Ketika Tim Prakarsa Madani berkunjung ke Rumah Godong di Kedundung Mudo, Tim difasilitasi oleh sekelompok anak muda SAD dari kelompok Tengganai Nggrip di Kedundung Mudo. Ada Jujur, Tegar, Senamo, Surya, Besakti, Maruling, Beteguh, yang bisa digolongkan kedalam kaum muda SAD. Melihat begitu bersemangatnya mereka, Tim merencanakan akan melakukan dialog dengan kaum muda SAD ini, paling tidak untuk memahami pemikiran para kaum muda SAD ini sebagai penerus generasi Suku Anak Dalam.

Namun demikian, pada Sabtu 2 Nov 2019 di pagi yang cerah tersebut, tidak hanya kaum muda SAD yang hadir di Balai Pertemuan desa Bukit Suban. Ada Bapak Ngendum (dari Kelompok Makekal Bersatu), Bapak Mette (dari Kelompok Temenggung Nangkus), Temenggung Nggrip, Temenggung Bepayung, Temenggung Afrizal, Temenggung Bebayang, Sergi, Mangku Begenje dan  dari golongan relatif tua juga hadir pada pertemuan tersebut. Selain itu pertemuan itu juga dihadiri oleh Depati Melimun, Depati Njalo dan beberapa orang lain dari kelompok Lubuk Jering. Sepintak, juga menjambangi Balai Pertemuan Bukit Suban ini, akan tetapi Sepintak tidak mengikuti dialog, karena beliau hanya datang untuk mengambil beberapa dokumentasi dan kemudian beliaupun berlalu. Besarnya animo teman-teman Suku Anak Dalam ini untuk hadir dalam dialog tersebut, sangat menggembirakan hati.

Beberapa hal yang mengemuka dalam dialog tersebut adalah:

  1.  Peserta dialog mesti dapat menyadari bahwa masa depan komunitas Suku Anak Dalam tergantung dari diri mereka sendiri. Ketergantungan kepada pihak lain seperti pemerintah, LSM, perusahaan dan lainnya justru akan memperlemah komunitas mereka sendiri.
  2.  Peserta juga menyadari bahwa salah satu komoditi andalan yang dapat dijadikan jaminan hidup keluarga SAD ke depan adalah komoditi karet.
  3.  Kekhawatiran terhadap Taman Nasional Bukit Dua Belas sebagai ruang hidup Suku Anak Dalam, sebenarnya tidak perlu diragukan lagi, karena pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan tentang Taman Nasional Bukit Dua Belas, dan telah dinyatakan sebagai ruang hidup Suku Anak Dalam. Hal ini sejalan dengan perjuangan panjang Suku Anak Dalam untuk menjadikan TNBD sebagai ruang hidup Suku Anak Dalam.

 

Pertemuan tim Prakarsa Madani bersama unsur pemerintah, swasta, dengan SAD di Kecamatan Air Hitam / foto: YPM

Yayasan Prakarsa Madani (YPM) kembali menggelar pertemuan dengan sejumlah pihak untuk mensosialisasikan program dan kegiatan dalam rangka pemberdayaan sosial Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi. Kali ini YPM mengundang berbagai stakeholder terkait untuk duduk berdiskusi menyamakan persepsi dan merangkum gagasan bersama.

Pertemuan bertempat di aula kantor Camat Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, pada Sabtu tanggal 02 November 2019. Hadir dalam pertemuan ini Camat Air Hitam, Kapolsek Air Hitam, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Air Hitam, Kepala Desa Bukit Suban, Kepala Desa Pematang Kabau, Kepala Desa Lubuk Jering, dan utusan mewakili Kepala Desa Jernih.

Dari SAD, hadir tokoh adat Ngandun, Temenggung Bebayang, Temenggung Bepayung, Temenggung Meladang, Temenggung Afrizal, perwakilan Temenggung Grib dan Temenggung Nangkus, beberapa utusan Tengganai, warga SAD yang terdiri dari para orang tua, kaum muda. Terlihat pula induk-induk SAD menyaksikan dan mengikuti jalannya pertemuan.

Dalam sambutannya sebelum membuka acara, Camat Air Hitam Bustra Desman mengaku berterima kasih atas kegiatan yang diprakarsai YPM. “Saya berterima kasih yang tak terhingga,” sebutnya.

Camat Bustra Desman juga mengungkapkan rasa bangganya atas kegiatan yang diinisiasi YPM. Baginya, ada banyak hal yang selama ini tidak pernah ada, dalam pertemuan hari itu bisa terwujud, seperti tatap muka bersama warga SAD yang masuk dalam wilayah administrasi yang ia pimpin.

“Kami ingin menyampaikan, pertama, mungkin selama ini (warga SAD, pen) tidak pernah tatap muka dengan kami. Kami sangat bangga, pada hari ini kami bisa bertatap muka. Berkumpul dengan saudara kami, para orang tuo kami, termasuk para Temenggung yang ado di kawasan Air Hitam ini,” kata Camat.

“Ini merupakan yang pertama kali kami bisa berkumpul dengan warga kami suku anak dalam. Kami berterima kasih pak,” kata dia lagi.

“Kami sebenarnya berharap dengan hal yang seperti ini. Ini baru Prakasa Madani, lho, yang mengundang Camat, untuk dalam agenda seperti ini,” tambah Camat.

Ketua Badan Pengurus YPM, Elwamendri yang mengantarkan forum dalam pertemuan itu menyampaikan apresiasi atas kehadiran Camat. “Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pak Camat, yang telah memfasilitasi pertemuan kita hari ini. Dan tentu saja saat hari libur, waktu bersama keluarga, tapi beliau menyempatkan hadir bersama kita.”

Tujuan dari pertemuan waktu itu adalah untuk mensosialisasikan program dari Prakasa Madani ke depan. Program yang disusun oleh Yayasan Prakarsa Madani ini nantinya akan direalisasikan dalam payung kelembagaan Forum Kemitraan Multipihak Pembangunan Sosial Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi, yang sudah disahkan dan melibatkan berbagai pihak, mulai dari unsur pemerintahan, LSM, maupun swasta.

 

Wawancara Tenaga Lapang Prakarsa Madani dengan salah satu Temenggung di Air Hitam.

  • Menurut Temenggung G, ada beberapa kelompok yang berupaya menuntut lahan di salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit. Kelompok tersebut adalah kelompok Njalo, Ninjo, Meriau dan Selambai.
  • Ada ditengarai issue yang tidak benar, menyangkut Suku Anak Dalam, Contoh ada orang yang meninggal setelah berkunjung ke hutan Taman Nasional Bukit 12, namun berita yang beredar adalah meninggalnya orang tersebut, karena santet dari Suku Anak Dalam.
  • Ada juga teman-teman penggiat lapang, mengatakan bahwa pemerintah tidak benar, TNBD tidak benar, Camat tidak benar, Bupati tidak benar dan Gubernur tidak benar dan di kampanyekan di luar negeri dan luar negeripun percaya terhadap berita yang di kampanyekan tersebut.
  • Selain itu, berita-berita tidak benar juga disiarkan oleh berbagai media seperti youtube. Salah satu contoh adalah apa yang diviralkan oleh  BBC News Indonesia, dengan link youtubenya: https://www.youtube.com/watch?v=oCO0GQM8vYY
  • Berdasarkan cuplikan video tersebut (menit 05.54), diketahui bahwa “Salah seorang Suku Anak Dalam mengkui bahwa di masa dahulu, mereka mudah untuk mendapatkan akses bahan pangan dari hutan, dan hutanpun sekarang sudah hilang serta akhirnya mereka terpaksa makan buah kelapa sawit”.
  • Begitu juga, laporan HRW yang dirilis 22 September 2019 yang berjudul: “When We Lost the Forest, We Lost Everything” ….

    menceritakan seorang perempuan Suku Anak Dalam bernama Maliau. Menurut laporan tersebut, Maliau, seorang perempuan suku Anak Rimba dan ibu dari sembilan anak, kesulitan bertahan hidup dari lahan yang dulu menghidupi sukunya, namun kini hancur akibat perkebunan kelapa sawit yang mulai beroperasi di sana hampir tiga dekade lalu. Kekeliruan informasi ini terletak pada titik waktu pengamatan yang dilakukan oleh reporter HRW tersebut. Pada galibnya di daerah kecamatan Air Hitam, dulunya wilayah Marga Air Hitam, mulai dari tahun 70 an, telah beroperasi perusahaan konsesi (Hak Pengusahaan Hutan). Ada PT. Alas Kusuma, PT. TGL dan PT. Sumber Mas. Pada tahun 1980, pemerintah membuka daerah transmigrasi Hitam Ulu (Hitam Ulu I sampai dengan Hitam Ulu V). Setelah itu baru kemudian menyusul pembukaan wilayah transmigrasi Hitan Ulu, sampai Hitam Ulu XV. Tahun 1987, pemerintah RI menetapkan wilayah pengembaraan Suku Anak Dalam menjadi Cagar Biosfir dengan luas 29.485 Ha. Dalam waktu bersamaan pemerintah mengundang dan menunjuk PT SAL-1 sebagai pelaksana program pengembangan PIR Trans Kelapa Sawit, melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No 353/ Kpts / KB.510 / 6 / 1987. Menilik kronologis di atas dapat disimpulkan bahwa apa yang dikemukakan oleh HRW dalam laporannya, bahwa perusahaan kelapa sawit telah menghancurkan wilayah hutan di kecamatan Air Hitam atau wilayah Marga Air Hitam, tidak benar.

 

Badan Pengurus Yayasan Prakarsa Madani Berfoto Bersama Tengganai Basemen

Tengganai Basemen menuturkan bahwa Adat Suku Anak Dalam berasal dari Jambi, sementara Undang berasal dari Minangkabau. Ketika pertemuan adat dengan undang, yang waktu itu orang yang membawa undang bernama Naning Sengalau dan Tebuan Tandang sementara orang yang membawa adat bernama Bayang Pendito dan Semalin Mintan. Ketika terjadi pertemuan orang adat dan orang undang, maka orang adat bertanya kepada pembawa undang. Hal yang ditanyakan adalah, bagaimana kokohnya/kerasnya pegangan undang. Kata orang pembawa undang, pegangan kami sangat kuat. Pegangan kami telintang patah, tebujur lalu, salah mato, mato dicukil, salah lidah, lidah digunting, salah tangan, tangan dikerat. Mendengar penuturan orang undang, maka orang adat sedikit menyindir bahwa pegangan undang tersebut terlalu kejam sekali.

Selanjutnya orang undang mengeluarkan seloko: Sembak di lurut tanggo nan panjang, sembak diguyang antui diguncang, macam ditempuh peluru berantai, bangkitkan perang mak lagi nyo gadih, ayah lagi nyo bujang, maling ikan dalam seruwo semalak simalin mintan.

Seloko ini dibalas lagi oleh Bayang Pendito dan Malin Mintan, May (emas) bejingkek dengan lumbago, may betumbang dengan adat, senggan selutut arung nan darah, senggan sepinggang lambun nan bangkai  hidup mati pado beradat dan bapeseko. Ular dipalu jangan nak mati, pemalu jangan nak patah, tanah dipalu jangan nak lembang, menarik rambut dalam tepung, tepung jangan tebayak, rambut jangan nak putuih, dibuang jangan jauh, dibunuh jangan mati.

Kebetulan ketika mereka berseloko tersebut, datanglah ular besar yang sedang mengunggung seekor kodok, akan tetapi kodok tersebut tidak sampai dimakan, bahkan dilepaskan oleh ular tersebut. Tengganai Basemen menjelaskan bahwa dalam kejadian ini adat menjadi pemenang dan kekuatan adat sebagai petunjuk. Hal yang tidak bisa direbut oleh adat adalah pegangan undang tentang 4 (empat) hal yang di atas: mencerak telur (kawin dengan anak sendiri), mandi dipancuran gading (kawin dengan saudara kandung), menikam bumi (kawin dengan isteri orang), melebung dalam (kawin dengan paman kontan). Kerasnya adat Suku Anak Dalam zaman dulu, jika melanggar empat di atas ini hukumannya mati.

Sementara 4 (empat) di bawah, diambil oleh adat, dan menjadi hukum adat Suku Anak Dalam. Yang mana yang empat di bawah? Luko bepampai, mati bebangun, jadi beradat, sarak bepeninggalan.

Selain hukum adat emapt di atas dan empat di bawah, Suku Anak Dalam mengenal pula hukum yang mereka sebut dengan teliti dua belas. Teliti dua belas ini terdiri dari: samun sakal bunuh banun upas racun maling mencuri maling bongkar tipu dayo umbu umbai.

Prakarsa Madani Foto Bersama di Depan Rumah Godong

Rumah Godong, dapat ditempuh dari kediaman Temenggung Nggrip di Desa Bukit Suban dengan kendaraan bermotor roda dua selama kira-kira 30 – 45 menit. Rumah Godong ini bentuknya seperti rumah ladang warga desa, mempunyai dinding dari kulit kayu, sudah mempunyai atap dari daun serdang dan atau daun banal. Lantai rumah Godong terbuat dari bambu yang dijalin dengan rotan sebagai pengikat kayu dan dinding rumah.

Ketika di konfirmasi model rumah Godong ini kepada Temenggung Nggrip dan Tengganai Basemen, mereka mengakui bahwa bagi Suku Anak Dalam, bentuk rumah godong ini sangat sesuai dengan selera dan keinginan mereka. Suasana dingin karena atapnya terbuat dari daun serang, angin dapat masuk ke rumah Godong melalui celah-celah dinding kayu, serta ruang yang nyaman untuk keluarga, baik laki-laki dan perempuan. Suku Anak Dalam sebenarnya lebih menyukai rumah seperti rumah Godong ini, dibanding rumah yang dibuat oleh Dinas Perkim (Rumah di Tanoh) maupun rumah Meranjat (Panggung) dengan atap dari seng, seperti rumah di Desa Lubuk Jering.

 

Dalam rangka implementasi Forum Kemitraan Multipihak Pembangunan Sosial Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi, Yayasan Prakarsa Madani (YPM) kembali melakukan kegiatan sosialisasi dan diskusi bersama stakeholder terkait. Sabtu (26/10/2019), YPM menyelenggarakan pertemuan di Kantor Kecamatan Nalo Tantan, Kabupaten Merangin.

Sosialisasi dilaksanakan sebagai upaya memberikan penjelasan terkait program yang akan dilaksanakan Forum terhadap Pembangunan Sosial Suku Anak Dalam di Wilayah Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Sosialisasi ini juga mencoba mensinergikan berbagai program dari pemerintah maupun swasta yang berkaitan dengan bantuan dan pemberdayaan terhadap Suku Anak Dalam.

Hadir dalam kegiatan itu dari pihak pemerintah seperti Dinas Sosial Kabupaten Merangin, Guru anak SAD dari Dinas Sosial Provinsi Jambi, Pendamping KAT dari Kementerian Sosial RI, Camat Nalo Tantan, Camat Tabir Selatan, Kepala Desa Sungai Ulak, Kepala Desa Mentawak, Kepala Desa Gading Jaya, Temenggung Jang, Temenggung Sikar, Temenggung Ngepas dan Community Development Admin PT Sari Aditya Loka 1.

Ketua Badan Pengurus YPM, Elwamendri, menjelaskan tujuan sosialisasi adalah menjelaskan program lembaga Yayasan Prakarsa Madani dalam mendorong proses percepatan perubahan sosial Suku Anak Dalam khususnya yang ada di kawasan TNBD dan wilayah Air Hitam. Lebih lanjut, tujuan dari sosialisasi ini adalah mencoba mensinergikan program-program dari berbagai stakeholder, baik pemerintah maupun pihak swasta. Mendorong penguatan fungsi ketemenggungan dan aturan-aturan adat. Yang terakhir adalah mendorong dan memfasilitasi terbentuknya sistem jaringan sosial antara SAD dengan Warga Desa, yang melibatkan unsur temenggung, pemerintah desa, jenang, pemerintah kecamatan, serta TNI dan POLRI.

Camat Nalo Tantan Agus Salim dalam sambutannya mengharapkan kegiatan yang akan dilaksanakan Forum Kemitraan Mulitipihak Pembangunan Sosial Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi dapat berjalan dengan baik. Bisa membantu saudara-saudara kita SAD agar bisa lebih baik lagi kehidupannya.

Selain itu, jika antara SAD dengan warga desa sudah terjadi asimilasi dan berinteraksi, Camat berharap cara atau kebiasaan Suku Anak Dalam dalam aktivitasnya seperti berburu lebih bijaksana. “Misalnya dalam menggunakan senjata api (kecepek), dimana dalam berburu Suku Anak Dalam menggunakan Senjata Api (senjata kecepek), itu kan akan mengundang ketakutan bagi masyarakat desa. Bagaimana agar tidak terlalu dinampakkan,” kata Camat Agus Salim.

Kemudian, hasil berburu (babi) juga ditangani dengan baik agar tidak menimbulkan rasa kurang nyaman di tingkat masyarakat desa.

Riris S Sijabat, Pendamping Sosial KAT Kemensos RI, mengharapkan agar program bantuan dari lembaga atau instansi manapun memiliki tenaga pendamping. Hal ini agar bantuan yang diberikan oleh pihak tersebut tidak menjadi sia-sia.

Pendamping Dinas Sosial Provinsi Jambi yang bertugas sebagai Guru bagi anak-anak SAD, Warsiti, mengatakan warga SAD masih membutuhkan Tenaga Pendidik, karena dengan jumlah tenaga pendidik yang ada dan mengajar anak SAD saat ini belum mencukupi dan menjangkau semua generasi muda SAD yang masih perlu dicerdaskan.

Ajrul Affandi dari Dinas Sosial Kabupaten Merangin mengatakan, dari instansinya akan ada beberapa program lagi yang diperuntukkan kepada SAD, seperti Kolam Terpal untuk kelompok Temenggung Jang sebagai dukungan untuk mencukupi kebutuhan ekonomi kelompok.

Amanah yang diberikan kepada kepala desa Gading Jaya, Bapak Nur Widianto telah ditunaikan dengan baik. Proses negosiasi pengadaan lahan telah dilakukan oleh Kepala Desa Gading Jaya kepada pemilik lahan (Bapak Seboya). Diakui oleh Bapak Nur Widianto, pelibatan pemerintah desa dalam kegiatan yang dilakukan untuk komunitas SAD sangat menggembirakan dan ke depan sinergi dan koordinasi seperti kegiatan ini perlu ditingkatkan lagi.

Tanggal 11 September 2019, dimulailah renovasi sumur sumber air bersih untuk kelompok Temenggung Ngepas. Beriringan dengan itu juga dilakukan pembangunan gedung sekolah untuk tempat belajar anak-anak. Kini, sumber air bersih untuk kelompok Temenggung Ngepas relatif sudah memadai dan bangunan sekolah juga telah berdiri, sehingga anak-anak bisa belajar dengan nyaman.

Menindaklanjuti pertemuan Bukit Suban tanggal 29 Juni 2019, sesuai mandat yang diberikan kepada Prakarsa Madani pada Workshop Forum Kemitraan di Golden Harves Jambi, Prakarsa Madani melakukan koordinasi dengan Kepala Desa Gading Jaya, Camat Tabir Selatan, Dinas Sosial-PPPA Merangin dan PT. SAL 1, terkait dengan kebutuhan kelompok Temenggung Ngepas akan bangunan sekolah dan sumber air bersih.

Tanggal 8 September 2019, stakeholder Bpk. Azrul Affandi dari Dinas Sosial PPPA Merangin, Bpk. Nur Widianto Kades Gading Jaya, Bpk. Afrizal Sekcam Tabir Selatan dan beberapa perwakilan dari PT. SAL 1 berdiskusi di tempat Temenggung Ngepas terkait lokasi pendirian bangunan sekolah dan sumber air bersih.

Pada kesempatan tersebut, juga dilakukan survei calon lokasi pendirian bangunan sekolah dan calon lokasi untuk pembuatan sumur air bersih. Setelah di telisik lebih lanjut, ternyata sumur yang digunakan selama ini oleh kelompok Temenggung Ngepas masih mempunyai persediaan air (meskipun pada musim kemarau). Oleh karena itu di sekapati bahwa sumur yang ada saat ini akan direnovasi sedemikian rupa, ditambah kedalamannya sekitar 2 meter dan akan dipasang cincin beton. Sementara untuk calon lokasi bangunan sekolah, akan didirikan disamping pemukiman Temenggung Ngepas, namun tanah tersebut merupakan tanah milik Bapak Seboya. Terkait dengan ini ditugaskan kepada Bpk Nur Widianto untuk melakukan negosiasi dengan Bpk. Seboya dalam hal pengadaan lahan untuk bangunan sekolah.

Pasca dilakukan Workshop Forum Kemitraan Pembangunan Sosial Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi, tanggal 16 – 18 Juni 2019, Prakarsa Madani mengambil inisiatif melakukan pertemuan dengan para Temenggung dan Tengganai untuk menggali permasalahan-permasalahan yang mungkin belum terkamomodasi dalam Workshop di Golden Harvest tersebut. Pertemuan dilakukan di Balai Pertemuan desa Bukit Suban tanggal 29 Juni 2019.

Beberapa hal yang mengemuka didiskusikan dalam  pertemuan ini diantaranya:

  1. Persoalan jual beli lahan oleh Suku Anak Dalam
  2. Persoalan konflik lahan
  3. Persoalan fasilitas sekolah dan air bersih pada kelompok Temenggung Ngepas.

Secara umum, Komunitas Suku Anak Dalam sudah merasa resah dengan proses jual beli lahan yang dilakukan oleh komunitas. Proses jual beli lahan ini terutama terjadi karena adanya kebutuhan-kebutuhan jangka pendek seperti untuk perkawinan, yang menurut komunitas, aturan perkawinan saat ini telah jauh menyimpang dari apa yang dipahami komunitas pada masa lalu. Selain itu jual beli lahan juga disebabkan karena adanya kebutuhan berbagai fasilitas kekinian seperti untuk membeli kendaraan, genset dan handphone. Jika kondisi ini terus di biarkan, maka suatu saat nanti komunitas SAD tidak lagi akan mempunyai lahan untuk melakukan aktivitas pertanian guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Forum diskusi mengharapkan adanya pertemuan lebih lanjut yang membahas aturan-aturan adat terkait soal jual beli lahan ini dan sekaligus aturan-aturan adat terkait dengan perkawinan.

Terkait dengan konflik lahan, para Temenggung dan Tengganai mengakui, bahwa tidak ada lagi konflik lahan baik dengan pihak TNBD maupun dengan pihak perusahaan yang berada di sekitar pemukiman SAD. Diakui oleh Tengganai H. Jaelani bahwa komunitas SAD memang memiliki pohon-pohon yang mereka lindungi, seperti Tenggeris, Setubung Anak, dan Sialang. Dan ketika pohon-pohon ini di tumbang oleh orang/perusahaan HPH, maka komunitas SAD menetapkan denda kepada pihak-pihak tersebut. Tengganai H. Jaelani menegaskan bahwa semua denda yang diminta kepada pihak-pihak tersebut, telah ditunaikan oleh mereka, dan dengan demikian tidak adalagi persoalan terkait dengan sumberdaya kayu yang dilestarikan oleh komunitas SAD.

Salah satu masalah yang mengemuka di kemukakan oleh Temenggung Ngepas pada waktu pertemuan tersebut adalah tidak adanya fasilitas sekolah dan fasilitas air minum untuk kelompok temenggung ini. Saat ini sekolah anak-anak dilakukan di rumah Temenggung Ngepas. karena belum ada fasilitas sekolah. Menurut Temenggung kondisi ini tentu tidak baik untuk jangka panjang dan tentunya juga akan menganggu kenyamanan Temenggung dan keluarganya. Terkait dengan air bersih, Temenggung Ngepas menegaskan diwilayah pemukimannya sumber air terbatas, terutama pada musim kemarau seperti sekarang ini. Keluarga-keluarga sudah kesulitan mendapatkan air bersih dan juga menimbulkan masalah bagi ternak kura-kura yang dibudidayakan oleh kelompok Temenggung Ngepas ini.