentam adalah: ikan mansai/kapiek, baung, barau, bujuk, medik, catur, mali-mali, kelari, tupang idung, mantili, tilan, ayam-ayam, tombak-tombak, sengiring, kepore, dalum, selimang, paris, jua, seluang, selokok, udang dan ikan kalom.
  • Ikan yang sering didapat dengan jala adalah: ikan kapiek, selimang, mali-mali,

Prediksi Kelangsungan Jenis Ikan

  • Sebagian besar masyarakat memahami bahwa Lubuk Larangan sangat perlu dilestarikan dan oleh karena itu Lubuk Larangan akan dapat mempertahankan keberadaan berbagai jenis ikan tersebut.
  • Namun demikian ada juga ancaman terhadap kelestarian Lubuk Larangan yang mencakup:
  1. Ancaman internal (dari masyarakat Desa Telentam), berupa godaan untuk mengambil ikan yang ada di Lubuk Larangan dan peracunan ikan.
  2. Ancaman eksternal berupa pencurian ikan Lubuk Larangan oleh orang luar. Mungkin karena mereka tidak tahun bahwa ada Lubuk Larangan, karena tidak ada tanda-tanda berupa papan pengumuman
  3. Ancaman dari alam; Tubo Gelumbai.

PETA MASALAH DAN PETA KONFLIK PENGELOLAAN LUBUK LARANGAN

 Masalah dan Konflik

  1. Ancaman Internal
  • Ancaman internal (dari masyarakat Desa Telentam), berupa godaan untuk mengambil ikan yang ada di Lubuk Larangan dan peracunan ikan.
  • Pernah dulu terjadi pencurian ikan oleh warga, sehingga ketika waktu panen tiba, Lubuk Larangan tidak memberikan hasil yang memuaskan (hasil panen kira-kira Rp. 400.000). Kenyataan ini memalukan Benang Tigo Sapilin karena yang hadir waktu penen tersebut banyak warga dari luar Desa Telentam.
  • Oleh karena terjadi pencurian dan kerugian tersebut maka kerapatan adat mengeluarkan ide bahwa pengawasan dan pemeliharaan Lubuk Larangan dari gangguan / pencurian dari warga desa dilakukan dengan menggunakan metode pembacaan Yasin 40. Setelah menggunakan metode ini, pencurian atau kecolongan ikan tidak pernah terjadi lagi. Diyakini oleh warga bahwa jika masih ada yang berbuat curang terhadapmLubuk Larangan, maka akan mndapatkan hukuman dari Tuhan berupa berbagai penyakit, dimana peyakit ini sangat sulit dicarikan obatnya.
  1. Ancaman Eksternal
  • Ancaman eksternal berupa pencurian ikan Lubuk Larangan oleh orang luar. Mungkin karena mereka tidak tahun bahwa ada Lubuk Larangan, karena tidak ada tanda-tanda berupa papan pengumuman.
  • Pencurian ikan Lubuk Larangan oleh orang luar warga desa dilakukan dengan menggunakan jaring/pukat yang sangat rapat. Jaring ini dibentangkan sepanjang sungai dan sipelaku masuk kedalam sungai dan hanyut bersama dengan jaring tersebut. Akan tetapi sekarang, tidak pernah lagi kejadian serupa terjadi.
  • Diperkirakan kelakuan orang luar desa yang menggunakan pukat/jaring yang terlalu rapat untuk menangkap mikan diluar Lubuk Larangan, juga merupakan ancaman yang serius bagi warga desa. Sampai saat ini belum ada aturan yang mengatur pengunaan pukat / jring yang rapat tersebut.
  1. Ancaman dari alam; Tubo Gelumbai.
  • Pernah terjadi tanah longsor pada bagian hulu sungai. Tanah yang longsor ini membawa potongan kayu, sampah serta lumpur yang berwarna hitam dan lumpur ini mengeluarkan aroma busuk. Akibat terjadinya kejadian semacam ini banyak iikan yang mati bahkan masyarakat desa pun ada yang tidak mau memakan ikan yahng mati tersebut. Kejadian ini oleh masyarakat disebut dengan Tubo Gelumbai.
  • Dari hasil eksplorasi FGD dan indeepth interview diketahui bahwa terjadinya tubo gelumbai ini diduga karna semakin meluasnya penebangan kayu di daerah hulu sungai.

PANDANGAN WARGA DESA TERHADAP PENGELOLAAN LUBUK LARANGAN

 Informasi Pengelolaan

  • Warga tahu bahwa pengelolaan Lubuk Larangan didiminasi oleh kerapatan adat dibawah kepemimpinan Datuk Rajo Gemoyang, meskipun dalam pengambilan keputusan seperti panen kerapatan adat selalu mengikut sertakan komponen pemerintah desa dan komponen kaum syara’.
  • Warga juga memahami bahwa sampai saat ini belum ada pembagian tugas dan wewenang yang jelas terhadap pengelolaan Lubuk Larangan baik tugas dan kewenangan dari kerapatan adat , komponen pemerintah desa maupun komponen syara’.
  • Warga juga mengetahui bahwa pengawasan dan pengamanan LR dilakukan oleh kelompok yasinan 40.
  • Warga juga setuju tetang kelompok yasinan ini, karena pengawasan sebelumnya banyak kebocoran/pencurian.
  • Untuk Lubuk Batu Ciri, warga mengetahui bahwa lubuk tersebut dikelola oleh dinas perikanan akan tetapi, warga tidak mengetahui cara pengelolaan yang dilakukan oleh dinas perikanan terhadap lubuk reservat lubuk batu ciri.
  • Ada SK dari dinas perikanan untuk petugas yang ditempatkan di sana.
  • Yang diketahui warga adalah jika terjadi pencurian terhadap reservat, maka akan dikenakan denda sebesar Rp 100 juta, atau kurungan selama 10 tahun penjara, jadi sangsinya lebih berat dari sangsi adat.

Kepentingan Warga terhadap Lubuk Larangan

  • Terhadap Lubuk Batu Ciri, warga berhadap masih tetap dipertahankan karena menjadi sumber ikan untuk sungai Tabir terutama perlindungan ikan semah.
  • Terhadap Lubuk Pesong dan Ampelu, warga juga mengetahui bahwa hasil kedua lubuk tersebut digunakan untuk pembangunan sarana mesjid yang berguna bagi desa Telentam.

Harapan

  • Lubuk pesong dan ampelu tetap dipertahankan keberadaannya.
  • Panennya jangan dijual kepada pembeli luar, karena warga tidak dapat menikmatinya.
  • Panen lebih baik seperti yang dilakukan pada panen terakhir di lubuk ampelu (dijual karcis atas kategori alat panen).
  • Ada penambahan lubuk larangan yang akan digunakan untuk kepentingan organisasi desa dan pembangunan desa lainnya.

 

Luas Hutan Adat

  • Luas kawasan Hutan Adat Desa (HAD) sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Bupati No. 225 Tahun 1993, tanggal 15 Juni 1993 adalah 753,74 Ha, yang ditandatangani oleh Bupati Sarolangun Bangko waktu itu yakni Bpk Bambang Soekowinarno. Luas yang dinyatakan buku (naratif) sedikit berbeda dengan temuan Tim studi Pemetaan Partisipatif di lapangan, karena ada satu sungai yaitu sungai Ibai yang tidak tergambar di peta SK Bupati tersebut. Salah satu batas alam HAD menurut buku (uraian secara naratif) adalah sungai Supenin dan dalam peta SK Bupati No. 225 Tahun 1993, sungai Supenin yang dimaksud secara naratif adalah sungai Ibai.
  • Sampai saat ini, selama ditetapkannya kawasan hutan desa Baru Pangkalan Jambu menjadi HAD, ada dua tumpang tindih luas kawasan HAD.
  1. Dengan konsesi HPH PT Sarestra I. Kemudian keluar instruksi Bupati untuk mencabut izin operasi PT Sarestra I.
  2. Dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Terdapat sekitar 300 Ha luas HAD tumpang tindih dengan luas HAD berdasarkan SK Bupati. Tumpang tindih luas ini terjadi karena pemasangan tapal batas TNKS dilakukan secara sepihak oleh pihak TNKS (mitra TNKS) dan tidak mengikut sertakan masyarakat lokal desa Baru Pangkalan Jambu (BPJ). Di lapangan tidak ada tata batas yang jelas dari luasan tumpang tindih seperti yang diuraikan di atas, hanya saja Tim Studi Pemetaan Patisipatif (PP) menemukan dua titik tapal batas TNKS, yang jika ditarik garis lurus dari kedua titik tersebut, akan memotong kawasan HAD dengan luasan sekitar 300 Ha.

Pembagian Ruang Kawasan

  • Berdasarkan hasil Focuss Group Discussion (FGD), diketahui bahwa, pola pengelolaan HAD oleh masyarakat adat desa BPJ, belum menunjukkan adanya pembagian ruang yang jelas seperti ruang pemanfaatan atau budidaya, ruang interaksi maupun ruang inti kawasan.
  • Akan tetapi hasil FGD menunjukkan sebenarnya ada daerah-daerah tertentu yang perlu dipertimbangkan dalam pemanfaatan ataupun pengambilan kayu, seperti: tidak mengambil kayu pada daerah kelerengan lebih dari 450 , tidak mengambil kayu pada daerah pinggir sungai, tidak mengambil kayu pada daerah hulu sungai.
  • Hasil FGD juga menunjukkan bahwa ke depan masyarakat berharap HAD perlu dikelola dengan pola ruang yang jelas. Pola pembagian ruang ini tercermin dari pikiran peserta FGD untuk menjadikan daerah Hutan Adat menjadi :
  1. kawasan budidaya (untuk kawasan datar), agar kawasan HAD juga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat.
  2. Hutan Adat utuh seperti kelerengan lebih dari 450, pinggir sungai, dan daerah hulu sungai, agar kawasan HAD mampu memberikan perlindungan sumber air dan perlindungan flora serta fauna.
  3. Hutan Adat sosial, seperti tempat yang memiliki arti khusus (makam keramat, lokasi para dewa), agar terjadi keberlanjutan hubungan sosial antara masyarakat dengan tempat tersebut.

Sejarah Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu

  • HAD Baru Pangkalan Jambu ditetapkan melalui SK Bupati No. 225 Tahun 1993, tanggal 15 Juni 1993.
  • SK Bupati tersebut berawal dari himbauan Bupati Sarko (Bambang Soekowinarno) kepada 24 desa yang berada di wilayah di Kec Sungai Manau agar membuat Hutan Adat, dimana kriteria wilayah hutan adat tersebut adalah: tidak tumpang tindih dengan desa lain, tidak dilalui oleh jalur transportasi atau mobil. Luas yang diminta waktu itu untuk masing-masing desa adalah seluas 250 Ha. Himbauan tersebut direspon oleh aparat pemerintah desa waktu itu, dan diadakanlah rapat (sidang) di desa yang melibatkan tokoh adat, agama, pemuda dan wakil kelompok perempuan. Hasil sidang memutuskan bahwa daerah yang akan dijadikan HAD adalah kawasan HAD sekarang. Kemudian diusulkan oleh Kepala Desa (Pak Maakat) melalui Surat Kepala Desa Ninik Mamak Desa Baru Pangkalan Jambu Kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sarolangun Bangko Tanggal 1 Februari 1993 Nomor 7/Kades/ 2002/1993, tentang Usulan Pembuatan Hutan Adat Desa kepada Bupati. Menurut warga usulan pada waktu itu hanya sekitar 250 HA dimana batas-batas calon HAD berbatasan sebelah Utara dengan Sungai Jernih (batas alam), sebelah Barat dan Timur berbatasan dengan Sungai Pangkalan Jambu, dan Sebelah Selatan berbatasan dengan Sungai Supenin.
  • Alasan anjuran Bupati adalah :
  1. Hutan sudah semakin hancur, karena penebangan kayu secara illegal dan karena aktivitas pembalakan kayu oleh konsesi HPH.
  2. Kepentingan penetapan zonasi kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, dimana Hutan Adat merupakan kawasan buffer zones dari TNKS.
  3. Hutan Adat flora dan fauna.

 

PROFIL PARA PENGGAGAS

Gagasan Hutan Adat

  • Himbauan Bupati kepada 24 desa di Kec. Sungai Manau.
  • Maakat sebagai Kades merespon himbauan Bupati dan melakukan musayawarah-musyawarah di Desa. Musyawarah di desa waktu itu difasilitasi oleh WWF Kerinci (Bpk Tengku Budi, dkk), Secara kebetulan (menurut informasi warga desa) WWF Kerinci, bersama aparat Dinas Kehutanan Kab. Sarko melakukan survei di calon lokasi HAD yang akan diajukan ke Bupati. Kepentingan WWF dan Dinas Kehutanan mungkin dalam rangka penetapan zonasi TNKS yang memang belum ada rencana sama sekali. Karena mempunyai kepentingan yang sama (WWF berkeinginan bahwa HAD menjadi buffer zone TNKS sementara masyarakat berkeinginan calon lokasi tersebut menjadi HAD) maka WWF mendampingi Aparat Desa Baru Pangkalan Jambu untuk mengusulkan kepada Bupati untuk melegal formalkan HAD sesuai dengan anjuran/himbauan Bupati waktu itu.
  • Beberapa tokoh yang teridentifikasi sebagai penjawab gagasan Bupati adalah: (Lizaruddin, Ketua, juga sebagai pucuk pimpinan adat dengan gelar Rio Niti Dirajo); (Maakat, Wakil, sebagai Kepala Desa); (Sabarina, Bendahara); (Sabli, Anggota); Elfis; Bahrul K; Zulkarnaen, tokoh masyarakat dengan gelar Dt Bandara Kayo; Mulya Arpan; Mukhtaruddin; (Jahari, Penasehat, dengan gelar Depati Cahyo Negoro).

Kondisi Hutan Adat Sebelum di Keluarkan SK Bupati

  • Diyakini bahwa kawasan hutan tersebut merupakan kawasan angker yang mempunyai kekuatan (mungkin untuk menjaga ketersediaan air) sehingga tidak dijamah oleh masyarakat. Kekuatan tersebut seperti: jika ada warga desa atau masyarakat luar desa yang mengambil kayu atau hasil hutan lainnya, maka yang bersangkutan akan ditimpa marabahaya atau bala seperti ditimpa kayu, sakit, ataupun akan mati hanyut. Hal aneh lainnya adalah jika ada orang baru masuk ke wilayah tersebut maka, gerimis akan turun seketika. Disamping itu wilayah HAD tersebut diyakini oleh warga merupakan lintasan Datuk Rajo Bujang (sebutan untuk penunggu Gunung Batuah). Oleh karena itu, dari dulu HAD memang tidak diganggu oleh masyarakat.

Keadaan Masyarakat

  • Sewaktu diadakan rapat untuk menjawab himbauan Bupati, semua masyarakat setuju kawasan tersebut dijadikan kawasan hutan adat. Tidak ada satupun kelompok yang menentang pengajuan hutan adat tersebut.
  • Kondisi di atas didukung oleh fakta bahwa selain tempat tersebut dipandang angker, sebelum tahun 1986 ada sungai keramat yang biasa mengairi sawah, tetapi setelah bukit dibuka menjadi wilayah perkebunan, air sungaipun mengecil dan tidak lagi cukup untuk mengairi sawah. Kebutuhan air sawah dicukupi dengan menggunakan kincir air.
  • Saat ini, melihat begitu meluasnya pengambilan kayu di luar hutan adat, tidak stabilnya debit air sungai Pangkalan Jambu (debit air cepat naik ketika hujan turun bahkan sampai membanjiri desa, sebaliknya debit air itupun cepat turun), dan HAD kaya akan flora (tanaman obat, jenis-jenis kayu) dan fauna, maka masyarakat pun semakin berkeinginan untuk tetap memertahankan dan menjaga HAD desa BPJ.

POLA-POLA PENGELOLAAN HUTAN ADAT OLEH MASYARAKAT LOKAL

 Pengelola Kawasan Hutan Adat

  • Kawasan HAD dikelola oleh suatu organisasi yang disebut dengan Kelompok Kerja Pengelolaan Hutan Adat.
  • Organisasi pengelola ini dimuat dalam Peraturan Desa (Perdes) Nomor: 1/Perdes/HAD/XII/93 dan ditetapkan bulan Desember 1993 kemudian perdes ini diperbaharui dengan Perdes Nomor: 01/Perdes/HAD/02/1994, yang ditetapkan pada tanggal 25 Februari 1994.
  • Materi yang tertuang dalam Perdes Nomor: 01/Perdes/HAD/02/1994 tersebut sebagai berikut:
  1. Ketentuan Umum
  2. Azas dan tujuan serta fungsi
  3. Luas letak dan batas wilayah HAD
  4. Kelembagaan dan tugas serta wewenang
  5. Kewajiban dan hak masyarakat adat
  6. Sangsi-sangsi
  7. Sumber pembiayaan dan pengembangan pengelolaan HAD
  8. Pada bagian lampiran diuraikan tentang struktur dan tata kerja kelompok kerja HAD desa BPJ.

Pemanfaatan Kawasan HAD

  • Menurut aturan yang ada, semua masyarakat desa Baru Pangkalan Jambu memiliki akses terhadap HAD. Tetapi pandangan sebagian besar masyarakat, HAD adalah suatu kawasan lindung yang tidak boleh dijamah ataupun dimanfaatkan sama sekali.
  • Ada poin dalam PERDES, untuk keperluan mendesak boleh mengambil kayu tetapi melalui mufakat ninik mamak yang berkordinasi dengan kelompok kerja HAD.
  • Pemanfaatan Kayu HAD yang pernah dilakukan untuk kepentingan bersama masyarakat desa :
  1. Membangun Mesjid (teridentifikasi tokoh Lizaruddin, sebagai Rio Niti; Maakat, sekretaris pembangunan mesjid; Nasaruddin alm, sebagai Kades meminta izin kepada Bupati dan Dinas Kehutanan Sarko untuk mengambil kayu). Izin tidak dapat, tetapi kayu diambil juga dan selama pengambilan dan pengangkutan kayu tidak ada gangguan.
  2. Dana tambahan untuk pembangunan PLTA Mikro bantuan ICDP TNKS.
  • Aturan mengambil kayu adalah: (1) Tebang pilih, mengambil kayu diameter lebih dari 50 cm, (2) Tidak mengambil kayu diketingggian dan kelerengan yang tajam, (3) Tidak mengambil kayu di pinggir dan di hulu sungai, (4) Tidak mengambil kayu yang tidak bisa dimanfaatkan.

Konpensasi Pemanfaatan

Tidak ada konpensasi dalam pengambilan kayu HAD seperti mewajibkan penanaman misalnya Tebang Pilih dan Tanam.

 

INSTITUSI PENGELOLAAN DAN PERLINDUNGAN HUTAN ADAT

 Institusi Pengelolaan Hutan Adat

  • Institusi HAD terangkum dalam Perdes Nomor: 1/Perdes/HAD/XII/93 dan ditetapkan bulan Desember 1993 kemudian perdes ini diperbaharui dengan Perdes Nomor: 01/Perdes/HAD/02/1994.
  • Perdes 1993 tersebut ditandatangi oleh Kepala Desa (Bpk. Maakat) waktu itu, diinisiasi oleh WWF (terutama Sdr. Tengku Budi dan Sdr. Khusnul ). Kepentingan WWF adalah dalam promosi kegiatan WWF di Prop. Jambi berkaitan dengan pengelolaan buffer zones.
  • Perdes 1994 yang bersumber dari Perdes 1993 yang ditandatangani oleh Kepala Desa waktu itu yaitu Alm Nasaruddin. Perdes 1994 ini diinisiasi oleh personil Fasilitator Konservasi Desa (FKD) yang terlibat pada proyek ICDP. Jika diteliti lebih dalam ternyata ada perubahan mendasar dari perdes 1993, berkenaan dengan struktur dan penjelasan tentang kordinator otomatis HAD yang dijabat oleh Rio Niti.
  • Diakui oleh sebahagian peserta FGD bahwa Perdes HAD, merupakan inisiasi WWF dan Fasilitator Konservasi Desa ICDP. Kenyataan bahwa sebahagian besar masyarakat belum memahami dengan baik isi perdes tersebut, baik struktur, tugas dan kewenangan maupun hak dan kewajiban masyarakat. .

Struktur Pengelolaan HAD

Ada di Perdes Desa Baru Pangkalan Jambu Nomor 01/Perdes/HAD/02/94

Tugas

  1. Kordinator Kelompok HAD
    1. Mengkordinir semua anggota Kelompok Kerja Hutan Adat Desa (KKHAD) dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengelolaan HAD.
    2. Melaporkan adanya kerusakan dan pelanggaran oleh masyarakat kepada pemerintah Desa dan Lembaga Adat.
  2. Kepala Desa
    1. Mengkordinir seluruh anggota kelembagaan desa, sebagai pengendali pelaksanaan teknis lapangan.
    2. Menegakkan peraturan desa tentang HAD.
    3. Melakukan pengendalian pelaksanaan teknis lapangan dalam kawasan HAD.
    4. Mengawasi dan menyelesaikan serta melaksanakan sanksi hukuman yang telah diputus Lembaga Adat Desa.

Hak dan Kewajiban

Hak Masyarakat:

  1. Mengambil benih dan bibit tumbuhan untuk kepentingan pengayaan dari dalam kawasan HAD untuk dibudidayakan.
  2. Memanfaatkan potensi HAD sebagai tempat rekresasi sekaligus belajar.
  3. Memungut hasil hutan berupa bahan baku ramuan obat tradisional tanpa memusnahkan jenis sumber obatan tersebut.

Kewajiban Masyarakat

  1. Tidak menebang pohon serta memusnahkan jenis tumbuhan sumber makanan satwa secara liar serta jenis tumbuhan induk sebagai sumber benih tanaman budidaya.
  2. Tidak membunuh binatang yang hidup dan berkembang biak dalam HAD dan dalam kawasan hutan disekitarnya, kecuali binatang tersebut mengancam dan merugikan hajat hidup orang banyak.
  3. Memelihara, menjaga, memperbaiki dan menghormati patok batas fungsi hutan adat desa dan batas tetap hutan Taman Nasional Kerinci Seblat.
  4. Tidak membuka dan menggarap perladangan baru serta perluasan lahan budidaya dan membangun pemukiman tetap di dalam HAD.
  5. Tidak melakukankegiatan pembakaran, baik di dalam maupun di pinggir kawasan HAD.
  6. Tidak membuang sampah yang tidak dapat dihancurkan dan tidak menggunakan cairan beracun dalam melakukan semua kegiatan di dalam kawasan HAD.
  7. Menjaga dan memelihara sumber-sumber mata air dan hulu sungai dalam kawaan hutan adat desa.

Sangsi

  1. Denda kambing 1 ekor dan 20 gantang beras bagi ;
    1. Menangkap ikan bagi yang menggunakan zat racun atau peralatan listrik.
    2. Memasang jerat binatang.
    3. Menangkap binatang atau satwa langka yang dilindungi.
    4. Mencemari dan merusak hulu sungai dan anak sungai disekitar hutan adat desa.
    5. Merubah posisi, merusak dan memusnahkan patok batas hutan adat desa, hutan TNKS.
  2. Denda 1 ekor kerbau dewasa dan 100 gantang beras bagi yang menangkap binatang dan satwa yang dilindungi, menebang kayu untuk tujuan perdagangan dan membuka hutan untuk keperluan usaha.

 Pemanfaatan HAD

  • Aturan pengambilan kayu HAD: tidak mengambil kayu di hulu sungai, tidak mengambil kayu di tepi sungai, tidak mengambil kayu yang tidak bisa digunakan, dan tidak mengambil kayu pada kelerengan >450 .
  • Dalam pengambilan kayu HAD, dibentuk panitia. Panitia mengajukan rencana pengambilan kayu kepada pengurus HAD dan perlu mendapat persetujuan dari ninik mamak. Rencana pengambilan kayu berisi: jenis kayu , lokasi penebangan, kubifikasi, dan jalur keluar kayu sampai ke desa.
  • Tim pengawas langsung mengontrol di lapangan.

JARINGAN PENGELOLAAN DAN PERLINDUNGAN HUTAN ADAT

Aktivitas Bersama

Aktivitas-aktivitas bersama yang dilakukan dalam dalam pengelolaan dan perlindungan kawasan teridentifikasi beberapa jenis aktivitas.

  1. Aktivitas Pengawasan

Organisasi Pengawasan Hutan Adat. Terdiri dari 6 orang personil. Ketua: Bpk Zulkarnain dan Anggota: Tajudin, Mukhtaruddin, Elvis, Mulya Arpan, Muhammad.

  1. Aktivitas Pengambilan Kayu.
  • Organisasi pengambilan kayu terdiri dari 3 orang personil. Ketua adalah Bpk Zulkarnain, Sekretaris Bpk Kari; dan Bendahara Bpk Joni Saputra.
  • Pengambilan Kayu untuk Pembuatan Mesjid, tahun 1997. Setelah mendapat izin dari Ninik Mamak dan berkordinasi dengan Pengurus Hutan Adat, panitia pembangunan mesjid ( Bpk. Lijaruddin/Ketua, Bpk Maakat/Sekretaris dan Kades Bpk Nasaruddin) mengajukan permohonan kepada Bupati dan Dinas Kehutanan Sarko untuk pengambilan kayu. Permohonan tidak mendapat jawaban yang memuaskan warga desa, dan ada indikasi bahwa permohonan pengambilan kayu warga ini tidak akan dikabulkan oleh instansi yang berwenang. Pak Maakat, mantan Kades yang lebih banyak mengetahui admistrasi surat menyurat, mengatakan bahwa jika surat dari Desa yang ditujukan ke pada instansi yang lebih tinggi, jika dua bulan tidak ditanggapi secara tertulis, maka surat tersebut berarti tidak bermasalah. Dengan alasan tersebut, maka dilakukanlah pengambilan kayu untuk pembuatan Mesjid dan tidak ada pertanyaan maupun pemrosesan secara hukum terhadap warga berkenaan dengan pengambilan dan pengangkutan kayu tersebut.
  • Pengambilan Kayu untuk Melengkapi Dana Pembuatan PLTA Mikro. Dana PLTA yang tersedia sesuai fasilitas proyek ICDP adalah Rp 125 jt. Tetapi sampai saat ini masih PLTA tersebut belum beroperasi karena saluran pembuangan air dari instalasi miro hidro belum dibangun sebagaimana mestinya. Setelah dilakukan kalkulasi ulang tentang biaya yang diperlukan agar PLTA berfungsi, maka pembuatan saluran tersebut diperkirakan membutuhkan biaya skitar Rp 48 juta. Keputusan dari pengurus HAD adalah, bahwa kekurangan dana ini akan ditutupi dengan mengambil kayu HAD.
  1. Aktivitas Pengamanan
  • Melakukan kegiatan monitoring dalam HAD sekali 15 hari.
  • Operasi pengamanan yang dikordinir oleh Pak Zulkarnain bersama anggota keamanan lainnya seperti: Tajudin, Mukhtaruddin, Elvis, Muya Arpan, Muhammad. Kegiatan pengamanan terutama dilakukan jika ada laporan dari Pak Jahari, misalnya ada pencurian kayu, maka Pak Zulkarnain langsung memerintahkan anggota untuk memeriksa kondisi lapangan.

Pemilihan Personil

Personil yang duduk dalam pengurus (pengawasan, pengambilan kayu, pengamanan) dipilih dalam musyawarah desa yang melibatkan semua unsur. Legal formal terakhir kepengurusan HAD adalah pada tahun 1994, dan sampai sekarang belum ada aturan atau keputusan maupun Perdes baru yang dikeluarkan mengganti Perdes tahun 1994 tersebut.

FUNGSI KONSERVASI, SOSIAL EKONOMI HUTAN ADAT

Fungsi Kawasan HAD ada dalam PERDES Tahun 1994

Fungsi Konservasi

  1. Perlindungan sumbr-sumber mata air dan hulu sungai serta pemeliharaan mutu tanah.
  2. Perlindungan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar untuk memelihara hubungan timbal balik antara unsur-unsur alam seperti pemeliharaan mutu tanah, penyimpanan air tanah, pengadaan zat makanan tumbuhan, pemeliharaan cuaca setempat, dan untuk perkembangbiakan tumbuhan dan hewan.
  3. Penyangga sumber daya alam atau penyangga perluasan habitat hewan dan tumbuhan bagi Taman Nasional Kerinci Seblat.

Fungsi Ekonomi

  1. Penyediaan bahan baku hasil hutan ikutan non-kayu untuk mendukung kebutuhan rumah tangga bagi masyarakat yang sangat memerlukan
  2. Penyediaan sumbr benih dan bibit tumbuhan untuk kepentingan budidaya di daerah pedesan.

Fungsi Sosial

  1. Pemanfaatan pengembangan wisata alam terbatas, pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian kehutanan untuk peningkatan wawasan, kemampuan dan kesejahteraan masyarakat setempat.
  2. Pelestarian adat istiadat setempat dalam memelihara sumber daya alam pedesaan.

Catatan

  • Sebagian besar peserta FGD tidak memahami fungsi kawasan HAD. Peserta beranggapan bahwa HAD sama dengan Hutan Lindung.
  • Sosialisasi Perdes kepada seluruh masyarakat tidak berjalan dengan baik.

 JENIS FLORA DAN FAUNA YANG DIKELOLA DAN DILINDUNGI PADA HUTAN ADAT

Jenis Flora dan Fauna

  • Jenis Obat-obatan (pasak bumi, legru, aru putih, akar kunyit, brotowali, cendawan susu harimau)
  • Jenis Damar
  • Jenis Rotan
  • Jenis Sialang (untuk madu lebah)
  • Jenis Jelutung
  • Jenis Buahan Hutan
  • Kuaw, Kancil, Kijang, Rusa, Ayam Hutan, Harimau, Siamang, Tupai, Macan, Kambing Hutan,
  • Berbagai jenis burung
  • Jenis kayu yang diambil (kelukup, meranti dan bayang) dan jenis lainnya (pule, jelutung, duren, Manau, Petai Hutan, Gaharu)

Prediksi Kelangsungan Hidup Flora dan Fauna

  • Karena sebagian besar masyarakat memahami HAD sebagai Hutan Lindung, maka flora dan fauna yang ada di HAD akan tetap terjamin keberadaannnya
  • Ancaman terhadap kelestarian Flora dan Fauna mencakup:
  1. Ancaman internal (dari masyarakat desa Baru Pangkalan Jambu), berupa godaan untuk mengambil flora dan fauna yang ada dalam HAD.
  2. Ancaman eksternal (pencurian kayu dari luar desa), terutama karena HAD kaya dengan berbagai jenis kayu sementara daerah sekitar HAD telah berlangsung illegal logging. Alasan lain adalah adanya anggapan bahwa HAD desa BPJ adalah HA Marga Pangkalan Jambu, yang bisa diakses oleh masyarakat adat Marga Pangkalan Jambu.

 PETA MASALAH DAN PETA KONFLIK PENGELOLAAN HUTAN ADAT

 Masalah dan Konflik

  1. Ancaman Internal

Pengambilan kayu oleh warga desa. Pengambilan kayu dilakukan dengan sengaja maupun secara tidak sengaja. Pengambilan secara sengaja misalnya terdeteksi setelah pengurus hutan adat menerima laporan dari Pak Jahari (sebagai pelapor). Setelah tim pengaman memeriksa kondisi lapangan memang terdapat bekas tebangan, namun tidak cukup bukti yang dijadikan dasar tuduhan pencurian kayu. Pengambilan secara tak sengaja, misalnya terjadi sewaktu Pak Maakat menjabat Kepala Desa. Ada perbedaan pandangan antara Pak Maakat dengan Pengurus HAD. Menurut Pak Maakat, kayu yang diambil tersebut bukanlah termasuk ke dalam wilayah HAD. Akan tetapi menurut pengurus HAD, kayu yang diambil termasuk ke dalam wilayah HAD. Pengurus yang berkordinasi dengan ninik mamak menjatuhkan sangsi kambing satu ekor dan beras 20 gantang kepada keluarga Pak Maakat. Tetapi karena Pak Maakat meyakini bahwa kayu tersebut bukan termasuk wilayah HAD, maka sangsi tersebut tidak dijalankan.

  1. Ancaman Eksternal
  • Ada pandangan bahwa HAD desa Baru Pangkalan Jambu merupakan HAD marga pangkalan jambu. Oleh karena itu masyarakat adat marga pangkalan jambu dapat memiliki akses terhadap HAD. Pandangan ini merupakan ancaman terbesar dikemudian hari, lebih lagi daerah lain selain HAD telah telah menjadi sasaran illegal loging, baik oleh masyarakat desa BPJ maupun masyarakat desa sekitar.
  • Pencurian kayu oleh mitra TNKS. Tetapi tidak ada bukti kuat karena sewaktu akan dilakukan pemeriksaan lapangan, banjir datang dan kayu yang dicuri hanyut.
  • Ada upaya pihak eksternal (pemilik modal) untuk menjadikan HAD sebagai kawasan dengan izin IPKR. Niat dari pihak eksternal ini pernah dibicarakan dengan Tajuddin sebagai Kepala Desa, namun sampai dengan Tim Studi ke lapangan, belum ada jawaban resmi dari pihak Pemerintahan Desa.
  • Ada niat untuk membangun sawmill di desa Baru Pangkalan Jambu, namun niat ini mendapat tantangan dari Pak Zulkarnain dengan alasan: sawmill mencemari sawah dan sungai serta sawmill akan menguras sumberdaya kayu dengan cepat termasuk godaan untuk mengambil kayu HAD. Akhirnya sawmill tersebut tidak jadi berdiri.
  1. Tata Batas dengan TNKS
  • Penetapan tata batas TNKS secara sepihak, menyebabkan sekitar lebih kurang 300 Ha Hutan Adat masuk ke dalam wilayah TNKS. Setelah dilakukan upaya dialog dengan pihak TNKS Bangko, ternyata terdapat perbedaan pandangan antara masyarakat dengan pihak TNKS. Masyarakat berpandangan bahwa luas HAD sesuai dengan SK Bupati yakni seluas 754,55 HA dengan batas-batas Utara dengan Sungai Jernih (batas alam), sebelah Barat dan Timur berbatasan dengan Sungai Pangkalan Jambu, dan Sebelah Selatan berbatasan dengan Sungai Supenin. Sementara dipihak TNKS berpandangan bahwa batas TNKS sesuai dengan SK Menteri.
  • Ada indikasi bahwa pemasangan patok TNKS di tengah HAD adalah akibat perbuatan oknum mitra TNKS. Oknum mitra TNKS ini diduga telah mencuri kayu HAD. Alasan mitra TNKS adalah bahwa kayu yang diambil adalah kayu negara.
  • Pernah dilakukan upaya dialog dengan Bappeda Sarko (yang ikut pertemuan Pak Maakat, Pak Zul, Pak Lizaruddin, Mulya Arpan dan Saberina), dan terjadi ketegangan antara masyarakat dengan pihak Bappeda. Tidak ada penyelesaian perbedaan pandangan tersebut waktu itu dan sampai sekarang ini.

PANDANGAN WARGA DESA TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN ADAT

 Informasi Pengelolaan

  • Sosialisasi HAD sangat kurang, masyarakat cenderung memahami HAD sebagai kawasan hutan lindung.
  • Sosialisasi sebaiknya jangan hanya di mesjid saja, karena kaum ibu mempunyai halangan ke mesjid. Sebaiknya sosialisasi tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan desa juga dilakukan di langgar dan bahkan jika bisa dibuat papan pengumuman.
  • Pemahaman terhadap organisasi pengelola di tingkat personil yang duduk dalam struktur pengelola HAD sangat minim. Apalagi pemahaman organisasi pengelolaan HAD ini di tingkat masyarakat luas, artinya sebahagian besar masyarakat kurang memahami struktur, kewenangan, tugas dan hak serta kewajiban masyarakat.

Kepentingan Warga terhadap HAD

  • Warga menyadari bahwa HAD perlu untuk perlindungan tata air. Buktinya jika hujan datang dalam waktu yang tidak lama, air sungai meluap dengan cepat dan turun dengan waktu yang cepat juga.
  • Warga juga menyadari bahwa HAD perlu untuk perlindungan Flora dan Fauna.
  • Disadari juga bahwa kawasan HAD banyak mengandung jenis tumbuhan obat-obatan.
  • HAD juga dapat menyediakan kebutuhan kayu untuk kepentingan bersama masyarakat desa.

Harapan

  • Ada warga desa yang berpendapat bahwa HAD jangan diganggu lagi. Artinya HAD dipelihara saja agar terjamin kelestariannya.
  • Argumen di atas didasarkan atas fakta bahwa ada ide untuk mendirikan madrasah, kemudian setelah kayu ditebang, maka pengelolaan dan pertanggung jawabannya tidak jelas lagi.
  • Disamping harapan di atas, ada juga warga yang berpendapat bahwa HAD bisa saja diambil kayunya asalkan untuk kepentingan bersama.
  • Diharapkan bahwa pengurus HAD transparan / terbuka memberikan laporan atas sangsi-sangsi yang diberikan. Pernah ada sangsi denda 500.000 kepada seseorang tetapi tidak tahun kemana perginya uang tersebut.

 

Tulisan ini disalin ulang oleh LSM PRAKARSA MADANI dari Laporan Peninjauan II Saudara Ali Ibrahim, Mahasiswa Jurusan Ilmu Pendidikan dan Pekerjaan Kemasyarakatan FKIP Univ. Padjadjaran, Bandung, Tahun 1962.

I. Kekuasaan Tertinggi.

Kekuasaan tertinggi dipegang oleh suatu majelis yang terdiri dari tujuh orang. Ketujuh orang itu sama tinggi kedudukannya. Majelis ini bernama “Datuk Berempat – Menti Bertigo”. Datuk berempat melambangkan bahwa negeri ini ada hubungannya dengan “Basa Ampek Balai” di Minangkabau. Menti Betigo melambangkan bahwa penduduk negeri ini terdiri dari tiga alur. Datuk Berempat – Menti Betigo jumlahnya tujuh orang: angka tujuh ini hikmahnya untuk mengimbangi “Piagam nan Tujuh Pucuk” di Kerinci.

Datuk Berempat berasal dari keluarga Datuk Putih dan keluarga Datuk Mangkuto Marajo. Yang berasal dari keluarga Datuk Putih ialah Datuk Penghulu Mudo dan Datuk Penghulu Kayo. Dan yang berasal dari keluarga Datuk Mangkuto Marajo ialah Datuk Bandaro Kayo dan Datuk Majo Bantan.

Masing-masing Datuk Berempat mempunyai wakil:

  1. Wakil Datuk Penghulu Mudo ialah Rajo Mananti
  2. Wakil Datuk Penghulu Kayo ialah Sempono Kayo
  3. Wakil Datuk Bandaro Kayo ialah Rajo Malendan
  4. Wakil Datuk Majo Bantan ialah Rajo Malintang

Keempat orang wakil ini disebut “Anak Gadang nan Berempat”. Mereka adalah anak timangan Datuk Berempat. Diibaratkan sebagai burung perkutut diujung jari: makan di tapak tangan, mengisap ka ujung kuku.

Menti Batigo diangkat dari orang Batin: diantaranya dari keluarga Depati Muara Langkap. Ketiga orang Menti itu masing-masing bergelar : Rio Niti, Rio Gemalo, dan Rio Sari*.

Antara Datuk Berempat Menti Betigo, haruslah diciptakan kerjasama yang sebaik-baiknya. Hal ini sinyatakan dengan kata-kata adat yang berikut:

Datuk Berempat sebagai Bapak,
Menti Betigo sebagai Induk,
Belalang Datuk Berempat,
Padang Menti Betigo
Merebah Datuk Berempat,
Cemeteh Menti Betigo
Peti nan begawang pada Menti nan Betigo
Anak Kuncinyo pada Datuk nan Berempat.

Dibawah Datuk Berempat Menti Betigo ini, kalau yang dinamakan “Nan Bejenjang Naik, Betanggo Turun” yaitu ninik mamak-ninik mamak yang masing-masingnya mengepalai sebuah kampung. Merekalah yang merupakan badan eksekutif yang langsung berhubungan dengan anak kemenakannya.

Jabatan Datuk Berempat Menti Betigo dan Nan Bejenjang Naik, Betanggo Turun ini, diwariskan menurut garis ibu; jadi kepada kemenakan. Jika menurut garis ibu tidak ada lagi yang patut, barulah jatuh kepada anak dengan jalan meresmikan secara adat.

II.    Pembagian Tugas

Untuk memudahkan jalannya pemerintahan, maka diadakanlah pembagian tugas. Demikianlah Datuk Berempat Menti Betigo disamping menjadi anggota majelis tertinggi, ketujuh orang tersebut merangkap pula tugas-tugas tertentu:

  • Datuk Berempat
  1. Datuk Penghulu Mudo, disamping menjadi anggota majelis tertinggi ia bertugas mengurus hubungan dengan negeri lain dan mengurus orang-orang yang keluar masuk.
  2. Datuk Penghulu Kayo, disamping menjadi anggota majelis tertinggi ia bertugas mengurus keramaian-keramaian yang diadakan, nan taisak-isak dilebuh.
  3. Datuk Bendaro Kayo, disamping menjadi anggota majelis tertinggi, ia bertugas mengurus perkara-perkara kejahatan seprti pembunuhan, perkelahian dan sebagainya. Menurut kata-kata adat urusan Datuk Bendaro Kayo ini disebut: darah teserak, daging tekuak.
  4. Datuk Rajo Bantan, disamping menjadi anggota majelis tertinggi, ia bertugas mengurus pertambangan. Atau ada orang akan membuka tambang emas, haruslah diberitahukan kepadanya terlebih dahulu. Menurut kata-kata adat urusan Datuk Bendaro Bantan ini disebut: ditebat nan tegenang, dibandar nan tajelo.
  • Menti Betigo

Menti Betigo disamping menjadi anggota majelis tertinggi, masing-masing mereka bertugas menjadi Kepala Dusun (Rio) yang diberi kekuasaan untuk memerintah beberapa buah kampung yang berpusat di Dusun tempat kedudukan masing-masing Rio tersebut.

Selain dari itu mereka bertugas pula mengurus “air beralih, pulau menjurung” (maksudnya ialah tanah-tanah pertanian yang diruntuhkan oleh aliran sungai yang berubah-0ubah dan kemudian dapat dijadikan tanah pertanian kembali bila tanahnya telah timbul) dalam daerah masing-masing.

  1. Rio Niti, berkedudukan di Dusun Baru dan ia bertugas mengepalai serta mengurus Kampung nan IV.
  2. Rio Gemalo, berkedudukan di Dusun Nangko dan ia bertugas mengepalai serta mengurus Orang Tigo Alur.
  3. Rio Sari, berkedudukan di Dusun Sungai Jering dan ia bertugas mengepalai serta mengurus Kampung VIIIg
III.  Agama

Untuk mengurus hal-hal yang berhubungan dengan agama, diangkat tiga orang pegawai agama:

  1. Imam
  2. Khatib
  3. Bilal
IV.    Pengawas

Untuk mengamat-amati jalannya Undang-undang Adat, diangkatlah seorang pengawas yang diberi gelar “Rajo Malenggang”. Dialah yang akan mengetahui lebih dahulu jika ada dalam masyarakat terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-undang Adat. Rajo Malenggang berkewajiban memneri laporan kepada sidang Datuk Berempat Menti Betigo, jika ada cermin nan kabur, lantak nan goyah, buek nanlah berubah dan pakai nanlah terjun.

V.      Pengadilan.

Perkara yang kecil-kecil diadili oleh ninik mamak-ninik mamak dimana kekuatan itu terjadi. Jika tidak putus oleh ninik mamak setempat dibawahlah kedalam sidang Datuk Berampat Menti Batigo. Sidang Datuk Berampat Menti Batigolah yang merupakan pengadilan yang tertinggi dan mereka berhak menjatuhkan hukuman atau denda kepada sipelanggar, sesuai dengan undang-undang adat.

Demikianlah garis-garis besar dari pada ketetapan-ketetapan Datuk Putih dan Datuk Mangkaro Marajo yang diresmikan sewaktu perhelatan besar di Pondok Pekan Puaso. Sementara itu Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo tidak aktif lagi memerintah. Mereka hanya bertindak sebagai penasehat saja sampai mereka meninggal dunia. Pemerintahan dijalankan oleh Datuk Berempat Menti Batigo serta nan Bajenjang Naik, Batanggo Turun. Pada waktu itu warga Pangkalan Jambu merupakan sebuah kerajaan keci yang bernaung dalam kerajaan Jambi.

Sejak masuknya kekuasaan penjajahan Belanda kedesa ini pada tahun 1901, sistem pemerintahan secara adat terus berlangsung, tetapi kemudian untuk hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah Belanda. Hukum-hukum adat setempat masih tetap dihormati pemerintah Belanda.

Dewasa ini dalam hal-hal yang berhubungan adat istiadat, masih berkuasa Datuk Barempat Menti Batigo. Tetapi untuk urusan-urusan yang berhubungan dengan pemerintah atasan, dikepalai oleh seorang Pasirah atau Kepala Marga.

VI.    Asal Nama Pangkalan Jambu.

Dahulu, Marga Pangkalan Jambu bernama Renah Sungai Kunyit. Kemudian setelah terbentuknya pemerintahan Datuk Barempat Menti Batigo, datanglah raja Jambi beserta beberapa orang pengiringnya melihat keadaan negeri ini. Ditepian Dusun Nangko ada sebatang pohon Jambu. Sewaktu raja sampai ketempat ini, berhentilah ia dan perahu tersebut ditambatkannya pada batang jambu itu. Sejak itu raja menamakan negeri ini Pangkalan Jambu. lama kelamaan nama pangkal jambu berubah menjadi Pangkalan Jambu. Setelah itu dikenal orang negeri ini Pangkalan Jambu. Dari tahun 1901 sampai dengan tahun 1926 Pangkalan Jambu bernama “ Distrik Datuk Barempat Pangkalan Jambu “ dan mulai dari tahun 1926 sampai sekarang bernama Marga Pangkalan Jambu.

VII.  Asal Usul Penduduk Marga Pangkalan Jambu.

Sebagian besar dari penduduk Pangkalan jambu berasal dari Minang Kabau, karena orang Minang Kabaulah yang mula-mula membuka negeri ini dibawah pimpinan Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo, kira-kira pada akhir abad ke-XIV.

Golongan penduduk yang kedua berasal dari Kerinci terutama dari Tamiai dan pulau Sangka, yaitu keturunan kaum keluarga Depati Muara Langkap.

Selain itu ada pula yang berasal dari daerah Palembang, Luhak XVI dan Muko-Muko yang disebut daerah Pesisir Balik Bukit.

Antara pendatang-pendatang dari berbagai daerah itu terjadi percampuran darah karena perkawinan atau semendo-menjemendo. Karena hal ini telah berlangsung beratus-ratus tahun, maka penduduk Pangkalan Jambu sekarang ini umumnya memopunyai hubungan kekeluargaan satu sama lainnya.

VIII. Asal Usul Mata Pencaharian Penduduk.

    Asal usul mata pencaharian penduduk MArga Pangkalan Jambu pada zaman dahulu, ialah menambang dan mendulang emas. Tetapi kemudian disamping mencari emas, mereka juga membuka ladang dan sawah. Sejak dibukanya lahan pertanian, maka bertani dan menambang emas merupakan dua mata pencaharian yang sama pentingnya. Selain dari bertani dan menambang emas, penduduk juga memelihara ternak. Dewasa ini yang menjadi mata pencaharian pokok penduduk ialah bertani. Menambang atau mendulang emas, berternak hanya merupakan pekerjaan sambilan. Semenjak terbukanya hubungan lalu lintas mobil ada sebagian kecil penduduk yang hidup dari perdagangan.

IX.    Perubahan – Perubahan Sosial.

Suatu kebiasaan yang telah teradat di desa ini ialah mengadakan perhelatan dan kendurian bila ada kematian dan peristiwa-peristiwa lainnya. Dalam hal ini akan dititik beratkan pada peristiwa kematian. Peristiwa kematian merupakan suatu kejadian yang harus diikuti oleh beberapa kali perhelatan. Prosesnya demikian : Bila ada seseorang meninggal dunia, maka perhelatan diadakan pada bilangan-bilangan hari yang ketiga, ketujuh, dua kali tujuh (hari keempat belas), hari yang keempat puluh dan bilangan hari yang keseratus. Semakin besar bilangan harinya semakin besar pulalah jamuan yang diadakan. Lebih-lebih lagi bagi keluarga yang tergolong dalam keluarga yang mampu.

Jika ditinjau secara ekonomis, maka perbuatan tersebut merupakan pemborosan belaka. Tetapi sebaliknya masyarakat memandang hal ini lah yang menentukan kedudukan sosial seseorang. Bagi keluarga-keluarga yang tidak mampu mereka menggadaikan sawah dan ladangnya untuk bisa mengadakan perhelatan guna menjaga nama baik mereka dalam masyarakat.

Berkat usaha dari ulama-ulama Islam dan organisasi Muhammdiyah sejak tahun 1938, maka kebiasaaan penduduk yang tidak ekonomis dan tidak menurut ajaran agama Islam yang sesungguhnya itu, dapat ditinggalkan secara berangsur-angsur, sehingga dewasa ini tidak ada lagi perhelatan menurut bilangan-bilangan hari tersebut diatas. Tetapi cukup hanya sekali kenduri sesuai dengan kemampuan keluarga yang meninggal dan hal ini tidak menjadi persoalan lagi bagi masyarakat.

Rencana semula Menti Betigo itu adalah : Rio Niti, Rio Gemalo dan Rio Menang. Tetapi karena sesuatu hal, Rio Menang tidak mau ikut serta. Sebab itu ia tidak hadir pada hari peresmian Undang-undang adat di Pondok Pekan Puasa. Untuk mencukupkan bilangan Menti ini sampai tigo orang, maka diangkatlah pada hari itu juga seorang Menti yang bergelar Rio Sari. Ia berasal dari orang berlima di Pondok Panjang Muara Sungai Bujur.

Sejak tahun 1909 Kampung VIII digabungkan oleh pemerintah Belanda masuk Marga Tanah Renah (Sungai Manau), karena penagihan pajak pada tahun-tahun sebelum tahun 1909, tidak beres oleh Kepala Distrik Pangkalan Jambu. Sebelum tahun 1909 perbatasan Marga Pangkalan Jambu dan Marga Tanah Renah aialah Sungai Sigata sebelah Timur Kampung Rumah Gedang sampai ke Kandang Balik dan kemudian mendaki ke hulu sengai Nagan.

 

Tulisan ini disalin ulang oleh LSM PRAKARSA MADANI dari Laporan Peninjauan II Saudara Ali Ibrahim, Mahasiswa Jurusan Ilmu Pendidikan dan Pekerjaan Kemasyarakatan FKIP Univ. Padjadjaran, Bandung, Tahun 1962.

I.      Dasar Undang-undang Adat

Undang-undang adat berdasarkan kepada “wajah nan tigo dan perbetulan nan duo”.

  • Wajah nan tigo yaitu:
  1. Buek
  2. Pakai
  3. Peseko
  • Perbetulan nan duo yaitu:
  1. Perbetulan syara’
  2. Perbetulan adat.
  • Wajah nan Tigo
  1. Buek, ialah semua keputusan-keputusan yang telah disahkan bersama, berdasarkan kata sepakat.
  2. Pakai, ialah kewajiban untuk mematuhi dan menjalankan sesuatu yang telah menjadi keputusan bersama.
  3. Peseko (pusako), ialah apa-apa yang telah menjadi ketetapan bersama, wajib dipatuhi dan dijalankan sampai turun-temurun. Jadi harus dipusakakan kepada anak cucu. Kata-kata adat mengatakan “nan tidak lekang karena panas, nan tidak lapuk karena hujan”.
  • Perbetulan nan Duo
  1. Perbetulan syara’, ialah ajaran-ajaran agama islam. Jadi undang-undang adat yang dibuat berdasarkan ajaran-ajaran agama islam, menurut kata adat “adat besendi syara’, syara’ besendi kitab Allah”.
  2. Perbetulan adat, ialah wajah nan tigo. Wajah nan tigo itu wajib dipakai selama-lamanya hendaklah dijadikan contoh dan diikuti oleh generasi-generasi yang akan datang, menurut kata adat demikian “bersesap berjerami, bertunggul berpemarasan, jalan dirambah yang akan diturut, baju berjahit yang akan disarungkan”.

Segala undang-undang adat yang mengatur berbagai segi kehidupan dijiwai oleh “wajah nan tigo, perbetulan nan duo” tersebut di atas.

II.    Sumpah Karang Setio

Undang-undang adat/perjanjian yang tidak tertulis ini disertai oleh semacam sangsi yang dirumuskan “Sumpah Karang Setio”. Sumpah ini berbunyi sebagai berikut:

Eso duo tigo empek

Empek limo enam tujuh

Barang siapo mengubah buek

Anak balimo mati sepuluh

Keateh tidak berpucuk bulek

Kebawah tidak beurek tunggang

Tengah-tengahnyo digirik kumbang

Bak disapu laman nan panjang

Bak disepai rumah nan gadang

 Maksudnya :

Barangsiapa yang memungkiri perjanjian-perjanjian yang telah dibuat bersama-sama (Undang-undang adat) baik oleh dia sendiri maupun oleh anak cucunya dibelakang hari, maka ia akan dimakan oleh “Sumpah Karang Setio – Buek Purbokalo”. Bila ia telah dimakan oleh sumpah tersebut, maka akan pupuslah semua anak cucunya. Diumpamakan sebagai telah disapu bersih halaman nan panjang.

Tulisan ini disalin ulang oleh LSM PRAKARSA MADANI dari Laporan Peninjauan II Saudara Ali Ibrahim, Mahasiswa Jurusan Ilmu Pendidikan dan Pekerjaan Kemasyarakatan FKIP Univ. Padjadjaran, Bandung, Tahun 1962.

Sejarah Marga Pangkalan Jambu

  1. Sumber Sejarah

Sejarah yang tertulis tidak ada. Piagam Negeri ini adalah piagam pandai berkata. Maksudnya segala sesuatu yang berhubungan dengan marga ini, seperti: batas-batas marga, hak-hak atas tanah, asal usul penduduk, susunan pemerintahan secara adat, undang-undang adat dan sebagainya semuanya hafal dimulut oleh kepala-kepala adat dan diwariskan kepada generasi baru secara lisan.

Sejarah marga ini disusun berdasarkan keterangan-keterangan yang diperoleh dari Pasirah/Kepala Marga, Datuk-Datuk, Rio, Orang-Orang Tua, Cerdik Pandai yang ada dalam desa ini Mereka itu memperoleh keterangan pula dari Ninik Mamak mereka masing-masing. Hal ini sesuai dengan kata-kata adat: Waris nan dijawat, khalifah nan dijunjung, tutur nan disambut, nan terpahat ditiang panjang nan terlukis dibendul jati, nan tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan.

  1. Renah Sungai Kunyit

Zaman dahulu, sewaktu marga pangkalan jambu masih ditutupi oleh hutan lebat, namanya ialah Renah Sungai Kunyit. Renah Sungai Kunyit ini pada waktu itu adalah bahagian dari daerah Depati Muara Langkap yang berkedudukan di Tamiai (Kerinci). Di daerah Renah Sungai Kunyit ini banyak terdapat biji emas. Hal ini diketahui oleh orang Minangkabau setelah Cindur Mato melalui daerah ini sewaktu ia kembali dari Palembang.

  1. Orang yang Mula-Mula Membuka Marga Pangkalan Jambu

Setelah mendengar cerita Cindur Mato bahwa di daerah Sungai Kunyit ini banyak terdapat biji emas, maka diutuslah oleh Bundo Kandung dan Basa Ampek Balai, dua orang yang bergelar “Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo” untuk mencari Renah Sungai Kunyit. Sebelum sampai ke Renah Sungai Kunyit kedua orang itu pergi menemui Tiang Bungkuk di Ujung Tanjung Muara Sekiau Tamiai. Tiang Bungkuk ini adalah menantu Depati Muara langkap. Setelah mendapat izin dari Tiang Bungkuk, dengan bantuan seorang Puteri Tiang Bungkuk yang bernama Ntai Meh Pasak yang waktu itu tinggal di Sungai Aur, maka sampailah Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo di Renah Sungai Kunyit. Kedua orang inilah yang mencencang meratih Marga Pangjalan Jambu zaman dulu. Mula-mula tujuan mereka adalah mencari emas. Tetapi kemudian setelah mereka membawa anak kemenakan mereka ke Renah Sungai Kunyit ini, maka disamping menambang emas mereka membikin sawah pula: karena di tempat ini terdapat tanah-tanah dataran yang baik untuk dijadikan sawah.

Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo ingin tinggal menetap di Renah Sungai Kunyit ini bersama anak cucunya yang dibawanya dari Minangkabau. Tetapi tempat ini lambat sekali ramainya. Karena itu timbul pikiran Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo untuk meramaikan Renah Sungai Kunyit ini. Maka ditetapkanlah akan mendirikan gelanggang untuk meramaikan negeri.

  1. Mendirikan Gelanggang

Pada waktu itu rakyat Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo adalah anak dan kemenakan mereka sendiri. Tempat tinggal mereka berpusat di Pondok Barung-Barung. Dengan bantuan anak dan kemenakannya itu disiapkannyalah segala perlengkapan yang diperlukan. Untuk meramaikan gelanggang ini, dikabarkanlah ke Minangkabau dan diundang negeri-negeri yang terdekat dari tempat ini seperti negeri Depati IV Tiga Helai Kain yaitu tujuh orang Depati yang masing-masingnya bergelar: Depati Muara Langkap di Tamiai, Depati Rencong Telang di Pulau Sangka, Depati Atur Bumi di Hiang, Depati Biang Seri di Pangasi, Depati Cojo Nyato di Muara Panco, Depati Setio Rajo di Lubuk Gaung dan Depati Cojo Dati di Nalo Tantan. Selain dari itu, juga diundang negeri Luhak XVI Muara Siau/Pamuncak Koto Tapus Serampas, Siangit Sungai Tabir, Limun Batang Asai dan daerah uluan Palembang.

Dengan demikian ramailah orang datang ke tanah Sungai Kunyit, pergi menyabung dan berjudi. Gelanggang semakin lama semakin ramai juga. Orang yang kalah menyabung dan berjudi pergi menambang emas untuk pokok berjudi kembali. Setengahnya ada pula yang membuka tanah persawahan dan tidak mau berjudi lagi. Gelanggang berlangsung beberapa tahun. Pendatang baru telah banyak yang tinggal menetap.

Pada suatu hari turunlah beberapa orang keluarga Depati Muara Langkap dari Tamiai Kerinci meminta hasil paguan kepada Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo karena Renah Sungai Kunyit yang merupakan bagian dari daerahnya itu, telah ramai didatangi orang dan telah banyak pendatang baru yang tinggal menetap. Karena suatu hal maka terjadilah perselisihan antara Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo dengan keluarga Depati Muara Langkap tadi, sehingga mengakibatkan terjadinya pembunuhan.

Setelah terjadi perselisihan itu, Renah Sungai Kunyit yang baru saja mulai ramai menjadi muram kembali karena padi ditanam buahnya hampa, emas dicari sukar didapat. Berhubung karena keadaan ini maka timbullah pikiran pada Datuk Putih dan Datuk Mangkuot Marajo untuk pergi bermaaf-maafan dengan keluarga Depati Muara Langkap di Tamiai. Beberapa hari kemudian, pergilah Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo beserta beberapa orang pengiringnya ke Tamiai. Kedatangannya itu selain dari untuk bermaafan, juga akan mnegajak kaum keluarga Depati Muara Langkap tinggal bersama-sama dengan mereka di Renah Sungai Kunyit supaya dapat bersama-sama memerintah dan hidup rukun dan damai.

Pada mulanya kedatangan Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo, tidak dilayani oleh Depati Muara Langkap karena kekhawatiran kedatangan Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo ini akan memerangi keluarganya. Tetapi berkat kebijaksanaan Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo, mereka dapat menimbulkan kepercayaan Depati Muara Langkap, sehingga akhirnya kedatangan mereka diterima dengan baik dan saling memaafkan kesalahan yang telah lalu. Sehabisnya silang persengketaan, diutuslah oleh Depati Muara Langkap beberapa orang keluarganya untuk bersama-sama memerintah dengan Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo di Renah Sungai Kunyit dan semenjak itu kehidupan penduduk mulai baik kembali.

Gelanggang sudah hampir habis karena orang telah banyak kembali me negerinya masing-masing. Tetapi sebagian dari pengunjung gelanggang ini ada yang tinggal menetap. Mereka telah membikin rumah dan sawah. Pada waktu itu belum ada keseragaman undang-undang yang mengatur hubungan anggota-anggota masyarakat yang berasal dari berbagai daerah itu. Masing-masing bertindak menurut adat istiadat mereka sendiri-sendiri.

Untuk mengatur masyarakat Renah Sungai Kunyit yang telah bertambah ramai tadi, bersidanglah Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo serta utusan Depati Muara Langkap yang telah menetap di tempat ini. Sidang tersebut menelurkan suatu konsepsi mengenai susunan pemerintahan dan undang-undang adat yang meliputi berbagai segi kehidupan. Konsepsi tersebut merupakan U.U.D dari negeri Renah Sungai Kunyit. Untuk meresmikan konsepsi ini, diputuskan pulalah akan mengadakan suatu perhelatan besar.

  1. Meresmikan Susunan Pemerintahan dan Undang-Undang Adat

Setelah selesai semua persiapan yang diperlukan untuk mengadakan kenduri besar itu, diundanglah negeri-negeri: Depati IV Tiga Helai Kain, Luhak XVI/Pamuncak Koto Tapus Serampas Muko-muko, Siangit Sungai Tabir dan Limun Batang Asai.

Pada akhir bulan Sya’ban sebelum masuk puasa diadakanlah perhelatan disuatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Pondok Pekan Puaso. Dalam jamuan besar itu dipotong kerbau 48 ekor (menurut kata pusaka kurang dua limapuluh). Kemeriahan itu diramaikan pula dengan sabung-judi, bermacam-macam bunyi-bunyian dan taria-tarian rakyat.

Setelah hadir semua Depati/Datuk/Penghulu-Penghulu dari negeri-negeri yang diundang, diterangkanlah oleh Datuk Putih tujuan dan maksud dari perhelatan itu. Kemudian diumumkanlah oleh Datuk Mangkuto Marajo kepada pembesar-pembesar dan seluruh rakyat isi dari konsepsi mengenai susunan pemerintahan dan undang-undang adat yang akan dijadikan pedoman dalam menjalankan pemerintahan sampai turun temurun.

  1. Undang-Undang Adat

Undang-undang Adat Marga Pangkalan Jambu adalah kombinasi antara “Undang-undang yang turun dari Minangkabau dan Teliti-teliti yang turun (mudik) dari Jambi”.

Istilah Benang Tigo Sepilin (BTS) akan ditemui ketika ada proses pengambilan keputusan baik keputusan yang menyangkut penyelesaian suatu masalah di desa maupun keputusan yang berkenaan dengan perencanaan pembangunan desa. BTS merupakan wadah pengambilan keputusan yang sudah ada di desa BPJ sebelum BPJ ditetapkan sebagai desa defenitif. Wadah pengambilan keputusan ini boleh jadi merupakan suatu isntitusi atau aturan main dari suatu komuniti dan boleh jadi juga merupakan organisasi karena ada pemain atau pelaku-pelakunya.

Unsur-unsur BTS ini terdiri dari: Pertama, unsur aparat pemerintah desa (Kades, Sekdes, Kaur dan Kadus). Kedua, unsur tokoh-tokoh adat (Rio Niti sebagai pucuk pimpinan adat, Dt Gedang Sat, Dt Kampung Sat dan Dt Paduko Kayo). Dan Ketiga, Unsur tokoh-tokoh agama / syara’ (Imam, Khatib dan Bilal). Karena harus ada tiga unsur ini dalam pengambilan keputusan maka wadah ini disebut juga dengan Benang Tigo Sepilin atau Tigo Tungku Sejarangan. Makna dari BTS ini adalah jika salah satu unsur tidak ada, maka keputusan tidak dapat dibuat. Ibarat memasak nasi, jika hanya ada dua tungku untuk menjerangkan periuk, maka periuk jelas tidak dapat diletakkan di atas dua tungku tersebut dan tentunya nasi tidak dapat dimasak.

Pengamatan sepintas dari Tim Studi terhadap BTS desa BPJ adalah bahwa telah terjadi keretakkan dari unsur-unsur ini. Dengan kata lain pilinan benangnya sudah tidak kuat lagi atau tungku-tungku yang tigo sudah goyah. Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh tidak kuatnya pilinan benang ini terlihat dari pengabaian warga terhadap sangsi yang dijatuhkan jika warga berbuat salah. Akibat lain misalnya terhambatnya beberapa proses pembangunan seperti pembangunan PLTA mikro terutama yang membutuhkan swadaya tenaga masyarakat.

Diduga bahwa melemahnya pilinan benang ini dikarenakan oleh tidak konsistennya unsur ini dalam melaksanakan keputusan ataupun menerima sangsi terhadap pelanggaran tertentu, seperti kata petitih tongkat yang membawa rebah atau pagar makan tanaman. Ketidak konsistenan ini terlihat dari adanya pilih kasih unsur-unsur ini terhadap sangsi yang dijatuhkan, terutama bila yang dikenai sangsi adalah keluarga maupun keponakan mereka sendiri. Kondisi pilih kasih dalam menjalankan sangsi ini tentunya menjadi pelajaran yang berharga bagi warga desa. Ungkapan-ungkapan warga desa seperti ungkapan si Anu salah tidak dikenai sangsi karena si Anu adalah keluarga BTS, mengapa pula saya harus di berikan sangsi jika salah, adalah ungkapan yang mencerminkan kurangnya kepercayaan dan penghargaan warga terhadap BTS ini.

Keretakkan BTS karena kepentingan-kepentingan pribadi unsur-unsurnya dan ketidak konsistenan BTS dalam menjalankan keputusan, merupakan kendala besar yang akan dihadapi oleh desa dalam menjalankan setiap program pembangunan ke depan. Mengapa tidak, BTS yang jika dipinjam istilah Foley dan Edwards (1999) merupakan modal sosial yang memungkinkan terjadinya kapasitas lokal yakni suatu kemampuan komunitas untuk memecahkan masalah mereka secara kolektif, telah menipis di desa BPJ. Dapat dibayangkan jika institusi dan organisasi pengambilan keputusan terutama untuk memecahkan masalah-masalah bersama sudah mengabur ataupun menipis, maka desa BPJ tidak akan dapat memainkan perannya sebagai desa otonom seperti yang dikehendaki oleh UU no 22 tahun 1999.