Luas Lubuk Larangan
- Ketika ditanyakan tentang luas lubuk larangan, peserta FGD agak kebingungan menentukan luas yang pasti dari LR karena selama ini tidak pernah dilakukan pengukuran luas tersebut.
- Menurut Surat Keputusan Desa Telentam Nomor 7 tahun 1994, Panjang kawasan Lubuk Taman Ciri adalah 300 meter, Lubuk Pesong sepanjang 500 meter dan Lubuk Batu Cagak sepanjang 75 meter. Sementara itu menurut SK Bupati KDH TK II Kabupaten SARKO, luas Lubuk Batu Taman Ciri adalah 500 meter.
- Sampai saat ini Lubuk Larangan yang dikelola sepenuhnya oleh masyarakat adalah Lubuk Pesong dan Lubuk Ampelu. Berkenaan dengan luas ke dua Lubuk Larangan ini, ketika ditanyakan kepada peserta FGD, juga tidak ada jawaban yang pasti dari peserta FGD.
Pembagian Ruang Kawasan
- Lubuk Larangan Desa Telentam dapat dikategorikan atas 3 jenis; Pertama, Lubuk Batu Ciri, yakni lubuk yang dikelola oleh Dinas Perikanan yang tujuannya sebagai lubuk inti atau reservat; Kedua, Lubuk Penyangga (Lubuk Lanca Bemban) yang berfungsi sebagai penyangga Lubuk Inti; Ketiga, Lubuk Pesong dan Ampelu yang digunakan untuk kepentingan warga desa.
- Pembagian lubuk ini didasarkan atas kepentingan :
- Lubuk Batu Ciri: sebagai kawasan suaka (reservat) ikan, sering juga disebut sebagai lubuk inti, bertujuan sebagai perlindungan habitat berbagai jenis ikan yang terdapat di Sungai Tabir.
- Lubuk Lanca Bemban: sebagai kawasan penyangga, bertujuan sebagai penyangga fisik untuk lubuk taman ciri. Disamping itu Lubuk Lanca Bemban juga ditujukan sebagai perluasan habitat (tempat main) ikan yang ada di lubuk taman ciri.
- Lubuk Ampelu dan Pesong: sebagai kawasan lubuk larangan yang dapat dipanen, bertujuan menggalang atau mengumpulkan dana untuk pembangunan Mesjid desa Telentam.
SEJARAH DAN LATAR BELAKANG PENETAPAN LUBUK LARANGAN
Sejarah Lubuk Larangan Desa Telentam
- Lubuk Larangan Desa Telentam ditetapkan pertama kali tahun 1992. Ide pembuatan lubuk larangan bersumber dari pengalaman di Muara Ngaol. Pasirah Ulu Tabir yang memperoleh informasi bahwa di Muara Buat Muara Bungo berhasil dikembangkan semacam lubuk larangan. Sekitar tahun 1970, Pasirah Ulu Tabir mengadopsi pengalaman Muara Buat dan membuat lubuk larangan di di Muara Ngaol. Masyarakat Telentam melihat pengalaman Ngaol yang berhasil mengumpulkan dana dan menginginkan juga membuat Lubuk Larangan.
- Masyarakat mengusulkan kepada orang adat, yang waktu itu Datuk Rajo Gemoyang dijabat oleh Bapak Makson. Usulan ini ditindak lanjuti kemudian sekitar tahun 1992 ditetapkan Lubuk Pesong sebagai lubuk larangan.
- Dulu tiap dusun ada peruntukan lubuk; Lubuk Cadak untuk Dusun Rumah Panjang; Lubuk Batu Guling untuk Dusun Kampung Tengah; Lubuk Pesong untuk Dusun Rumah Gedang dan Guguk; dan Lubuk Ampelu untuk Dusun Kandang.
- Karena Lubuk Cadak dan Batu Guling gagal, maka pada tanggal 14 Oktober 1994 Kepala Desa mengeluarkan Surat Keputusan Desa nomor 7 tahun 1994, menetapkan beberapa kawasan menjadi lubuk larangan:
- Lubuk Taman Ciri sebagai lubuk penyangga dengan panjang 300 meter.
- Lubuk Pesong sebagai lubuk inti dengan panjang 500 meter.
- Lubuk Batu Cagak sebagai lubuk penyangga dengan panjang 75 meter.
- Tahun 1995 melalui Keputusan Desa Nomor 34 tahun 1995, diserahkan pengelolaan Lubuk Taman Ciri dan Lubuk Lanca Bemban kepada Pemerintah Daerah TK II Sarolangun Bangko.
- Melalui Surat Keputusan Bupati Nomor 135 tahun 1996, yang ditandatangani tanggal 25 Januari 1996, ditetapkanlah lubuk Taman Ciri desa Telentam sebagai suaka ikan (reservat) serta lubuk Lanca Bemban sebagai lubuk penyangga.
- Saat ini hanya dua lubuk Lubuk Pesong dan Ampelu yang benar-benar dikelola oleh masyarakat Desa Telentam.
PROFIL PARA PENGGAGAS
Gagasan Lubuk Larangan
Gagasan pembuatan Lubuk Larangan bersumber dari masyarakat luas. Tidak teridentifikasi siapa tokoh orang perorangan maupun kelompok sebagai penggagas pembuatan Lubuk Larangan. Gagasan dari masyarakat ini diteruskan kepada Datuk Rajo Gemoyang yang waktu itu dijabat oleh Bapak Makson. Dibawah kepemimpinan beliau Kerapatan Adat desa Telentam menetapkan bahwa Lubuk Pesong menjadi Lubuk Larangan.
Keadaan Masyarakat
- Pada awalnya argumen penetapan Lubuk Larangan adalah karena masyarakat butuh dana pembangunan mesjid, iuran sulit dipungut dari masyarakat karena kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Argumen lain adalah banyaknya pendatang dari luar desa yang menangkap ikan, dan dikhawatirkan populasi maupun jenis ikan akan berkurang, maka dibuatlah Lubuk Larangan di desa Telentam.
- Saat ini argumen tersebut masih tetap berlaku dan dipertahankan, ditambah oleh kenyataan sekarang populasi dan jenis ikan makin lama semakin berkurang di Sungai Tabir. Oleh karena itu sebahagian besar warga berpendapat bahwa Lubuk Larangan perlu dilestarikan.
POLA PENGELOLAAN LUBUK LARANGAN OLEH MASYARAKAT LOKAL
Pengelola Lubuk Larangan
- Lubuk Larangan (Pesong dan Ampelu) dikelola oleh organisasi Benang Tigo Sapilin (Kerapatan Adat Desa Telentam, kaum Syara’, dan Pemerintahan Desa).
- Lubuk Taman Ciri (Reservat) dan Lubuk Lanca Bemban (Penyangga) di kelola oleh Dinas Perikanan. Sementara berkaitan dengan keamanan dan kelestariannya masyarakat masih bertanggung jawab.
- Belum ada pembagian peran dan tanggung jawab yang jelas dari Benang Tigo Sapilin untuk mengelola Lubuk Larangan.
Pemanfaatan Lubuk Larangan
- Lubuk Penyangga pernah dipanen dua kali. Panen pertama hasilnya 30 % untuk desa dan 20 % untuk karang taruna. Panen kedua dilakukan dengan cara lelang, hasilnya 40 % untuk mesjid dan 10 % untuk karang taruna.
- Pemanenan Lubuk Pengangga ini telah diatur dalam SK Bupati Nomor 135 Tahun 1996, dimana dalam SK tersebut dinyatakan bahwa interval pemanenan adalah dalam jangka waktu 1 sampai 2 tahun dan pemanenan diatur oleh Kepala Desa Telentam.
- Di Lubuk Penyangga juga boleh dilakukan pemancingan. Harinya ditetapkan pada hari sabtu malam minggu. Tetapi orang belum ramai karena penetapan hari yang kurang tepat. Biasanya yang dapatng adalah rombongan pedagang yang aktivitasnya begitu sibuk pada hari sabtu dan minggu.
- Lubuk Larangan (pesong dan ampelu) dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan mesjid Desa Telentam.
- Dalam pemanfaatan/panen, kerapatan adat, pegawai syara’ dan pemdes membentuk panitia pemanenan dan panitia ini bertanggung jawab penuh kepada Benang Tigo Sapilin.
Konpensasi Pemanfaatan
Belum ada teridentifikasi berbagai bentuk konpensasi dalam pemanenan Lubuk Larangan, seperti pemberian pakan, pelepasan benih, penanaman tumbuhan pakan disekitar sungai, dan lainnya.
INSTITUSI PENGELOLAAN DAN PERLINDUNGAN LUBUK LARANGAN
Institusi Pengelolaan Lubuk Larangan
- Belum ada peraturan desa ataupun peraturan tertulis tentang institusi pengelola Lubuk Larangan. Belum ada juga kejelasan struktur pengelola serta belum ada juga penjelasan tertulis tentang hak dan kewajiban masyarakat secara umum.
- Dari hasil FGD, diperoleh informasi bahwa Benang Tigo Sapilin adalah lembaga yang diakui sebagai pengelola/pengatur Lubuk Larangan. Belum ada kejelasan kewenangan institusi pengaturan Lubuk Larangan Desa Telentam
- Institusi yang ada dan dapat dicermati oleh Tim SP berkaitan dengan Lubuk Larangan adalah institusi pemanenan dan institusi pengawasan.
Institusi Pemanenan Lubuk Larangan
- Dalam rapat yang dihadiri oleh Benang Tigo Sapilin, dibentuk panitia pemanenan Lubuk Larangan, ditetapkan pembagian hasil panen, ditetapkan tata tertib pemanenan, dan ditentukan waktu panen.
- Panitia bertanggung jawab penuh kepada Benang Tigo Sapilin.
- Sesuai dengan keputusan rapat tersebut alokasi pembagian hasil panen Lubuk Larangan adalah sebagai berikut:
- Tim pengawasan/pemelihara: 30 % dari hasil panen.
- Kerapatan Adat: Rp 100.000/lubuk
- Selebihnya untuk pembangunan mesjid.
- Tata tertib Pemanenan adalah:
- Jala biasa, karcisnya : Rp 15.000/jala
- Jala menggunakan biduk, karcisnya : Rp 20.000/jala
- Menembak Dewasa, karcisnya : Rp 15.000/senapan
- Menembak Anak-anak, karcisnya : Rp 5.000/senapan
- Pukat atau Jaring, karcisnya : Rp 15.000/jaring
Institusi Pengawasan/Pemeliharaan Lubuk Larangan
- Tim Yasinan 40 ditugaskan mengawasi dan memelihara keamanan Lubuk Larangan dari berbagai gangguan terhadap LR seperti pencurian, peracunan dan lainnya.
- Tim Yasinan memperoleh 30 persen dari hasil panen Lubuk Larangan.
- Tim Yasinan melakukan aktivitas pembacaan yasin minimal satu kali dalam seminggu.
- Keanggotaan tim yasinan bersifat terbuka, artinya siapa saja warga desa dapat berpartisipasi dan bergabung ke dalam tim pengawasan/pemeliharaan ini.
JARINGAN PENGELOLAAN DAN PERLINDUNGAN LUBUK LARANGAN
Aktivitas Bersama
- Aktivitas-aktivitas bersama yang dilakukan dalam dalam pengelolaan dan perlindungan Lubuk Larangan teridentifikasi beberapa jenis aktivitas.
- Aktivitas Pengawasan dan Pengamanan
Pengawasan di Lubuk Larangan Ampelu dan Pesong serta Taman Ciri dan penyangga, dilakukan oleh kelompok Yasinan 40, yang beranggotakan 12 orang. Pengawasan oleh Yasinan ini baru dilakukan pada tahun 2003 ini. Tahun-tahun sebelumnya pengawasan dilakukan oleh kerapatan adat sendiri, namun pencurian atau kecolongan tetap terjadi. Semenjak ada Yasinan 40, maka kecolongan dapat dihindarkan.
- Aktivitas Pemanenan Lubuk Larangan.
- Dalam pemanenan, kerapatan adat Desa Telentam membentuk panitia pemanenan.
- Panitia Pemanenan Lubuk Larangan adalah:
Pelindung:
- Datuk Rajo Gemoyang
- Kepala Desa
Ketua I
Ketua II
Sekretaris
Bendahara
Keamanan
Perlengkapan
Humas
Pemilihan Personil
- Personil yang duduk dalam organisasi pengawasan ditetapkan secara terbuka dalam musyawarah. Artinya tidak ada batasan jumlah tertentu dari organisasi pengawasan dan pengamanan ini.
- Personil yang duduk dalam panitia panen lubuk larangan dipilih dalam musyawarah yang dihadiri oleh Benang Tigo Sapilin. Tidak ada indikasi bahwa personil yang duduk dalam panitia terkait secara genealogis maupun teritorial.
- Dalam rapat tersebut, tidak dijelaskan secara rinci tugas dan kewenangan personil yang duduk dalam panitia panen.
- Berdasarkan pengalaman panen tahun 2003 dapat diidentifikasi tugas dan wewenang dari panitia panen.
- Pelindung
- Bertanggung jawab penuh terhadap kelancaran proses pemanenan lubuk larangan.
- Membuka secara resmi pemanenan dengan tanda melemparkan jala ke dalam lubuk larangan yang akan dipanen.
- Ketua I dan II
- Bertanggung jawab dalam pelaksanaan panen, mulai dari persiapan sampai masa panen tiba.
- Mengkordinasikan seluruh kegiatan pemanenan Lubuk Larangan.
- Sekretaris
- Mempersiapkan administrasi pemanenan berupa pengumuman, undangan, tata tertib panen dan tanda-tanda peserta.
- Menerima pendaftaran peserta dan membukukan pendaftaran tersebut dengan baik.
- Bendahara
- Membukukan pendaftaran peserta bersama sekretaris.
- Melaporkan perolehan dana dalam rapat panitia.
- Mengalokasikan pembagian dana sesuai dengan kesepakatan dalam rapat.
- Keamanan
- Menjaga ketertiban peserta sebelum waktu panen dimulai
- Menjaga keamanan secara keseluruhan sewaktu panen
- Memantau kecurangan-kecurangan yang terjadi sebelum panen dan selama panen berlangsung.
- Perlengkapan
- Mempersiapkan perlengkapan yang dibutuhkan pada waktu panen seperti pengeras suara, meja, kursi, tanda peserta.
- Mengkordinasikan perlengkapan pra panen seperti pembuatan beremban, luka, ilau, pundun dan lainnya.
- Humas
- Menginformasikan ketentuan-ketentuan panen Lubuk Larangan kepada masyarakat secara luas.
- Menyebarkan undangan panen kepada masyarakat luas.
FUNGSI KONSERVASI, SOSIAL, DAN EKONOMI PENGELOLAAN LUBUK LARANGAN
Fungsi Lubuk Larangan
Fungsi Konservasi
- Perlindungan populasi berbagai jenis ikan.
- Perlindungan habitat ikan.
- Lubuk Penyangga berfungsi sebagai penyangga teknis terhadap upaya pengambilan ikan di lubuk inti.
- Lubuk Penyangga juga berfungsi sebagai daerah perluasan habitat/tempat main ikan.
Fungsi Ekonomi
- Penyediaan kebutuhan ikan bagi warga ketika panen dilakukan.
- Penggalian dana pembangunan desa (mesjid)
Fungsi Sosial
- Pelestarian adat istiadat setempat dalam memelihara sumber daya alam terutama sungai dan berbagai jenis ikan.
- Penyedia jasa hobi memancing ikan (kolam pemancingan)
Jenis Ikan yang Dikelola dan Dilindungi di Lubuk Larangan
Jenis ikan
- Jenis ikan yang banyak dan bernilai ekonomis adalah ikan semah, yang harganya mencapai Rp 30.000/kg.
- Secara umum jenis-jenis ikan yang terdapat di Sungai Tabir dan Sungai Telentam di Desa Telentam adalah: ikan mansai/kapiek, baung, barau, bujuk, medik, catur, mali-mali, kelari, tupang idung, mantili, tilan, ayam-ayam, tombak-tombak, sengiring, kepore, dalum, selimang, paris, jua, seluang, selokok, udang dan ikan kalom.
- Ikan yang sering didapat dengan jala adalah: ikan kapiek, selimang, mali-mali,
Prediksi Kelangsungan Jenis Ikan
- Sebagian besar masyarakat memahami bahwa Lubuk Larangan sangat perlu dilestarikan dan oleh karena itu Lubuk Larangan akan dapat mempertahankan keberadaan berbagai jenis ikan tersebut.
- Namun demikian ada juga ancaman terhadap kelestarian Lubuk Larangan yang mencakup:
- Ancaman internal (dari masyarakat Desa Telentam), berupa godaan untuk mengambil ikan yang ada di Lubuk Larangan dan peracunan ikan.
- Ancaman eksternal berupa pencurian ikan Lubuk Larangan oleh orang luar. Mungkin karena mereka tidak tahun bahwa ada Lubuk Larangan, karena tidak ada tanda-tanda berupa papan pengumuman
- Ancaman dari alam; Tubo Gelumbai.
PETA MASALAH DAN PETA KONFLIK PENGELOLAAN LUBUK LARANGAN
Masalah dan Konflik
- Ancaman Internal
- Ancaman internal (dari masyarakat Desa Telentam), berupa godaan untuk mengambil ikan yang ada di Lubuk Larangan dan peracunan ikan.
- Pernah dulu terjadi pencurian ikan oleh warga, sehingga ketika waktu panen tiba, Lubuk Larangan tidak memberikan hasil yang memuaskan (hasil panen kira-kira Rp. 400.000). Kenyataan ini memalukan Benang Tigo Sapilin karena yang hadir waktu penen tersebut banyak warga dari luar Desa Telentam.
- Oleh karena terjadi pencurian dan kerugian tersebut maka kerapatan adat mengeluarkan ide bahwa pengawasan dan pemeliharaan Lubuk Larangan dari gangguan / pencurian dari warga desa dilakukan dengan menggunakan metode pembacaan Yasin 40. Setelah menggunakan metode ini, pencurian atau kecolongan ikan tidak pernah terjadi lagi. Diyakini oleh warga bahwa jika masih ada yang berbuat curang terhadapmLubuk Larangan, maka akan mndapatkan hukuman dari Tuhan berupa berbagai penyakit, dimana peyakit ini sangat sulit dicarikan obatnya.
- Ancaman Eksternal
- Ancaman eksternal berupa pencurian ikan Lubuk Larangan oleh orang luar. Mungkin karena mereka tidak tahun bahwa ada Lubuk Larangan, karena tidak ada tanda-tanda berupa papan pengumuman.
- Pencurian ikan Lubuk Larangan oleh orang luar warga desa dilakukan dengan menggunakan jaring/pukat yang sangat rapat. Jaring ini dibentangkan sepanjang sungai dan sipelaku masuk kedalam sungai dan hanyut bersama dengan jaring tersebut. Akan tetapi sekarang, tidak pernah lagi kejadian serupa terjadi.
- Diperkirakan kelakuan orang luar desa yang menggunakan pukat/jaring yang terlalu rapat untuk menangkap mikan diluar Lubuk Larangan, juga merupakan ancaman yang serius bagi warga desa. Sampai saat ini belum ada aturan yang mengatur pengunaan pukat / jring yang rapat tersebut.
- Ancaman dari alam; Tubo Gelumbai.
- Pernah terjadi tanah longsor pada bagian hulu sungai. Tanah yang longsor ini membawa potongan kayu, sampah serta lumpur yang berwarna hitam dan lumpur ini mengeluarkan aroma busuk. Akibat terjadinya kejadian semacam ini banyak iikan yang mati bahkan masyarakat desa pun ada yang tidak mau memakan ikan yahng mati tersebut. Kejadian ini oleh masyarakat disebut dengan Tubo Gelumbai.
- Dari hasil eksplorasi FGD dan indeepth interview diketahui bahwa terjadinya tubo gelumbai ini diduga karna semakin meluasnya penebangan kayu di daerah hulu sungai.
PANDANGAN WARGA DESA TERHADAP PENGELOLAAN LUBUK LARANGAN
Informasi Pengelolaan
- Warga tahu bahwa pengelolaan Lubuk Larangan didiminasi oleh kerapatan adat dibawah kepemimpinan Datuk Rajo Gemoyang, meskipun dalam pengambilan keputusan seperti panen kerapatan adat selalu mengikut sertakan komponen pemerintah desa dan komponen kaum syara’.
- Warga juga memahami bahwa sampai saat ini belum ada pembagian tugas dan wewenang yang jelas terhadap pengelolaan Lubuk Larangan baik tugas dan kewenangan dari kerapatan adat , komponen pemerintah desa maupun komponen syara’.
- Warga juga mengetahui bahwa pengawasan dan pengamanan LR dilakukan oleh kelompok yasinan 40.
- Warga juga setuju tetang kelompok yasinan ini, karena pengawasan sebelumnya banyak kebocoran/pencurian.
- Untuk Lubuk Batu Ciri, warga mengetahui bahwa lubuk tersebut dikelola oleh dinas perikanan akan tetapi, warga tidak mengetahui cara pengelolaan yang dilakukan oleh dinas perikanan terhadap lubuk reservat lubuk batu ciri.
- Ada SK dari dinas perikanan untuk petugas yang ditempatkan di sana.
- Yang diketahui warga adalah jika terjadi pencurian terhadap reservat, maka akan dikenakan denda sebesar Rp 100 juta, atau kurungan selama 10 tahun penjara, jadi sangsinya lebih berat dari sangsi adat.
Kepentingan Warga terhadap Lubuk Larangan
- Terhadap Lubuk Batu Ciri, warga berhadap masih tetap dipertahankan karena menjadi sumber ikan untuk sungai Tabir terutama perlindungan ikan semah.
- Terhadap Lubuk Pesong dan Ampelu, warga juga mengetahui bahwa hasil kedua lubuk tersebut digunakan untuk pembangunan sarana mesjid yang berguna bagi desa Telentam.
Harapan
- Lubuk pesong dan ampelu tetap dipertahankan keberadaannya.
- Panennya jangan dijual kepada pembeli luar, karena warga tidak dapat menikmatinya.
- Panen lebih baik seperti yang dilakukan pada panen terakhir di lubuk ampelu (dijual karcis atas kategori alat panen).
- Ada penambahan lubuk larangan yang akan digunakan untuk kepentingan organisasi desa dan pembangunan desa lainnya.
Luas Hutan Adat
- Luas kawasan Hutan Adat Desa (HAD) sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Bupati No. 225 Tahun 1993, tanggal 15 Juni 1993 adalah 753,74 Ha, yang ditandatangani oleh Bupati Sarolangun Bangko waktu itu yakni Bpk Bambang Soekowinarno. Luas yang dinyatakan buku (naratif) sedikit berbeda dengan temuan Tim studi Pemetaan Partisipatif di lapangan, karena ada satu sungai yaitu sungai Ibai yang tidak tergambar di peta SK Bupati tersebut. Salah satu batas alam HAD menurut buku (uraian secara naratif) adalah sungai Supenin dan dalam peta SK Bupati No. 225 Tahun 1993, sungai Supenin yang dimaksud secara naratif adalah sungai Ibai.
- Sampai saat ini, selama ditetapkannya kawasan hutan desa Baru Pangkalan Jambu menjadi HAD, ada dua tumpang tindih luas kawasan HAD.
- Dengan konsesi HPH PT Sarestra I. Kemudian keluar instruksi Bupati untuk mencabut izin operasi PT Sarestra I.
- Dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Terdapat sekitar 300 Ha luas HAD tumpang tindih dengan luas HAD berdasarkan SK Bupati. Tumpang tindih luas ini terjadi karena pemasangan tapal batas TNKS dilakukan secara sepihak oleh pihak TNKS (mitra TNKS) dan tidak mengikut sertakan masyarakat lokal desa Baru Pangkalan Jambu (BPJ). Di lapangan tidak ada tata batas yang jelas dari luasan tumpang tindih seperti yang diuraikan di atas, hanya saja Tim Studi Pemetaan Patisipatif (PP) menemukan dua titik tapal batas TNKS, yang jika ditarik garis lurus dari kedua titik tersebut, akan memotong kawasan HAD dengan luasan sekitar 300 Ha.
Pembagian Ruang Kawasan
- Berdasarkan hasil Focuss Group Discussion (FGD), diketahui bahwa, pola pengelolaan HAD oleh masyarakat adat desa BPJ, belum menunjukkan adanya pembagian ruang yang jelas seperti ruang pemanfaatan atau budidaya, ruang interaksi maupun ruang inti kawasan.
- Akan tetapi hasil FGD menunjukkan sebenarnya ada daerah-daerah tertentu yang perlu dipertimbangkan dalam pemanfaatan ataupun pengambilan kayu, seperti: tidak mengambil kayu pada daerah kelerengan lebih dari 450 , tidak mengambil kayu pada daerah pinggir sungai, tidak mengambil kayu pada daerah hulu sungai.
- Hasil FGD juga menunjukkan bahwa ke depan masyarakat berharap HAD perlu dikelola dengan pola ruang yang jelas. Pola pembagian ruang ini tercermin dari pikiran peserta FGD untuk menjadikan daerah Hutan Adat menjadi :
- kawasan budidaya (untuk kawasan datar), agar kawasan HAD juga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat.
- Hutan Adat utuh seperti kelerengan lebih dari 450, pinggir sungai, dan daerah hulu sungai, agar kawasan HAD mampu memberikan perlindungan sumber air dan perlindungan flora serta fauna.
- Hutan Adat sosial, seperti tempat yang memiliki arti khusus (makam keramat, lokasi para dewa), agar terjadi keberlanjutan hubungan sosial antara masyarakat dengan tempat tersebut.
Sejarah Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu
- HAD Baru Pangkalan Jambu ditetapkan melalui SK Bupati No. 225 Tahun 1993, tanggal 15 Juni 1993.
- SK Bupati tersebut berawal dari himbauan Bupati Sarko (Bambang Soekowinarno) kepada 24 desa yang berada di wilayah di Kec Sungai Manau agar membuat Hutan Adat, dimana kriteria wilayah hutan adat tersebut adalah: tidak tumpang tindih dengan desa lain, tidak dilalui oleh jalur transportasi atau mobil. Luas yang diminta waktu itu untuk masing-masing desa adalah seluas 250 Ha. Himbauan tersebut direspon oleh aparat pemerintah desa waktu itu, dan diadakanlah rapat (sidang) di desa yang melibatkan tokoh adat, agama, pemuda dan wakil kelompok perempuan. Hasil sidang memutuskan bahwa daerah yang akan dijadikan HAD adalah kawasan HAD sekarang. Kemudian diusulkan oleh Kepala Desa (Pak Maakat) melalui Surat Kepala Desa Ninik Mamak Desa Baru Pangkalan Jambu Kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sarolangun Bangko Tanggal 1 Februari 1993 Nomor 7/Kades/ 2002/1993, tentang Usulan Pembuatan Hutan Adat Desa kepada Bupati. Menurut warga usulan pada waktu itu hanya sekitar 250 HA dimana batas-batas calon HAD berbatasan sebelah Utara dengan Sungai Jernih (batas alam), sebelah Barat dan Timur berbatasan dengan Sungai Pangkalan Jambu, dan Sebelah Selatan berbatasan dengan Sungai Supenin.
- Alasan anjuran Bupati adalah :
- Hutan sudah semakin hancur, karena penebangan kayu secara illegal dan karena aktivitas pembalakan kayu oleh konsesi HPH.
- Kepentingan penetapan zonasi kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, dimana Hutan Adat merupakan kawasan buffer zones dari TNKS.
- Hutan Adat flora dan fauna.
PROFIL PARA PENGGAGAS
Gagasan Hutan Adat
- Himbauan Bupati kepada 24 desa di Kec. Sungai Manau.
- Maakat sebagai Kades merespon himbauan Bupati dan melakukan musayawarah-musyawarah di Desa. Musyawarah di desa waktu itu difasilitasi oleh WWF Kerinci (Bpk Tengku Budi, dkk), Secara kebetulan (menurut informasi warga desa) WWF Kerinci, bersama aparat Dinas Kehutanan Kab. Sarko melakukan survei di calon lokasi HAD yang akan diajukan ke Bupati. Kepentingan WWF dan Dinas Kehutanan mungkin dalam rangka penetapan zonasi TNKS yang memang belum ada rencana sama sekali. Karena mempunyai kepentingan yang sama (WWF berkeinginan bahwa HAD menjadi buffer zone TNKS sementara masyarakat berkeinginan calon lokasi tersebut menjadi HAD) maka WWF mendampingi Aparat Desa Baru Pangkalan Jambu untuk mengusulkan kepada Bupati untuk melegal formalkan HAD sesuai dengan anjuran/himbauan Bupati waktu itu.
- Beberapa tokoh yang teridentifikasi sebagai penjawab gagasan Bupati adalah: (Lizaruddin, Ketua, juga sebagai pucuk pimpinan adat dengan gelar Rio Niti Dirajo); (Maakat, Wakil, sebagai Kepala Desa); (Sabarina, Bendahara); (Sabli, Anggota); Elfis; Bahrul K; Zulkarnaen, tokoh masyarakat dengan gelar Dt Bandara Kayo; Mulya Arpan; Mukhtaruddin; (Jahari, Penasehat, dengan gelar Depati Cahyo Negoro).
Kondisi Hutan Adat Sebelum di Keluarkan SK Bupati
- Diyakini bahwa kawasan hutan tersebut merupakan kawasan angker yang mempunyai kekuatan (mungkin untuk menjaga ketersediaan air) sehingga tidak dijamah oleh masyarakat. Kekuatan tersebut seperti: jika ada warga desa atau masyarakat luar desa yang mengambil kayu atau hasil hutan lainnya, maka yang bersangkutan akan ditimpa marabahaya atau bala seperti ditimpa kayu, sakit, ataupun akan mati hanyut. Hal aneh lainnya adalah jika ada orang baru masuk ke wilayah tersebut maka, gerimis akan turun seketika. Disamping itu wilayah HAD tersebut diyakini oleh warga merupakan lintasan Datuk Rajo Bujang (sebutan untuk penunggu Gunung Batuah). Oleh karena itu, dari dulu HAD memang tidak diganggu oleh masyarakat.
Keadaan Masyarakat
- Sewaktu diadakan rapat untuk menjawab himbauan Bupati, semua masyarakat setuju kawasan tersebut dijadikan kawasan hutan adat. Tidak ada satupun kelompok yang menentang pengajuan hutan adat tersebut.
- Kondisi di atas didukung oleh fakta bahwa selain tempat tersebut dipandang angker, sebelum tahun 1986 ada sungai keramat yang biasa mengairi sawah, tetapi setelah bukit dibuka menjadi wilayah perkebunan, air sungaipun mengecil dan tidak lagi cukup untuk mengairi sawah. Kebutuhan air sawah dicukupi dengan menggunakan kincir air.
- Saat ini, melihat begitu meluasnya pengambilan kayu di luar hutan adat, tidak stabilnya debit air sungai Pangkalan Jambu (debit air cepat naik ketika hujan turun bahkan sampai membanjiri desa, sebaliknya debit air itupun cepat turun), dan HAD kaya akan flora (tanaman obat, jenis-jenis kayu) dan fauna, maka masyarakat pun semakin berkeinginan untuk tetap memertahankan dan menjaga HAD desa BPJ.
POLA-POLA PENGELOLAAN HUTAN ADAT OLEH MASYARAKAT LOKAL
Pengelola Kawasan Hutan Adat
- Kawasan HAD dikelola oleh suatu organisasi yang disebut dengan Kelompok Kerja Pengelolaan Hutan Adat.
- Organisasi pengelola ini dimuat dalam Peraturan Desa (Perdes) Nomor: 1/Perdes/HAD/XII/93 dan ditetapkan bulan Desember 1993 kemudian perdes ini diperbaharui dengan Perdes Nomor: 01/Perdes/HAD/02/1994, yang ditetapkan pada tanggal 25 Februari 1994.
- Materi yang tertuang dalam Perdes Nomor: 01/Perdes/HAD/02/1994 tersebut sebagai berikut:
- Ketentuan Umum
- Azas dan tujuan serta fungsi
- Luas letak dan batas wilayah HAD
- Kelembagaan dan tugas serta wewenang
- Kewajiban dan hak masyarakat adat
- Sangsi-sangsi
- Sumber pembiayaan dan pengembangan pengelolaan HAD
- Pada bagian lampiran diuraikan tentang struktur dan tata kerja kelompok kerja HAD desa BPJ.
Pemanfaatan Kawasan HAD
- Menurut aturan yang ada, semua masyarakat desa Baru Pangkalan Jambu memiliki akses terhadap HAD. Tetapi pandangan sebagian besar masyarakat, HAD adalah suatu kawasan lindung yang tidak boleh dijamah ataupun dimanfaatkan sama sekali.
- Ada poin dalam PERDES, untuk keperluan mendesak boleh mengambil kayu tetapi melalui mufakat ninik mamak yang berkordinasi dengan kelompok kerja HAD.
- Pemanfaatan Kayu HAD yang pernah dilakukan untuk kepentingan bersama masyarakat desa :
- Membangun Mesjid (teridentifikasi tokoh Lizaruddin, sebagai Rio Niti; Maakat, sekretaris pembangunan mesjid; Nasaruddin alm, sebagai Kades meminta izin kepada Bupati dan Dinas Kehutanan Sarko untuk mengambil kayu). Izin tidak dapat, tetapi kayu diambil juga dan selama pengambilan dan pengangkutan kayu tidak ada gangguan.
- Dana tambahan untuk pembangunan PLTA Mikro bantuan ICDP TNKS.
- Aturan mengambil kayu adalah: (1) Tebang pilih, mengambil kayu diameter lebih dari 50 cm, (2) Tidak mengambil kayu diketingggian dan kelerengan yang tajam, (3) Tidak mengambil kayu di pinggir dan di hulu sungai, (4) Tidak mengambil kayu yang tidak bisa dimanfaatkan.
Konpensasi Pemanfaatan
Tidak ada konpensasi dalam pengambilan kayu HAD seperti mewajibkan penanaman misalnya Tebang Pilih dan Tanam.
INSTITUSI PENGELOLAAN DAN PERLINDUNGAN HUTAN ADAT
Institusi Pengelolaan Hutan Adat
- Institusi HAD terangkum dalam Perdes Nomor: 1/Perdes/HAD/XII/93 dan ditetapkan bulan Desember 1993 kemudian perdes ini diperbaharui dengan Perdes Nomor: 01/Perdes/HAD/02/1994.
- Perdes 1993 tersebut ditandatangi oleh Kepala Desa (Bpk. Maakat) waktu itu, diinisiasi oleh WWF (terutama Sdr. Tengku Budi dan Sdr. Khusnul ). Kepentingan WWF adalah dalam promosi kegiatan WWF di Prop. Jambi berkaitan dengan pengelolaan buffer zones.
- Perdes 1994 yang bersumber dari Perdes 1993 yang ditandatangani oleh Kepala Desa waktu itu yaitu Alm Nasaruddin. Perdes 1994 ini diinisiasi oleh personil Fasilitator Konservasi Desa (FKD) yang terlibat pada proyek ICDP. Jika diteliti lebih dalam ternyata ada perubahan mendasar dari perdes 1993, berkenaan dengan struktur dan penjelasan tentang kordinator otomatis HAD yang dijabat oleh Rio Niti.
- Diakui oleh sebahagian peserta FGD bahwa Perdes HAD, merupakan inisiasi WWF dan Fasilitator Konservasi Desa ICDP. Kenyataan bahwa sebahagian besar masyarakat belum memahami dengan baik isi perdes tersebut, baik struktur, tugas dan kewenangan maupun hak dan kewajiban masyarakat. .
Struktur Pengelolaan HAD
Ada di Perdes Desa Baru Pangkalan Jambu Nomor 01/Perdes/HAD/02/94
Tugas
- Kordinator Kelompok HAD
- Mengkordinir semua anggota Kelompok Kerja Hutan Adat Desa (KKHAD) dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengelolaan HAD.
- Melaporkan adanya kerusakan dan pelanggaran oleh masyarakat kepada pemerintah Desa dan Lembaga Adat.
- Kepala Desa
- Mengkordinir seluruh anggota kelembagaan desa, sebagai pengendali pelaksanaan teknis lapangan.
- Menegakkan peraturan desa tentang HAD.
- Melakukan pengendalian pelaksanaan teknis lapangan dalam kawasan HAD.
- Mengawasi dan menyelesaikan serta melaksanakan sanksi hukuman yang telah diputus Lembaga Adat Desa.
Hak dan Kewajiban
Hak Masyarakat:
- Mengambil benih dan bibit tumbuhan untuk kepentingan pengayaan dari dalam kawasan HAD untuk dibudidayakan.
- Memanfaatkan potensi HAD sebagai tempat rekresasi sekaligus belajar.
- Memungut hasil hutan berupa bahan baku ramuan obat tradisional tanpa memusnahkan jenis sumber obatan tersebut.
Kewajiban Masyarakat
- Tidak menebang pohon serta memusnahkan jenis tumbuhan sumber makanan satwa secara liar serta jenis tumbuhan induk sebagai sumber benih tanaman budidaya.
- Tidak membunuh binatang yang hidup dan berkembang biak dalam HAD dan dalam kawasan hutan disekitarnya, kecuali binatang tersebut mengancam dan merugikan hajat hidup orang banyak.
- Memelihara, menjaga, memperbaiki dan menghormati patok batas fungsi hutan adat desa dan batas tetap hutan Taman Nasional Kerinci Seblat.
- Tidak membuka dan menggarap perladangan baru serta perluasan lahan budidaya dan membangun pemukiman tetap di dalam HAD.
- Tidak melakukankegiatan pembakaran, baik di dalam maupun di pinggir kawasan HAD.
- Tidak membuang sampah yang tidak dapat dihancurkan dan tidak menggunakan cairan beracun dalam melakukan semua kegiatan di dalam kawasan HAD.
- Menjaga dan memelihara sumber-sumber mata air dan hulu sungai dalam kawaan hutan adat desa.
Sangsi
- Denda kambing 1 ekor dan 20 gantang beras bagi ;
- Menangkap ikan bagi yang menggunakan zat racun atau peralatan listrik.
- Memasang jerat binatang.
- Menangkap binatang atau satwa langka yang dilindungi.
- Mencemari dan merusak hulu sungai dan anak sungai disekitar hutan adat desa.
- Merubah posisi, merusak dan memusnahkan patok batas hutan adat desa, hutan TNKS.
- Denda 1 ekor kerbau dewasa dan 100 gantang beras bagi yang menangkap binatang dan satwa yang dilindungi, menebang kayu untuk tujuan perdagangan dan membuka hutan untuk keperluan usaha.
Pemanfaatan HAD
- Aturan pengambilan kayu HAD: tidak mengambil kayu di hulu sungai, tidak mengambil kayu di tepi sungai, tidak mengambil kayu yang tidak bisa digunakan, dan tidak mengambil kayu pada kelerengan >450 .
- Dalam pengambilan kayu HAD, dibentuk panitia. Panitia mengajukan rencana pengambilan kayu kepada pengurus HAD dan perlu mendapat persetujuan dari ninik mamak. Rencana pengambilan kayu berisi: jenis kayu , lokasi penebangan, kubifikasi, dan jalur keluar kayu sampai ke desa.
- Tim pengawas langsung mengontrol di lapangan.
JARINGAN PENGELOLAAN DAN PERLINDUNGAN HUTAN ADAT
Aktivitas Bersama
Aktivitas-aktivitas bersama yang dilakukan dalam dalam pengelolaan dan perlindungan kawasan teridentifikasi beberapa jenis aktivitas.
- Aktivitas Pengawasan
Organisasi Pengawasan Hutan Adat. Terdiri dari 6 orang personil. Ketua: Bpk Zulkarnain dan Anggota: Tajudin, Mukhtaruddin, Elvis, Mulya Arpan, Muhammad.
- Aktivitas Pengambilan Kayu.
- Organisasi pengambilan kayu terdiri dari 3 orang personil. Ketua adalah Bpk Zulkarnain, Sekretaris Bpk Kari; dan Bendahara Bpk Joni Saputra.
- Pengambilan Kayu untuk Pembuatan Mesjid, tahun 1997. Setelah mendapat izin dari Ninik Mamak dan berkordinasi dengan Pengurus Hutan Adat, panitia pembangunan mesjid ( Bpk. Lijaruddin/Ketua, Bpk Maakat/Sekretaris dan Kades Bpk Nasaruddin) mengajukan permohonan kepada Bupati dan Dinas Kehutanan Sarko untuk pengambilan kayu. Permohonan tidak mendapat jawaban yang memuaskan warga desa, dan ada indikasi bahwa permohonan pengambilan kayu warga ini tidak akan dikabulkan oleh instansi yang berwenang. Pak Maakat, mantan Kades yang lebih banyak mengetahui admistrasi surat menyurat, mengatakan bahwa jika surat dari Desa yang ditujukan ke pada instansi yang lebih tinggi, jika dua bulan tidak ditanggapi secara tertulis, maka surat tersebut berarti tidak bermasalah. Dengan alasan tersebut, maka dilakukanlah pengambilan kayu untuk pembuatan Mesjid dan tidak ada pertanyaan maupun pemrosesan secara hukum terhadap warga berkenaan dengan pengambilan dan pengangkutan kayu tersebut.
- Pengambilan Kayu untuk Melengkapi Dana Pembuatan PLTA Mikro. Dana PLTA yang tersedia sesuai fasilitas proyek ICDP adalah Rp 125 jt. Tetapi sampai saat ini masih PLTA tersebut belum beroperasi karena saluran pembuangan air dari instalasi miro hidro belum dibangun sebagaimana mestinya. Setelah dilakukan kalkulasi ulang tentang biaya yang diperlukan agar PLTA berfungsi, maka pembuatan saluran tersebut diperkirakan membutuhkan biaya skitar Rp 48 juta. Keputusan dari pengurus HAD adalah, bahwa kekurangan dana ini akan ditutupi dengan mengambil kayu HAD.
- Aktivitas Pengamanan
- Melakukan kegiatan monitoring dalam HAD sekali 15 hari.
- Operasi pengamanan yang dikordinir oleh Pak Zulkarnain bersama anggota keamanan lainnya seperti: Tajudin, Mukhtaruddin, Elvis, Muya Arpan, Muhammad. Kegiatan pengamanan terutama dilakukan jika ada laporan dari Pak Jahari, misalnya ada pencurian kayu, maka Pak Zulkarnain langsung memerintahkan anggota untuk memeriksa kondisi lapangan.
Pemilihan Personil
Personil yang duduk dalam pengurus (pengawasan, pengambilan kayu, pengamanan) dipilih dalam musyawarah desa yang melibatkan semua unsur. Legal formal terakhir kepengurusan HAD adalah pada tahun 1994, dan sampai sekarang belum ada aturan atau keputusan maupun Perdes baru yang dikeluarkan mengganti Perdes tahun 1994 tersebut.
FUNGSI KONSERVASI, SOSIAL EKONOMI HUTAN ADAT
Fungsi Kawasan HAD ada dalam PERDES Tahun 1994
Fungsi Konservasi
- Perlindungan sumbr-sumber mata air dan hulu sungai serta pemeliharaan mutu tanah.
- Perlindungan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar untuk memelihara hubungan timbal balik antara unsur-unsur alam seperti pemeliharaan mutu tanah, penyimpanan air tanah, pengadaan zat makanan tumbuhan, pemeliharaan cuaca setempat, dan untuk perkembangbiakan tumbuhan dan hewan.
- Penyangga sumber daya alam atau penyangga perluasan habitat hewan dan tumbuhan bagi Taman Nasional Kerinci Seblat.
Fungsi Ekonomi
- Penyediaan bahan baku hasil hutan ikutan non-kayu untuk mendukung kebutuhan rumah tangga bagi masyarakat yang sangat memerlukan
- Penyediaan sumbr benih dan bibit tumbuhan untuk kepentingan budidaya di daerah pedesan.
Fungsi Sosial
- Pemanfaatan pengembangan wisata alam terbatas, pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian kehutanan untuk peningkatan wawasan, kemampuan dan kesejahteraan masyarakat setempat.
- Pelestarian adat istiadat setempat dalam memelihara sumber daya alam pedesaan.
Catatan
- Sebagian besar peserta FGD tidak memahami fungsi kawasan HAD. Peserta beranggapan bahwa HAD sama dengan Hutan Lindung.
- Sosialisasi Perdes kepada seluruh masyarakat tidak berjalan dengan baik.
JENIS FLORA DAN FAUNA YANG DIKELOLA DAN DILINDUNGI PADA HUTAN ADAT
Jenis Flora dan Fauna
- Jenis Obat-obatan (pasak bumi, legru, aru putih, akar kunyit, brotowali, cendawan susu harimau)
- Jenis Damar
- Jenis Rotan
- Jenis Sialang (untuk madu lebah)
- Jenis Jelutung
- Jenis Buahan Hutan
- Kuaw, Kancil, Kijang, Rusa, Ayam Hutan, Harimau, Siamang, Tupai, Macan, Kambing Hutan,
- Berbagai jenis burung
- Jenis kayu yang diambil (kelukup, meranti dan bayang) dan jenis lainnya (pule, jelutung, duren, Manau, Petai Hutan, Gaharu)
Prediksi Kelangsungan Hidup Flora dan Fauna
- Karena sebagian besar masyarakat memahami HAD sebagai Hutan Lindung, maka flora dan fauna yang ada di HAD akan tetap terjamin keberadaannnya
- Ancaman terhadap kelestarian Flora dan Fauna mencakup:
- Ancaman internal (dari masyarakat desa Baru Pangkalan Jambu), berupa godaan untuk mengambil flora dan fauna yang ada dalam HAD.
- Ancaman eksternal (pencurian kayu dari luar desa), terutama karena HAD kaya dengan berbagai jenis kayu sementara daerah sekitar HAD telah berlangsung illegal logging. Alasan lain adalah adanya anggapan bahwa HAD desa BPJ adalah HA Marga Pangkalan Jambu, yang bisa diakses oleh masyarakat adat Marga Pangkalan Jambu.
PETA MASALAH DAN PETA KONFLIK PENGELOLAAN HUTAN ADAT
Masalah dan Konflik
- Ancaman Internal
Pengambilan kayu oleh warga desa. Pengambilan kayu dilakukan dengan sengaja maupun secara tidak sengaja. Pengambilan secara sengaja misalnya terdeteksi setelah pengurus hutan adat menerima laporan dari Pak Jahari (sebagai pelapor). Setelah tim pengaman memeriksa kondisi lapangan memang terdapat bekas tebangan, namun tidak cukup bukti yang dijadikan dasar tuduhan pencurian kayu. Pengambilan secara tak sengaja, misalnya terjadi sewaktu Pak Maakat menjabat Kepala Desa. Ada perbedaan pandangan antara Pak Maakat dengan Pengurus HAD. Menurut Pak Maakat, kayu yang diambil tersebut bukanlah termasuk ke dalam wilayah HAD. Akan tetapi menurut pengurus HAD, kayu yang diambil termasuk ke dalam wilayah HAD. Pengurus yang berkordinasi dengan ninik mamak menjatuhkan sangsi kambing satu ekor dan beras 20 gantang kepada keluarga Pak Maakat. Tetapi karena Pak Maakat meyakini bahwa kayu tersebut bukan termasuk wilayah HAD, maka sangsi tersebut tidak dijalankan.
- Ancaman Eksternal
- Ada pandangan bahwa HAD desa Baru Pangkalan Jambu merupakan HAD marga pangkalan jambu. Oleh karena itu masyarakat adat marga pangkalan jambu dapat memiliki akses terhadap HAD. Pandangan ini merupakan ancaman terbesar dikemudian hari, lebih lagi daerah lain selain HAD telah telah menjadi sasaran illegal loging, baik oleh masyarakat desa BPJ maupun masyarakat desa sekitar.
- Pencurian kayu oleh mitra TNKS. Tetapi tidak ada bukti kuat karena sewaktu akan dilakukan pemeriksaan lapangan, banjir datang dan kayu yang dicuri hanyut.
- Ada upaya pihak eksternal (pemilik modal) untuk menjadikan HAD sebagai kawasan dengan izin IPKR. Niat dari pihak eksternal ini pernah dibicarakan dengan Tajuddin sebagai Kepala Desa, namun sampai dengan Tim Studi ke lapangan, belum ada jawaban resmi dari pihak Pemerintahan Desa.
- Ada niat untuk membangun sawmill di desa Baru Pangkalan Jambu, namun niat ini mendapat tantangan dari Pak Zulkarnain dengan alasan: sawmill mencemari sawah dan sungai serta sawmill akan menguras sumberdaya kayu dengan cepat termasuk godaan untuk mengambil kayu HAD. Akhirnya sawmill tersebut tidak jadi berdiri.
- Tata Batas dengan TNKS
- Penetapan tata batas TNKS secara sepihak, menyebabkan sekitar lebih kurang 300 Ha Hutan Adat masuk ke dalam wilayah TNKS. Setelah dilakukan upaya dialog dengan pihak TNKS Bangko, ternyata terdapat perbedaan pandangan antara masyarakat dengan pihak TNKS. Masyarakat berpandangan bahwa luas HAD sesuai dengan SK Bupati yakni seluas 754,55 HA dengan batas-batas Utara dengan Sungai Jernih (batas alam), sebelah Barat dan Timur berbatasan dengan Sungai Pangkalan Jambu, dan Sebelah Selatan berbatasan dengan Sungai Supenin. Sementara dipihak TNKS berpandangan bahwa batas TNKS sesuai dengan SK Menteri.
- Ada indikasi bahwa pemasangan patok TNKS di tengah HAD adalah akibat perbuatan oknum mitra TNKS. Oknum mitra TNKS ini diduga telah mencuri kayu HAD. Alasan mitra TNKS adalah bahwa kayu yang diambil adalah kayu negara.
- Pernah dilakukan upaya dialog dengan Bappeda Sarko (yang ikut pertemuan Pak Maakat, Pak Zul, Pak Lizaruddin, Mulya Arpan dan Saberina), dan terjadi ketegangan antara masyarakat dengan pihak Bappeda. Tidak ada penyelesaian perbedaan pandangan tersebut waktu itu dan sampai sekarang ini.
PANDANGAN WARGA DESA TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN ADAT
Informasi Pengelolaan
- Sosialisasi HAD sangat kurang, masyarakat cenderung memahami HAD sebagai kawasan hutan lindung.
- Sosialisasi sebaiknya jangan hanya di mesjid saja, karena kaum ibu mempunyai halangan ke mesjid. Sebaiknya sosialisasi tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan desa juga dilakukan di langgar dan bahkan jika bisa dibuat papan pengumuman.
- Pemahaman terhadap organisasi pengelola di tingkat personil yang duduk dalam struktur pengelola HAD sangat minim. Apalagi pemahaman organisasi pengelolaan HAD ini di tingkat masyarakat luas, artinya sebahagian besar masyarakat kurang memahami struktur, kewenangan, tugas dan hak serta kewajiban masyarakat.
Kepentingan Warga terhadap HAD
- Warga menyadari bahwa HAD perlu untuk perlindungan tata air. Buktinya jika hujan datang dalam waktu yang tidak lama, air sungai meluap dengan cepat dan turun dengan waktu yang cepat juga.
- Warga juga menyadari bahwa HAD perlu untuk perlindungan Flora dan Fauna.
- Disadari juga bahwa kawasan HAD banyak mengandung jenis tumbuhan obat-obatan.
- HAD juga dapat menyediakan kebutuhan kayu untuk kepentingan bersama masyarakat desa.
Harapan
- Ada warga desa yang berpendapat bahwa HAD jangan diganggu lagi. Artinya HAD dipelihara saja agar terjamin kelestariannya.
- Argumen di atas didasarkan atas fakta bahwa ada ide untuk mendirikan madrasah, kemudian setelah kayu ditebang, maka pengelolaan dan pertanggung jawabannya tidak jelas lagi.
- Disamping harapan di atas, ada juga warga yang berpendapat bahwa HAD bisa saja diambil kayunya asalkan untuk kepentingan bersama.
- Diharapkan bahwa pengurus HAD transparan / terbuka memberikan laporan atas sangsi-sangsi yang diberikan. Pernah ada sangsi denda 500.000 kepada seseorang tetapi tidak tahun kemana perginya uang tersebut.
Tujuan Pengelolaan Kawasan
Hutan adat sebagai bagian dari sumberdaya alam yang ada di desa dikelola dengan tujuan sebagai berikut :
- Melestarikan keberadaan hutan sebagai salah satu komponen lingkungan yang memiliki peranan penting bagi kehidupan.
- Memberikan sumber-sumber pendapatan asli desa (PADes) sebagai sumber dukungan dana dalam menggerakkan pembangunan desa.
- Memberikan akses bagi desa dalam mengelola sumberdaya alam hutan yang dimiliki sebagai bentuk implementasi otonomi desa.
Prinsip-prinsip Pengelolaan Kawasan
Prinsip adalah sesuatu yang diyakini apabila dilaksanakan atau diterapkan akan menjadi faktor penentu dalam pencapaian suatu tujuan. Pencapaian tujuan pengelolaan hutan adat akan diyakini mampu diwujudkan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
- Prinsip Pengaturan, yaitu pengelolaan hutan desa harus diatur sedemikian rupa untuk memberikan arah pengelolaan yang jelas. Prinsip ini berorientasi terhadap upaya mempertahankan fungsi.
- Prinsip Pemanfaatan, yaitu pengelolaan hutan desa harus memberikan manfaat bagi seluruh komponen masyarakat desa. Untuk itu dalam pengelolaan hutan desa harus membuka akses yang seluas-luasnya bagi pihak yang ingin memanfaatkan dengan pengaturan pola pemanfaatan secara khusus yang memperhatikan aspek kelestarian dan keberlanjutan.
- Prinsip Perlindungan, yaitu pengelolaan hutan desa harus memuat kaidah-kaidah konservasi yang mampu mempertahankan keanekaragaman flora dan fauna terutama yang tergolong langka dan aspek mempertahankan daya dukung terhadap kualitas lingkungan.
Fungsi Hutan Adat
Pengelolaan hutan adat sebagai bagian dari sumberdaya alam yang dimiliki didasarkan pada aspek pemenuhan jangka pendek maupun jangka panjang. Oleh karena itu pengelolaan hutan adat harus diarahkan terhadap upaya mempertahankan fungsi sehingga keberadaan hutan desa yang diharapkan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang akan tetap terpelihara. Ada tiga fungsi pokok dari hutan desa yang harus tetap dipertahankan, diantaranya :
- Fungsi konservasi, yaitu hutan adat merupakan suatu kawasan perlindungan sumberdaya alam dan perlindungan terhadap kualitas lingkungan yang meliputi aspek ;
- Pelestraian plasma nutfah (flora dan fauna).
- Mempertahankan tata air.
- Pengendali erosi
- Pengendali polusi
- Fungsi ekonomi, yaitu suatu hutan adat yang dikelola diarahkan untuk memberikan nilai secara ekonomis baik dalam pemenuhan kebutuhan individual (bersifat temporal) maupun kebutuhan kolektif (pembangunan desa). Produk hutan kayu dan non kayu bisa dimanfaatkan oleh warga desa dengan pengelolaan terbatas yang diatur sedemikian rupa dengan bertumpu pada aspek kelestarian dan keberlanjutan.
- Fungsi sosial, yaitu suatu hutan adat yang dikelola diarahkan untuk memfasilitasi pencapaian tujuan-tujuan sosial yang meliputi :
- Tempat pengembangan kegiatan-kegiatan penelitian.
- Tempat wisata atau rekreasi
- Tempat penyelenggaraan upacara-upaya ritual yang menjadi keyakinan dan tradisi bagi masyarakat desa.
Pengelolaan Fisik
Keberadaan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu secara fisik pada faktanya masih memiliki banyak aspek kelemahan terutama berkenaan dengan luasan, tutupan permukaan, dan pengelolaan ruang.
Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu menurut Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Sarolangun Bangko (sekarang Kabupaten Merangin) Nomor 225 Tahun 1993 tanggal 15 Juni 1993 tercatat memiliki luas sekitar 753,74 ha dengan berpedoman dari peta yang dibuat oleh WWF ID 0094 bersama BAPPEDA Tingkat II Kabupaten Sarolangun Bangko. Berdasarkan hasil pengukuran melalui peta yang dibuat secara bersama oleh masyarakat setempat dengan berlandaskan atas batas-batas yang menjadi kesepakatan awal penetapan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu, tercatat luas hutan Desa Baru Pangkalan Jambu berkisar 1.442,50 ha.
Dalam pelaksanaan pemasangan patok tata batas Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu ternyata tidak mengikuti batas-batas yang menjadi kesepakatan awal yang menurut masyarakat setempat mengikuti batas-batas alam berupa aliran sungai. Pada kenyataannya hal ini pula yang mendorong munculnya kasus pencurian kayu yang pernah terjadi di kawasan Hutan adat Desa Baru Pangkalan Jambu yang dilakukan oleh warga desa dan pihak mitra TNKS.
Dalam mengelola hutan adat, pada dasarnya masyarakat Desa Baru Pangkalan Jambu sudah berorientasi pada fungsi-fungsi ruang dimana mereka menyepakati adanya pembagian ruang dalam kawasan hutan desa tersebut seperti kawasan perlindungan dan kawasan pemanfaatan. Namun pembagian ruang tersebut baru sampai pada tahapan membangun prinsip-prinsip dan sama sekali belum dilakukan pembagian ruang secara khusus. Dan model pembagian ruang yang pernah dilakukan oleh WWF ID 0094 dan BAPPEDA Tingkat II Kabupaten Sarolangun Bangko ternyata tidak tersosialisasi dengan baik yang pada kenyataannya tidak dapat diimplementasikan oleh warga dan organisasi pengelola hutan adat Desa Baru Pangkalan Jambu.
Berdasarkan hasil kesepakatan yang dibangun dalam kegiatan lokakarya di tingkat desa berkenaan dengan rekonstruksi pengelolaan kawasan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu, model keruangan yang akan diterapkan dalam pengelolaan kawasan mencakup pembagian ruang-ruang atas tiga pola keruangan, yaitu :
- Ruang perlindungan, meliputi daerah-daerah sekitaran hulu dan bantaran sungai, daerah inum satwa, habitat tanaman langka dan dilindungi, daerah pada kemiringan curam/terjal, dan puncak bukit atau gunung. Ruang perlindungan ini berfungsi sebagai kawasan perlindungan terhadap sumberdaya alam hayati dan non hayati yang tidak boleh dilakukan aktivitas eksploitasi.
- Ruang pemanfaatan, meliputi daerah-daerah di luar ruang perlindungan. Ruang pemanfaatan berfungsi mensuplai produk kayu dan non kayu yang dapat memberikan nilai ekonomis baik bagi desa secara menyeluruh atau bagi warga secara individual yang dimanfaatkan secara terbatas dengan pola khusus, berkesinambungan, dan berorientasi jangka panjang.
- Ruang penyangga, meliputi daerah di luar tata batas kawasan (boundary) yang memiliki interaksi baik secara ekologis maupun sosial dengan keberadaan kawasan. Ruang penyangga berfungsi untuk memberikan daya dukung terhadap upaya mempertahankan fungsi keberadaan ruang perlindungan dan ruang pemanfaatan yang dikelola secara khusus dengan memperhatikan aspek-aspek yang mendukung kelangsungan pengelolaan kawasan.
Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu adalah suatu kawasan hutan yang dikelola yang berorientasi pada aspek perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya alam khsusnya hutan. Warga Desa Baru Pangkalan Jambu mengakses kayu yang berada di kawasan hutan adat untuk kebutuhan pembangunan sarana umum desa. Ada dua sarana pokok yang telah mereka bangun dengan memanfaatkan hasil dari hutan adat yaitu mesjid dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang sebagian dananya merupakan bantuan program ICDP TNKS. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa upaya memanfaatkan hutan adat tidak dibarengi dengan upaya melakukan penanaman kembali sehingga kemungkinan suksesi tutupan permukaan jika terus diterapkan pola ini akan membutuhkan waktu yang sangat panjang.
Berdasarkan realitas dan fakta tersebut, maka pada aspek perencanaan pengelolaan fisik kawasan hutan desa ke depan perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut :
- Pengukuhan kembali luas hutan desa.
- Penataan patok tata batas hutan desa.
- Pembagian ruang kawasan hutan desa yang berorientasi fungsi.
- Rehabilitasi kawasan penebangan.
Sebagai wujud implementasi dari upaya-upaya tersebut di atas dapat diformulasikan beberapa kegiatan sebagai berikut :
No | Jenis Kegiatan | Tujuan | Strategi | Output |
1 | Pengajuan revisi SK Bupati tentang Pengukuhan Hutan Desa | Memperoleh legitimasi atas pengelolaan kawasan hutan adat | Membuat surat pengajuan Revisi SK dan melakukan perundingan dengan instansi terkait | Diterbitkannya SK Pengukuhan Pengelolaan Hutan Adat |
2 | Penyebaran Informasi | Mensosialisasikan keberadaan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu yang dikelola secara otonom untuk mengurangi tekanan dari pihak luar | Membuat liflet dan brosur yang memuat informasi tentang Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu untuk disebarkan ke desa-desa tetangga | Masyarakat desa sekitar mengakui keberadaan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu |
3 | Pemasangan Patok Tata Batas Baru | Mensingkronkan keberadaan letak patok tata batas sesuai dengan peta dan batas-batas alam yang disepakati | Membuat patok yang bersifat permanen dan mudah dikenal oleh masyarakat sekitar dan menetapkan titik-titik koordinat letak masing-masing patok | Hutan Adat memiliki batas-batas yang jelas yang ditunjukkan dari keberadaan patok tata batas |
4 | Pembagian Ruang | Memberikan arah pengelolaan Hutan Adat menurut fungsi masing-masing ruang | Memetakan keberadaan ruang-ruang berdasarkan konstruksi yang telah disepakati | Hutan Adat memiliki ruang-ruang dengan fungsi yang jelas. |
5 | Penanaman pohon spesies endemik di kawasan rehabilitasi | Mempertahankan fungsi kawasan dan mencegah kerusakan dalam kawasan | Membuat tempat pembibitan dan pengaturan waktu dan lokasi tanam | Fungsi kawasan dapat dipertahankan |
Organisasi Pengelola
Organisasi pengelola Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu sebagaimana yang sudah ada belum mampu berfungsi sepenuhnya yang disebabkan adanya beberapa kerancuan di dalam komponen strukturnya. Kerancuan pertama yang ditemukan adalah ketidakjelasan garis pertanggungjawaban pengelolaan hutan adat oleh organisasi pengelola. Di samping itu keberadaan struktur yang melibatkan berbagai komponen pengelola organisasi desa (pemerintahan desa, organisasi adat, dan syara’) menjadikan munculnya dualisme fungsi dalam komponen struktur yang ada sehingga hal ini merupakan sebuah potensi untuk melahirkan persaingan kepentingan dan ego kelembagaan dalam pengelolaan hutan adat. Ketidakjelasan fungsi untuk masing-masing komponen yang ada dalam struktur organisasi pengelola juga merupakan suatu kendala yang dihadapi dalam rangka memfungsikan keberadaan organisasi pengelola.
Organisasi pengelola hutan adat bertanggungjawab kepada kepala desa karena mengingat hutan adat merupakan bagian dari wilayah desa yang pengelolaannya merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi eksekutif pemerintah desa. Ketua dipilih dan diangkat langsung oleh kepala desa untuk melaksanakan tugas mengkoordinir pengelolaan hutan adat. Oleh sebab itu ketua ditunjuk langsung melalui Surat Keputusan Kepala Desa. Ketua dalam melaksanakan tugasnya menunjuk beberapa staf pembantu yang terdiri dari staf adminstrasi dan keuangan, beberapa orang staf yang menangani bidang pengaturan, bidang perlindungan, dan bidang pemanfaatan. Staf adminstrasi dan keuangan serta staf-staf bidang dalam melaksanakan tugasnya bertanggungjawab kepada kepala desa melalui ketua organaisasi pengelola.
Bidang pengaturan terutama berfungsi mengatur upaya-upaya dalam rangka mempertahankan fungsi-fungsi keruangan. Bidang perlindungan berfungsi melakukan pengamanan kawasan dari gangguan dan tekanan dari dalam dan luar desa. Bidang pemanfaatan berfungsi mengendalikan aspek pemanfaatan produk kawasan untuk kepentingan bersama warga desa.
Penasehat merupakan komponen yang berfungsi memberikan arahan-arahan dalam pengelolaan hutan adat. Komponen penasehat terdiri dari para pemangku adat, pegawai syara’, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan tokoh perempuan.
Berdasarkan hal tersebut maka beberapa aspek yang menjadi kebutuhan dalam upaya penataan struktur organisasi pengelolaan hutan adat adalah :
- Penyusunan ulang komponen dalam struktur organisasi berdasarkan hasil rekonstruksi.
- Penyusunan perangkat kelengkapan organisasi.
- Peningkatan kapasitas komponen organisasi pengelola.
- Penyusunan rencana kerja pengelolaan kawasan hutan adat.
Sebagai wujud implementasi dari upaya-upaya tersebut di atas dapat diformulasikan beberapa kegiatan sebagai berikut :
No | Jenis Kegiatan | Tujuan | Strategi | Output |
1 | Asistensi penataan organisasi pengelola hutan adat | Menyusun personalia organisasi pengelola hutan adat yang memiliki kapasitas dan representatif | Membangun dialog-dialog dan konsultasi dengan multi steakholder | Terbentuknya organisasi pengelola hutan adat yang berkapasitas dan representatif. |
3 | Asistensi penyusunan aturan-aturan dasar organisasi, tata kerja intern, tata kerja ekstern, garis-garis besar haluan organisasi | Melengkapi perangkat organisasi yang dapat menjadi pedoman bagi komponen organisasi pengelola dalam menjalankan organisasi | Membangun pertemuan-pertemuan internal komponen organisasi pengelola yang melibatkan multi steakholder | Adanya aturan dan mekanisme yang jelas dan terarah bagi keberadaan organisasi pengelola hutan adat |
3 | Pembekalan manejemen organisasi pengelola hutan adat | Meningkatkan kapasitas komponen organisasi pengelola hutan adat dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya | Menyusun modul pelatihan dan melaksanakan pelatihan organisasi pengelola hutan adat | Berfungsinya organisasi pengelola hutan adat |
4 | Asistensi penyusunan rencana kerja organisasi pengelola hutan adat | Memberikan gambaran aktivitas bagi organisasi pengelola dalam meningkatkan pengelolaan hutan adat | Membangun pertemuan-pertemuan internal komponen organisasi pengelola yang melibatkan multi steakholder | Adanya program kerja jangka pendek dan jangka panjang bagi organisasi pengelola hutan adat. |
Institusi Pengelolaan Kawasan
Landasan institusional pengelolaan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu adalah Surat Keputusan Bupati Nomor 225 Tahun 1993 tanggal 15 Juni 1993 yang memuat aspek legalitas keberadaan kawasan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu dan Peraturan Desa Nomor: 01/Perdes/HAD/02/1994 yang ditetapkan pada tanggal 25 Februari 1994 yang memuat aspek pengelolaan kawasan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu.
Keberadaan Peraturan Desa Nomor: 01/Perdes/HAD/02/1994 dinilai sudah tidak relevan untuk dipedomani karena banyak aspek yang menjadi kelemahan dan belum diatur. Kelemahan yang menyangkut struktur organisasi pengelola yang sudah mengalami perombakan melalui rekonstruksi bersama merupakan salah satu aspek yang perlu diatur secara tegas melalui peraturan desa. Di samping itu pola pengelolaan ruang sesuai fungsi juga merupakan bagian yang perlu diatur secara tegas. Berangkat dari hasil studi yang dilakukan teridentifikasi beberapa aspek yang berkaitan dengan pengelolaan hutan adat yang perlu diatur ke depan, yaitu :
- Keberadaan kawasan yang melingkupi aspek batas-batas defenitif yang disepakati.
- Model organisasi pengelola dan mekanisme penyelenggaraan organisasi dengan segala kelengkapan perangkat organisasi pengelola.
- Model pengelolaan kawasan yang melingkupi fungsi keruangan sebagai pedoman dalam pengelolaan kawasan.
- Prosedur dan mekanisme penanganan masalah dan konflik dalam pengelolaan kawasan termasuk di dalamnya mengenai tingkatan sanksi.
Sebagai wujud implementasi dari upaya-upaya tersebut di atas dapat diformulasikan beberapa kegiatan sebagai berikut :
No | Jenis Kegiatan | Tujuan | Strategi | Output |
1 | Asistensi penyusunan peraturan desa tentang keberadaan kawasan | Memberikan dasar yang kuat dalam mengelola kawasan hutan adat | Membangun dialog-dialog dan konsultasi dengan multi steakholder | Terbitnya peraturan desa yang mengatur tentang keberadaan kawasan |
2 | Asistensi penyusunan peraturan desa tentang model organisasi dan mekanisme penyelenggaraan organisasi pengelola kawasan | Memberikan dasar yang kuat dalam menetapkan unsur-unsur dalam struktur organisasi pengelola dan pedoman dalam menjalankan organisasi pengelola kawasan | Membangun dialog-dialog dan konsultasi dengan multi steakholder | Terbitnya peraturan desa yang mengatur tentang model organisasi dan mekanisme penyelenggaraan organisasi pengelola kawasan |
3 | Asistensi penyusunan peraturan desa tentang model keruangan pengelolaan kawasan | Memberikan arah yang jelas dalam mengelola kawasan sesuai dengan fungsi-fungsi keruangan pengelolaan kawasan | Membangun dialog-dialog dan konsultasi dengan multi steakholder | Terbitnya peraturan desa yang mengatur model keruangan pengelolaan kawasan |
4 | Asistensi penyusunan peraturan desa tentang prosedur dan mekanisme penanganan masalah dan konflik dalam pengelolaan kawasan | Memberikan arah yang jelas dalam menangani masalah dan konflik dalam pengelolaan kawasan | Membangun dialog-dialog dan konsultasi dengan multi steakholder | Terbitnya peraturan desa yang mengatur prosedur dan mekanisme penanganan masalah dan konflik dalam pengelolaan kawasan |
Pengembangan Jaringan Pengelolaan Kawasan
Di awal penetapan kawasan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu, jaringan pengelolaan kawasan melibatkan beberapa komponen penting yaitu pengelola di tingkat desa, WWF ID 0094, dan BAPPEDA Tingkat II Kabupaten Sarolangun Bangko. Jaringan pengelolaan ini terpola karena adanya aspek kepentingan masing-masing yang terkait. Pengelola di tingkat desa secara murni dihadapkan pada aspek kepentingan untuk mengelola kawasan karena merupakan salah satu asset desa yang harus dipertahankan. Sedangkan pihak WWF ID 0094 dinilai terkait dengan kepentingan pelaksanaan Program ICDP TNKS dimana salah satu site-nya adalah Desa baru Pangkalan Jambu yang merupakan salah satu pula desa yang ditetapkan sebagai kawasan penyangga TNKS. Sementara pihak BAPPEDA Tingkat II Sarolangun Bangko dinilai terkait dengan kepentingan Pemerintah Daerah untuk menginisiasi program pengelolaan hutan adat desa.
Jaringan semacam ini sifatnya temporer dan setelah masing-masing kepentingan tercapai maka jaringan itupun mengalami stagnan. Proses pembinaan yang dilakukan oleh WWF ID 0094 mengalami stagnan setelah berakhirnya program ICDP TNKS yang difasilitasinya, sama halnya dengan keberadaan pihak BAPPEDA Tingkat II Kabupaten Sarolangun Bangko yang proses pembinaannya juga mengalami stagnasi setelah penyusunan model keruangan kawasan berakhir.
Dalam pengelolaan kawasan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu diperlukan suatu konstruksi jaringan pengelolaan yang luas dan mampu terpola secara jangka panjang. Alasannya adalah bahwa pengelolaan kawasan hutan adat merupakan salah satu model perlindungan sumberdaya yang perlu dikembangkan dan menjadi kebutuhan banyak pihak. Oleh sebab itu, pada tatanan desa khususnya organisasi pengelola sudah harus mampu menjalin hubungan kerjasama dengan berbagai pihak dalam mengelola kawasan. Kebutuhan kerjasama ini bermuara dari aspek upaya meningkatkan pengelolaan kawasan yang tidak hanya berwujud sebagai kawasan perlindungan tetapi juga mampu berfungsi untuk mengembangkan aktivitas-aktivitas yang memberikan kontribusi terhadap desa secara umum.
Berangkat dari kondisi tersebut maka dalam pengelolaan kawasan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu, perlu dikembangkan model jaringan pengelolaan yang melibatkan beberapa komponen menurut kepentingan pengembangan kawasan yang meliputi :
- Komponen Pemerintah Daerah dalam hal legalisasi keberadaan kawasan.
- Komponen Unit Pelaksana Teknis TNKS dalam hal keberadaan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu sebagai bagian kawasan penyangga TNKS.
- Perguruan Tinggi dalam pengembangan studi dan penelitian di bidang pengelolaan sumberdaya alam.
- Lembaga Swadaya Masyarakat dalam mengembangkan mitra kerja pengelolaan kawasan
- Lembaga donor dalam mendanai program-program pengelolaan kawasan
Berdasarkan hal tersebut, dalam upaya membangun jaringan pengelolaan ini maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut :
- Membangun komitmen bersama atas dukungan dalam pengelolaan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu.
- Pengembangan kader fasilitator desa dan pemandu wisata alam lokal (local ecotourism guide.
Sebagai wujud implementasi dari upaya-upaya tersebut di atas dapat diformulasikan beberapa kegiatan sebagai berikut :
No | Jenis Kegiatan | Tujuan | Strategi | Output |
1 | Mengadakan pertemuan pengelolaan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu | Membangun komitmen dan kerjasama serta pembagian peran dalam mendukung pengelolaan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu | Workshop dan konsultasi publik | Terbangunnya jaringan pengelolaan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu |
2 | Pendidikan kader fasilitator desa | Membentuk kader fasilitator desa yang dapat memfasilitasi pihak-pihak yang akan melakukan aktivitas penelitian dan konservasi di kawasan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu | Penyusunan modul pelatihan dan pelaksanaan pelatihan kader fasilitator desa | Adanya fasilitator desa yang memiliki kapasitas untuk memfasilitasi pelaksanaan kegiatan penelitian dan konservasi dalam kawasan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu |
3 | Pendidikan kader pemandu wisata alam lokal | Membentuk kader pemandu wisata alam lokal yang dapat memandu turis-turis domestik maupun asing yang berkunjung ke kawasan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu | Penyusunan modul pelatihan dan pelaksanaan pelatihan kader pemandu wisata alam lokal | Adanya kader pemandu wisata alam lokal yang mampu memandu turis-turis domestik maupun asing yang berkunjung ke kawasan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu |
Pengembangan Media Komunikasi dan Informasi
Kawasan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu kaya akan keanekaragaman jenis sumberdaya alam hayati yang meliputi flora dan fauna dan menarik untuk pengembangan kegiatan-kegiatan penelitian dan wisata alam. Hal ini menjadi tidak tersosialisasi mengingat penanganan aspek informasi dalam pengelolaan kawasan yang masih terbatas dan dapat dikatakan tidak ada sama sekali. Oleh sebab itu dalam konteks peningkatan pengelolaan kawasan, aspek pengembangan media komunikasi dan informasi berkenaan dengan kawasan Hutan Adat Desa Baru Pangakalan Jambu menjadi penting keberadaannya. Dalam konteks pengembangan dimaksud, beberapa hal yang perlu dilakukan adalah :
- Dokumentasi informasi berkenaan dengan seluruh aspek yang terkait dengan keberadaan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu.
- Pengadaan media yang mampu berfungsi sebagai pusat komunikasi dan informasi yang berkenaan dengan keberadaan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu.
- Peningkatan kapasitas pengelolaan informasi pengelolaan kawasan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu.
Sebagai wujud implementasi dari upaya-upaya tersebut di atas dapat diformulasikan beberapa kegiatan sebagai berikut :
No | Jenis Kegiatan | Tujuan | Strategi | Output |
1 | Penyusunan buku tentang pengelolaan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu | Menghimpun semua informasi yang berkaitan dengan pengelolaan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu dan menjadikannya sebagai sebuah bahan mata ajar dalam kurikulum muatan lokal | Mengkonsultasikan lay out dan muatan-muatan buku kepada beberapa steakholder | Adanya satu buku yang memuat semua informasi yang berkaitan dengan pengelolaan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu |
2 | Pembuatan film tentang pengelolaan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu | Mensosialisasikan keberadaan pengelolaan kawasan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu melalui media elektronik | Penyusunan naskah dan pengambilan gambar di lapangan | Adanya satu paket informasi pengelolaan kawasan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu dalam bentuk tayangan film / compact disk. |
3 | Pembentukan sanggar pembelajaran bersama pengelolaan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu | Memberikan wadah dimana setiap pihak dapat memperoleh informasi dan mempelajari model pengelolaan kawasan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu | Menetapkan lokasi yang mudah diakses semua pihak dan mengkoleksi informasi yang berkenaan dengan pengelolaan kawasan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu | Adanya sanggar pembelajaran bersama pengelolaan kawasan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu |
4 | Pendidikan manajemen informasi dan media komunikasi | Memberikan pembekalan bagi pengelola informasi dalam mengelola informasi berkenaan dengan kawasan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu | Menyusun modul pelatihan dan melaksanakan pelatihan manajemen informasi dan media komunikasi | Adanya kader yang mampu mengelola informasi dan media komunikasi pengelolaan kawasan Hutan Adat Desa Baru Pangkalan Jambu secara baik |
POLA KERUANGAN KAWASAN HUTAN ADAT DESA
- Hasil Rekonstruksi Menyepakati Bahwa Hutan Adat Desa Perlu Dibagi Kedalam Ruang, Sesuai Dengan Fungsinya.
- Pola Ruang Hutan Adat Desa Terbagi Kedalam:
- Ruang Perlindungan : Berguna Mempertahankan Fungsi Konservasi Dan Fungsi Sosial.
- Ruang Penyangga Lindung: Berguna Memberi Dukungan Terhadap Keberadaan Ruang Perlindungan Untuk Mempertahankan Fungsinya.
- Ruang Pemanfaatan: Bergunan Mempertahankan Fungsi Sosial Ekonomi.
- Ruang Penyangga: Berguna Memberi Dukungan Terhadap Kelestaian Fungsi Hutan Desa.
Ketentuan Dalam Penentuan Ruang Hutan Desa :
- Ruang Perlindungan:
- Daerah Hulu Sungai
- Daerah Pinggir / Bantalan Sungai.
- Daerah Keramat
- Daerah Lintasan / Inum Satwa
- Daerah Habitat Tanaman Langka
- Ruang Penyangga Lindung
- Jarak Ruang Penyangga Lindung Dari Ruang Perlindungan Disesuaikan Menurut Kondisi Peta
- Pada Daerah Ruang Penyangga Lindung Ini, Masyarakat Dapat Memanfaatkan Hasil Hutan Non-Kayu.
- Ruang Pemanfaatan
- Daerah Selain Ruang Lindung Dan Ruang Penayngga Lindung Adalah Ruang Pemanfaatan.
- Pada Ruang Pemanfaatan Ini Masyarakat Dapat Memanfaatkan Hasil Hutan Non-Kayu Dan Kayu Untuk Kebutuhan Bersama Masyarakat Desa.
- Ruang Penyangga.
- Ruang Penyangga Adalah Daerah Yang Memiliki Interaksi Secara Ekologis Dengan Hutan Desa.
- Ruang Penyangga Ini Ditetapkan Sesuai Dengan Kondisi Fisik Kawasan.
- Tidak Ada Perubahan Hak Kelola Ataupun Hak Milik Pada Ruang Penyangga Ini.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hutan adalah sumberdaya alam yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai fungsi sangat penting untuk pengaturan tata air, pencegahan bahaya banjir dan erosi, pemeliharaan kesuburan tanah dan pelestarian lingkungan hidup, sehingga untuk dapat dimanfaatkan secara lestari, hutan harus dilindungi dari kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit (Anonim, 1992). Hasil studi dari foto satelit yang dilakukan pemerintah pada tahun 1982 menunjukkan bahwa tutupan hutan Indonesia (forest coverage) adalah 119,3 juta hektar (RePPProT, 1990). Sementara itu, Citra Satelit yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan menunjukkan luas tutupan hutan tahun 1993 sebesar 92,4 juta Hektar (termasuk hutan bekas tebangan HPH), dengan kawasan hutan tetap yang tidak berhutan seluas 20,6 juta Hektar. Dengan demikian maka laju deforestasi dari tahun 1982 sampai 1993 adalah sebesar 2,4 juta hektar pertahun. Angka deforestasi tahunan ini jauh melebihi deforestasi yang diduga oleh Departemen Kehutanan dan FAO, yakni seluas 900 ribu hingga 1,3 juta hektar pada tahun 1990, dan lebih tinggi dari rata-rata laju deforestasi hutan tropik di seluruh dunia yang hanya 987 ribu hektar pertahunnya (WALHI, 1999).
Di sisi lain perubahan hutan tropis ke bentuk penggunaan lahan untuk kepentingan pertanian terus berlangsung. Berdasarkan data statistik, untuk periode 1984 – 1995 luas hutan di pulau Sumatera mengalami penurunan sebesar 1,2% pertahun (BPS 1985, 1990, 1991, dan 1996). Sementara itu dari sumber yang sama, pertumbuhan lahan pertanian pertahun pada periode yang sama adalah 1,4% (Budidarsono S, 1999). Di samping itu peristiwa kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1992, 1997, 1998, dan 1999 juga berdampak berkurangnya luas hutan tropis dalam skala besar, khususnya di Sumatera dan Kalimantan. Berdasarkan siaran Bulletin malam RCTI pada tanggal 4 Agustus 1999 disebutkan bahwa di Sumatera terdapat 341 titik api.
Untuk Provinsi Jambi, data yang dikeluarkan oleh Bapedalda Jambi dinyatakan bahwa terdapat sebanyak 19 titik api di Provinsi Jambi pada tahun 1999. Hal ini menunjukkan bahwa hutan sebagai sumberdaya alam yang banyak diakses terutama oleh masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan semakin terancam kelestariannya dan setiap saat kawasan hutan terus mengalami pengurangan luas. Laju penurunan ketersediaan sumberdaya hutan merupakan satu kerangka untuk mengantar ke arah dan upaya memikirkan keberadaan sumberdaya alam lainnya.
Dalam kenyataannya pembicaraan mengenai pengelolaan sumberdaya alam khususnya kawasan hutan seringkali hanya menjadi wacana di tingkat permukaan (dengan bukti kecilnya perbandingan antara konsep/model yang dibangun dengan implementasi di lapangan) dan jarang mengakar pada tatanan basis yaitu masyarakat. Memang diakui sudah banyak konsep pengelolaan sumberdaya alam yang mengedepankan partisipasi masyarakat namun belum mampu menjawab persoalan laju penurunan baik dari aspek kuantitas maupun kualitas sumberdaya alam dimaksud. Hal ini disebabkan model-model atau konsep-konsep pengelolaan sumberdaya alam seringkali kesulitan dalam mendefinisikan masyarakat dan tidak tersosialisasi karena biasanya hanya melibatkan sebagian kecil masyarakat dimaksud.
Keadaan sebagaimana dikemukakan di atas semakin menuntut upaya-upaya pengelolaan hutan sebagai basis sumberdaya alam yang mampu menunjang keberlanjutan ketersediaan sumberdaya alam dimaksud. Ke depan upaya perlindungan dan pengelolaan hutan khususnya dan sumberdaya alam umumnya yang menjamin kelestarian semakin diperlukan dan merupakan suatu keharusan guna mengantisipasi kelangkaan sumberdaya alam yang dapat mengakses kebutuhan terutama bagi masyarakat lokal yang masih bertumpu dari ketersediaan sumberdaya alam dimaksud.
Dalam konteks ini dibutuhkan bangunan mekanisme yang mudah dipahami dan memungkinkan untuk diimplementasikan oleh masyarakat lokal di dalam pengelolaan sumberdaya alam dan bangunan mekanisme tersebut harus dirancang bersama oleh masyarakat lokal – bukan kalangan pengembang – yang di dalamnya terdapat korelasi antara kebijakan pemerintah – yang sering bertumpu pada kepentingan pembangunan – dengan upaya menumbuhkan partisipasi masyarakat terutama yang bermukim di sekitar kawasan sumberdaya alam.
Upaya pengelolaan bersama sumberdaya alam oleh masyarakat lokal mestilah direncanakan oleh seluruh komponen masyarakat lokal dan berangkat dari model-model yang mereka miliki untuk selanjutnya secara bersama-sama pula mereka merekonstruksi model pengelolaan yang berorientasi kebutuhan sekarang dan di masa yang akan datang. Untuk itu upaya memulai pembelajaran bersama menjadi penting keberadaannya bagi masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya alam secara mandiri dan difahami.
Pengelolaan sumberdaya alam yang melibatkan partisipasi masyarakat secara langsung diyakini akan dapat diwujudkan jika gagasan pengelolaan sumberdaya alam dibangun secara bersama oleh masyarakat sasaran. Terbukti sudah banyak konsep alternatif pengelolaan sumberdaya alam terutama kawasan hutan yang berbasis masyarakat yang ditawarkan untuk menjawab kebutuhan di atas namun dalam operasionalnya ternyata belum mampu menumbuhkan partisipasi masyarakat secara maksimal. Pengertian partisipasi masyarakat disini harus diartikan secara luas yang meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi.
Masyarakat sudah sejak lama memiliki kaidah-kaidah dan kearifan-kearifan dalam mengelola sumberdaya alam. Kearifan-kearifan tradisional masyarakat lokal yang sampai sekarang masih dapat kita lihat adalah berupa adanya kawasan-kawasan yang dilindungi dan sistem-sistem pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya alam yang memperhatikan keseimbangan dan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam hutan. Kearifan tradisional tersebut berupa hutan larangan/adat desa, hutan lindung desa, lubuk larangan, tanaman/satwa yang dilindungi, perlindungan mata air/hulu sungai, sistem adat dalam pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya alam hutan dan sanksi-sanksi pelanggarannya, dan lain-lain.
Masalahnya adalah seringkali kaidah-kaidah dan kearifan dimaksud tertindas oleh kebijakan pemerintah yang berorientasi terhadap kepentingan pembangunan yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat lokal. Selain itu pola-pola pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat lokal sering tidak tersosialisasi sehingga proses penemuan kembali menjadi penting untuk dilakukan.
Berdasarkan hasil inventarisasi dan identifikasi terhadap praktek pengelolaan sumber daya alam di Provinsi Jambi terdapat berbagai model pengelolaan sumberdaya alam yang berorientasi terhadap konservasi sumberdaya alam yang dilakukan oleh masyarakat lokal yang sudah mentradisi secara turun-temurun seperti Hutan adat, Hutan Lindung Desa, Lubuk Larangan, Hutan Rakyat, Kawasan Lindung Rawa dan Kawasan Plasma Nutfah Lokal.
Dalam prakteknya ternyata masyarakat lokal mengalami berbagai masalah. Masalah yang paling umum dihadapi adalah tidak adanya aspek legalitas untuk sumberdaya alam dalam wilayah kelola masyarakat lokal. Hal ini berdampak munculnya kasus perampasan hak kelola masyarakat lokal oleh pengusaha (HPH, HTI, Perkebunan sawit dan kawasan hutan negara) yang nota bene mengantongi izin resmi dari pemerintah.
Masalah lain yang muncul yang sebenarnya merupakan manifestasi dari masalah pertama di atas adalah masalah keterdesakan dalam mengakses kebutuhan yang bertumpu dari ketersediaan sumberdaya alam yang produk akhirnya adalah munculnya kompetisi dalam pengelolaan sumberdaya alam (berebut hasil hutan, klaim atas kawasan hutan, dan sebagainya baik antar warga maupun warga dengan perusahaan. Semakin sempitnya ruang gerak masyarakat lokal dalam mengakses sumberdaya alam karena wilayah kelolanya semakin dikelilingi oleh kwawasan HPH, HTI, Perkebunan sawit dan kawasan hutan lindung negara juga mengharuskan masyarakat lokal memanfaatkan sumberdaya alam secara maksimal dan seringkali untuk mencapai tujuan-tujuan ini masyarakat lokal meninggalkan kearifan-kearifan yang dulu diterapkan.
Untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam yang lestari dan berkelanjutan oleh masyarakat lokal tersebut sangat diperlukan media dimana semua komponen masyarakat merasa memiliki dan media tersebut dapat berfungsi sebagai tempat melakukan pembelajaran bersama, mulai dari tahap meramu gagasan sampai membangun pola yang oleh masyarakat diyakini mampu menjawab kebutuhan saat sekarang maupun dimasa mendatang.
Atas dasar uraian tersebut di atas maka untuk merumuskan pola pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis masyarakat, penting dilakukan kegiatan “Pembelajaran Bersama Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam” yang berangkat dari kaidah-kaidah dan kearifan-kearifan yang dimiliki oleh masyarakat lokal itu sendiri dalam mengelola sumberdaya hutan dan sumberdaya alam lainnya untuk selanjutnya dipadukan dengan cara-cara baru yang memungkinkan untuk diadopsi yang mengarah pada upaya rekonstruksi dan implementasi.
Dalam memulai dan mewujudkan proses belajar masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya ini dilakukan pemilihan fokus site Desa Telentam sebagai fokus pengelolaan Lubuk Larangan dan Desa Baru Pangkalan Jambu sebagai fokus pengelolaan hutan adat.
Alasan pemilihan fokus site program di Desa Pangkalan Jambu dan Desa Telentam diatas adalah :
- Kedua desa tersebut memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya alam hutan (Hutan Adat) dan sumberdaya alam sungai (Lubuk Larangan).
- Kedua desa tersebut mengalami ancaman internal (eksploitasi) dan eksternal (HPH, Pertambangan, dan Kebijakan Tata Batas Kawasan Hutan Lindung/Negara) terhadap keberlangsungan kelestarian sumberdaya alam hutan dan sungai.
Kedua desa tersebut kondisi sosial budaya masyarakatnya telah dikenal oleh lembaga (PRAKARSA MADANI) melalui interaksi dengan masyarakat sebelumnya.
1.2. Permasalahan Pengelolaan Sumberdaya Alam Di Daerah SIte Program
1.2.1. Hutan Adat Di Desa Baru Pangkalan Jambu
Penyerahan kawasan hutan adat pada tahun 1993 yang memiliki potensi keragaman hayati itu masih setengah hati. Sebab tidak semua hutan adat yang diserahkan menjadi kewenangan masyarakat adat untuk mengelola dan mengawasi, dikemudian hari kawasan hutan adat tersebut ditarik kembali oleh kekuatan hegemoni negara, sesuai dengan tata batas defenitif TNKS yang dikeluarkan Juni 1995, dari luas kawasan hutan adat 792 hektar, seluas 745 hektar masuk dalam kawasan Taman Nasional dan hanya 47 hektar berada diluar kawasan Taman Nasional.
Pemancangan tata batas baru TNKS ini menimbulkan permasalahan bagi masyarakat adat Desa Pangkalan Jambu khususnya mengenai luas kawasan hutan adat yang menjadi berkurang disatu pihak, dipihak lain masyarakat kehilangan kawasan hutan yang selama ini digunakan untuk mencari hasil hutan non kayu seperti madu, rotan dan lain-lain yang pada faktanya sumber matapencaharian alternatif mereka disaat matapencaharian utama mereka bersawah dan berkebun kopi, karet, dan kulit manis tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Permasalahan tata batas wilayah desa dan batas Taman Nasional Kerinci Seblat di Desa Pangkalan Jambu sampai saat ini belum dapat diselesaikan secara partisipatif dan demokratis, bagi pihak TNKS persoalan dianggap selesai tetapi bagi pihak masyarakat desa tidak dapat berbuat apa-apa dan hanya pasrah karena sudah keputusan pemerintah walaupun secara adat mereka telah kehilangan wilayah ulayatnya.
Akibat “kelalaian” dalam tata batas (zonasi), pengelolaan dan pengamanan hutan adat menjadi dilematis, yang berada dalam taman merupakan kewenangan Balai TNKS, dan yang di luar taman oleh masyarakat adat. Sudah menjadi rahasia umum, pihak balai TNKS punya keterbatasan dalam mengamankan hutan dari kegiatan penebangan illegal, sementara masyarakat menjadi rendah rasa kepemilikan terhadap kawasan sehingga mereka menjadi acuh terhadap kelestarian kawasan tersebut.
Dampaknya sebagian besar kawasan hutan adat ditebangi secara liar, terutama oleh masyarakat dari luar yang dibekengi oknum aparat keamanan. “Kami tidak bisa mempertahankan hutan adat kami, karena pengamanan yang berada di dalam taman merupakan kewenangan pihak Balai TNKS”, ungkap seorang tokoh adat Desa Baru Pangkalan Jambu.
1.2.2. Lubuk Larangan Di Desa Telentam
Issue yang menarik sehubungan dengan pengelolaan Lubuk Larangan adalah menyangkut aspek upaya perlindungan species endemik (plasma nutfah) dan aspek pengelolaannya. Di daerah aliran sungai khususnya Batang Tabir dan beberapa sub DAS Batang Tabir terdapat jenis ikan species endemik yang semakin terancam dari kepunahan, nama ikan ini adalah Ikan Semah (nama lokal). Namun kelestarian kawasan lubuk larangan dan keragaman hayati yang dimilikinya mendapat tekanan dari faktor internal dan ekternal masyarakat Desa Telentam.
Ancaman dari dalam berupa tindakan eksploitasi yang tidak diiringi dengan upaya membudidayakan sehingga lama-kelamaan keberadaan species endemik semakin dirasakan kelangkaannya. Ancaman dari luar berupa adanya tekanan pengelolaan sumberdaya yang berhubungan dengan keberadaan habitat jenis species endemik dimaksud yaitu DAS Batang Tabir dengan adanya aktivitas keberadaan perusahaan pemegang hak konsesi HPH yang beroperasi di sekitar hulu sungai dan rencana Pemerintah Daerah Propinsi Jambi dan Kabupaten Merangin yang merencanakan pembukaan tambang marmer di bagian hulu DAS Batang Tabir.
Dengan adanya ancaman aktivitas HPH dan rencana pertambangan marmer ini keberadaan sumber daya alam perairan Sub DAS Batang Tabir khususnya kawasan lubuk larangan menjadi terancam.
Dampaknya adalah salah satu sumber alternatif mata pencaharian masyarakat Desa Telentam akan terganggu. Terganggunya sumber matapencaharian ini akan menimbulkan tekanan kepada masyarakat untuk mencari sumber matapencaharian lain yang paling mudah adalah melakukan penebangan hutan dengan mengeksploitasi kawasan hutan yang berada dalam wilayah desa.
Persoalan ini sebenarnya tidak hanya menyangkut keberadaan species endemik dimaksud tetapi termasuk di dalamnya dengan keberadaan beberapa sumberdaya alam lainnya yang sebenarnya mampu berfungsi dalam mensuplai pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar seperti perkebunan dan persawahan, hasil hutan non kayu serta kawasan hutan dalam wilayah Desa Telentam.
Upaya-upaya masyarakat untuk mempertahankan keberadaan species endemik dimaksud, diwujudkan dalam bentuk perlindungan terhadap teritori yang menjadi habitat yang dikelola secara tradisional (Lubuk Larangan). Orientasi perlindungan lubuk larangan pada saat ini hanya untuk kepentingan menghimpun dana pembangunan desa dari hasil yang diperoleh setiap kali panen besar dilakukan.
Dengan pola yang seperti ini keberadaan lubuk larangan tidak menyentuh kepentingan ekonomi masyarakat secara langsung. Dampak dari pola ini menyebabkan rasa memiliki masyarakat terhadap kelestarian lubuk larangan menjadi rendah, hal ini ditunjukkan dari sikap mereka yang acuh terhadap berbagai ancaman dan tekanan dari luar seperti aktifitas HPH dan rencana pertambangan batu bara yang pada faktanya aktivitas tersebut dapat merusak kelestarian lubuk larangan.
Kondisi diatas seharusnya tidak perlu terjadi, jika pengelolaan lubuk larangan hanya untuk mengedepankan kepentingan aspek konservasi semata, sebaliknya diyakini dukungan masyarakat akan muncul jika pengelolaan lubuk larangan dikaitkan dengan kepentingan ekonomi masyarakat.
Dari aspek ekonomi, lubuk larangan tersebut memiliki potensi untuk menjadi sumber matapencaharian alternatif bagi masyarakat dengan dikelola secara komersial sebagai salah satu kegiatan alternatif badan usaha milik desa yang dapat menyalurkan modal untuk kegiatan ekonomi lain bagi masyarakat, misalnya dana hasil panen lubuk larangan dijadikan modal untuk pengembangan usaha ekonomi produktif bagi masyarakat desa.
1.3. Tujuan
Program Pembelajaran Bersama Pengelolaan Sumberdaya Alam Oleh Masyarakat Lokal yang dilaksanakan di Desa Baru Pangkalan Jambu Kecamatan Sungai Manau dan Desa Telentam Kecamatan Tabir Ulu Kabupaten Merangin bertujuan :
- Membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya suatu mekanisme baru (kontrak sosial) dalam mengatasi berbagai permasalahan pengelolaan sumber daya alam yang dihadapi melalui proses belajar bersama.
- Meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan sumberdaya alam dengan meningkatkan pendapatan dengan memperhatikan aspek kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya alam.
1.4. Strategi Dalam Implementasi Program Proses Pembelajaran
Mencapai tujuan, Program Pembelajaran Bersama ini memuat beberapa strategi dalam pelaksanaannya, antara lain :
- Identifikasi Kebutuhaan dan Strategi Pemecahan Masalaha, masing-masing bersama dengan jaringan para pemangku kepentingan yang mempunyai komitmen untuk mendukung pengelolaan SDA secara lestari dan berkelanjutan. Kebutuhan akan diseleksi selama persiapan proyek, diikuti dengan pengembangan kriteria penentuan prioritas kebutuhan, pengumpulan informasi dan konsultasi. Kemampuan dan pengalaman yang dimiliki oleh lembaga dalam pengembangan masyarakat, advokasi, keanekaragaman hayati, konservasi, analisa sosial dan kelembagaan akan digabungkan dengan data penggunaan lahan dan kawasan hutan, dan informasi pemanfaatan SDA, tingkat kemiskinan/pendapatan, dan kapasitas masyarakat lokal guna memperoleh gambaran lokasi proyek yang memiliki potensi besar untuk konservasi kawasan sumber daya alam melalui pemberdayaan dan pelibatan masyarakat lokal.
Aktivitas ini dilakukan untuk mendapatkan mandat masyarakat sekaligus mengetahui peluang, kendala dan pola/model Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) yang ada dan atau yang akan dibangun serta bahan pembanding pada kegiatan studi banding. Komponen dasar yang akan digali adalah struktur issue dan problem serta kondisi sosial ekonomi terkini.
- Proses Diskusi dan Konsultasi untuk melengkapi hasil kajian site dan strategi peningkatan kapasitas masyarakat lokal dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik dan menjalin sinergi dengan lembaga atau proyek konservasi dan pengembangan hutan berbasis masyarakat. Kebutuhan peningkatan kapasitas lembaga maupun para pemangku kepentingan lokal sangat diharapkan melibatkan masyarakat lokal mulai dari tingkat perencanaan, implementasi dan keberlanjutan program.
- Pengorganisasian dan Pemberdayaan Masyarakat Lokal pengguna SDA untuk melakukan negosiasi yang efektif dengan pemangku kepentngan lainnya, proyek bermaksud untuk mendukung masyarakat lokal di site program yang mempunyai ketertarikan dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan dengan menghubungkan mereka untuk berjaringan dengan pihak-pihak yang mempunyai ketertarikan yang sama, menyediakan informasi dan pelatihan, dan mendukung mereka untuk melakukan lobi dan advokasi. Dalam proses persiapan proyek pertanyaan kunci yang akan dijawab adalah ketidakberdayaan pemangku kepentingan lokal karena mereka mempunyai kelemahan dalam hal informasi, lemahnya pengalaman mengefektifkan pemanfaatan informasi yang diperoleh dan lemahnya dalam hal menyusun agenda politik dan ekonomi mereka sehingga mengalami banyak kendala dalam hal memperjuangkannya dengan cara yang lebih efektif dan strategis.
- Pengelolaan Kawasan Konservasi (Hutan Adat dan Lubuk Larangan), Proyek akan mengembangkan strategi untuk mengintegrasikan kebutuhan masyarakat lokal kedalam perencanaan dan pengelolaan serta pemeliharaan fungsi konservasi dari keanekaragamanhayati serta peningkatan mutu pelayanan lingkungan. Ini merupakan hal penting yang harus dipenuhi oleh pengelola kawasan SDA untuk mencapai sasaran proyek dalam jangka panjang.
- Peningkatan kapasitas dan Penguatan jaringan institusi pemangku kepentingan lokal dan lembaga mitra lokal, proses proyek akan mengidentifikasi kelompok/anggota jaringan konservasi yang potensial. Kemudian akan dilakukan peninjauan kembali prakarsa dan kebutuhan pembangunan yang telah disepakati atau dilakukan melalui proses yang partisipatif. Peningkatan kapasitas diarahkan kepada lembaga pelaksana dan kebutuhan pemangku kepentingan lokal dengan melibatkan mereka dalam proses perencanaan, pengelolaan proyek dan pengelolaan keuangan, disamping itu juga dilakukan kegiatan fasilitasi untuk mendukung pemangku kepentingan lokal dalam menganalisis kondisi lingkungan sosial politik mereka untuk mengidentifikasi peluang dan melakukan kerja-kerja advokasi. Pengembangan program juga akan mengidentifikasi dan membangun kontrak sosial baru bagi para pemangku kepentingan lokal di setiap lokasi proyek yang mana secara bersama mereka juga akan terlibat dalam merencanakan dan melaksanakan proyek dan dalam jangka panjang mereka akan mampu melakukan advokasi secara mandiri ketika proyek berakhir.
1.5. Hasil (Outcome) Program Yang Diharapkan
Beberapa hasil yang diharapkan di akhir pelaksanaan program adalah :
- Terjaganya kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya alam khususnya hutan dan sungai di wilayah kelola masyarakat Desa Pangkalan Jambu dan Desa Telentam.
- Kesejahteraan masyarakat di Desa Pangkalan Jambu dan Desa Telentam mengalami peningkatan.
- Berkurangnya eksploitasi dan konflik pengelolaan sumberdaya alam di Desa Pangkalan Jambu dan Desa Telentam.
1.6. Aktivitas Program
Untuk mencapai tujuan program pembelajaran bersama masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam maka aktifitas program yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :
- Pemetaan Partisipatif
Pemetaan Partisipatif merupakan suatu metode pembuatan peta yang menggabungkan peta-peta modern dengan peta-peta mental tata ruang tradisional yang dimiliki oleh masyarakat adat (Sirait, 1996). Secara filosofis, peta hanya merupakan alat penunjuk wilayah sebagai “ Sumber Daya Kewenangan” yang dipakai oleh pembuatnya, maka memindahkan ketrampilan pemetaan kepada masyarakat lokal merupakan alat perangsang untuk memotifasi masyarakat agar lebih peduli terhadap lingkungan hutan disekitar tempat mereka tinggal dan menyeimbangkan fungsi umum Sumber Daya Hutan.
Oleh karena itu pemetaan partisipatif yang melibatkan masyarakat lokal secara utuh, merupakan proses transfer teknologi yang memberikan kewenangan kepada mereka untuk menyampaikan sudut pandang tentang wilayah dan sistem pengelolaan sumber daya alam kepada pemerintah. Pemetaan oleh masyarakat juga termasuk upaya konservasi atau proteksi terhadap masyarakat adat atas wilayah mereka dari berbagai kemungkinan pemanfaatan dan eksplotasi yang tidak mempertimbangangkan kepentingan masyarakat itu sendiri.
Kegiatan pemetaan partisipatif sebagai jawaban dari permasalahan tata batas Taman Nasional dan tata batas tanah ulayat masyarakat Desa Pangkalan Jambu, dengan adanya peta yang dibuat secara partisipatif dapat dijadikan alat negosiasi masyarakat kepada para pihak (stakeholders) yang memiliki berbagai kepentingan terhadap wilayah yang sama.
Adapun tujuan dari pemetaan partisipatif ini adalah membantu masyarakat dalam memecahkan persoalan tata batas tanah ulayatnya dengan memadukan sistem modern dengan sistem tradisional, dan menciptakan landasan yang kuat bagi kebijakan yang lebih memberikan peluang pemanfaatan sumber daya hutan kepada masyarakat lokal, sebagai suatu kesatuan antara pemerintah dan masyarakat dalam pemecahan persoalan yang menyangkut atas wilayah tertentu.
Tahapan kegiatan pemetaan partisipatif dilakukan terlebih dahulu dilakukan musyawarah tokoh adat (MUSTODAT) yang dihadiri oleh tokoh adat desa yang akan melakukan pemetaan dan tokoh adat desa-desa yang berbatasan dengan secara langsung. Musyawarah Tokoh Adat desa ini bertujuan untuk saling memberi informasi tentang titik batas antara desa masing-masing sesuai dengan sejarah dan bukti-bukti batas desa baik berupa peta marga, peta kolonial Belanda maupun berdasarkan pepatah adat desa masing-masing.
Setelah kegiatan MUSTODAT kemudian dilakukan kegiatan pelatihan pengenalan dan cara menggunakan alat serta teknik pengambilan titik batas bagi wakil-wakil masyarakat yang akan terlibat langsung dalam melakukan kegiatan pemetaan dilapangan. Kegiatan selanjutnya adalah melakukan pengambilan titik batas dilapangan oleh Tim Pemetaan yang terdiri dari masyarakat dan staff lembaga.
Setelah kegiatan pengambilan titik batas selesai dimulailah penggambaran peta dengan memindahkan titik batas yang diambil dengan menggunakan GPS. Kegiatan penggambaran dan finishing peta dilakukan di Jambi yang dilakukan secara bersama oleh staff lembaga dan utusan masyarakat.
Peta yang telah diselesaikan kemudian dijadikan alat untuk melakukan negosiasi ke berbagai pihak baik itu dengan masyarakat antar desa, Balai TNKS, dan pemerintah. Hasil negosiasi ini kemudian dilakukan revisi terhadap peta sesuai dengan kesepakatan berbagai pihak yang berkepentingan.
Kegiatan akhir setelah revisi peta adalah pengesahan peta yang dilakukan oleh berbagai pihak dari level pemerintahan desa, tokoh adat, Balai TNKS atau instansi teknis sampai kepada level pemerintahan kabupaten (Bupati).
Kegiatan pemetaan partisipatif akan dilakukan di dua desa focal point yaitu Desa Pangkalan Jambu dan Desa Telentam.
- Studi Aksi secara Partisipatif
Studi aksi partisipatif adalah studi yang dilakukan dengan melakukan dialog dan belajar bersama dengan masyarakat dimana dalam studi ini masyarakat tidak hanya sebagai objek studi melainkan merupakan subjek (pelaku) studi itu sendiri.
Studi ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran potensi, peluang, permasalahan serta kebutuhan masyarakat dan kapasitas lokal dalam penyelesaian permasalahan yang terjadi di komunitas mereka.
Studi dilakukan dengan teknik Focus Group Diskusi (FGD), Konsultasi, Indepth Interview serta pengumpulan data sekunder (monografi desa, kecamatan dan kabupaten).
Kegiatan studi aksi ini akan dilakukan di dua desa focal point yaitu Desa Pangkalan Jambu Kecamatan Sungai Manau dan Desa Telentam Kecamatan Tabir Ulu.
- Lokakarya Desa.
Lokakarya Desa merupakan forum stakeholders desa melihat, memaparkan, mengklarifikasi dan saling tukar informasi secara bersama tentang hasil-hasil dari kegiatan pemetaan partisipatif dan studi aksi partisipatif.
Dari hasil diskusi forum multi stake holders desa ini kemudian dilakukan analisa bersama tentang kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman serta kemampuan sumberdaya yang dimiliki masyarakat. Lokakarya dilakukan untuk menyusun strategi aksi bersama guna menjawab permasalahan bersama serta komitment (kontrak sosial) baru dalam pengelolaan sumber daya alam yang lestari dan berkelanjutan.
Kegiatan ini dilakukan di dua desa focal point yaitu Desa Pangkalan Jambu Kecamatan Sungai Manau dan Desa Telentam Kecamatan Tabir Ulu. Peserta lokakarya adalah multi stake holders desa dan staff dari organisasi pelaksana program yang berperan sebagai fasilitator.
1.7. Keluaran (Output) Program Yang Ingin Dicapai
Keluaran atau output program Pembelajaran Bersama ini yang ingin dicapai antara lain :
- Adanya beberapa jenis peta antara lain : (1) peta tata batas wilayah ulayat, (2) peta tata batas wilayah desa, (3) peta pemukiman penduduk, (4) peta tata guna lahan, (5) peta tata ruang desa.
- Teridentifikasinya permasalahan dan kebutuhan, institusi, konflik, potensi sumber daya alam dan organisasi masyarakat sipil yang ada di masyarakat lokal yang menunjang pengembangan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan.
- Adanya kesepakatan mekanisme baru (kontrak sosial) dalam pengelolaan sumberdaya alam bersama oleh masyarakat lokal.
- Adanya rencana aktivitas bersama dalam mengelola sumberdaya alam yang lestari dan berkelanjutan.
Pak Jahari dilahirkan di Desa Baru Pangkalan Jambu. Usia beliau sewaktu Tim Studi datang ke Desa Baru Pangkalan Jambu lebih kurang 81 tahun, artinya beliau dilahirkan sekitar tahun 1922.
- Tahun 1933 – 1936 : Mengikuti Sekolah Desa (Sekolah Dasar Sekarang) dan menamatkan pendidikan Tahun 1936.
- Tahun 1937 : Melanjutkan sekolah di Kerinci. Dalam perjalanan mengikuti sekolah di Kerinci, sekitar Tahun 1940 tentara Jepang masuk ke wilayah Kerinci. Oleh karena itu beliau tidak bisa melanjutkan pendidikan di Kerinci karena situasi yang sangat kacau.
- Tahun 1941-1947 : Beliau kembali ke desa Baru Pangkalan Jambu dan pada waktu itu beliau sudah aktif membantu kepala kampung mengurusi administrasi pemerintahan kampung.
- Tahun 1949 : Beliau dipercaya menjabat Kepala Dusun Kampung IV (waktu itu Kampung IV terdiri dari kampung Bkit dan desa Baru Pangkalan Jambu. Pada tahun ini juga beliau dianugerahi gelar Depati Cahyo Negoro.
- Tahun 1951-1952 : Beliau masih menjabat sebagai kepala Dusun.
- Tahun 1953 : Beliau dipercaya menjabat sebagai Pejabat Sementara Pasirah yang waktu itu berkedudukan di desa Bukit Perentak.
- Tahun 1954-1960 : Kembali menjabat sebagai Kepala Dusun Kampung IV.
- Tahun 1960 : Menikah dengan isteri tercinta sekarang. Beliau sudah lama mengenal isterinya yakni sewaktu beliau di Kerinci. Pada saat agresi Belanda II, beliau juga dipercaya sebagai Komandan Staf Pertempuran gerilya. Saat itu isterinya diungsikan ke Muara Birun.
- Tahun 1960-1976 : Beliau masih memegang jabatan Kepala Dusun Kampung IV.
- Tanggal 10 Oktober 1976 : Keluar Surat Keputusan yang menempatkan beliau di kantor Pekerjaan Umum bagian Pengairan. Status ini diembannya sapai tahun 1996 dan menyerahkan pekerjaan ini kepada keponakan beliau yang bernama Soni Ardi (Putra Bapak Bustami).
- Tahun 1996 : Berakhir masa dinas di dinas Pekerjaan Umum.
Pak Jahari termasuk ke dalam personil yang ikut serta dalam proyek ICDP TNKS, pada bidang peningkatan ekonomi dan pengembangan sumberdaya. Tetapi setelah beberapa lama proyek ICDP berjalan, beliau tidak pernah diikut sertakan lagi baik dalam rapat-rapat yang membahas proyek ICDP maupun dalam rapat-rapat untuk pengambilan kayu HAD. Padahal dalam Kelompok Kerja Hutan Adat Desa BPJ, Pak Jahari yang bergelar Depati Cahyo Negoro juga merupakan penasehat dari HAD. Padahal jabatan Depati Cahyo Negoro ini selain diamanatkan menjadi pengawas atau pengontrol juga bertugas memberikan pertimbangan kepada BTS sebelum mengambil keputusan.
Ada dugaan bahwa pikiran-pikiran pak Jahari berseberangan dengan kelompok mayoritas pengambil keputusan dalam ICDP. Ungkapannya “mencik sikok pemukul banyak” adalah indikasi bahwa dugaan seperti yang dikemukakan di atas mendekati kebenaran.
Beliaupun menyadari bahwa jika beliau salah maka sudah sewajarnya diberitahu karena tadorong biaso disabuik, ta salah biaso disapo. Tetapi tidak ada satupun kanti yang memberitahu keteledoran beliau, kalau memang beliau salah. Tindakan Pak Jahari tinggal diam dalam persoalan ICDP dan dalam persoalan pembangunan desa BPJ barangkali juga merupakan tindakan yang keliru. Kelirunya adalah karena beliau sendiri ada dalam struktur pelaksana ICDP di desa BPJ dan beliaupun juga masuk kedalam pengurus kelompok kerja HAD.
REKAMAN PROSES TEMU KAMPUNG / MUSYAWARAH TOKOH MASYARAKAT DAN ADAT DI DESA TELENTAM
(NEGOSIASI PARA PIHAK)
Materi pertemuan : Musyawarah Tokoh Masyarakat dan Adat Rembuk bersama antara pihak yaitu Desa Telentam dan Desa Ngaol dalam hal menyepakati batas-batas wilayah administratif Desa Telentam.
Hari/Tanggal : Kamis, 15 Mei 2003
Tempat : Rumah Hasan Dusun Tengah Desa Telentam
Waktu : Jam 10.13 s/d 14.30 WIB
Fasilitator : Abdul Hadison
Co Fasilitator : Idris Sardi
Pencatat Proses : Ibnu Adrian (Dudung)
Peserta Mustodat :
No | Nama | Utusan |
1 | Z. Umar | Kepala Desa Telentam |
2 | Hasan | Tokoh Adat Desa Telentam |
3 | Abdullah (Bedul) | Tokoh Masyarakat Desa Telentam |
4 | Ansori | Tokoh Pemuda Desa Telentam |
5 | Idil | Kepala Desa Ngaol |
6 | M. Nur | Tokoh Adat Desa Ngaol |
7 | Tando | Tokoh Pemuda Desa Ngaol |
8 | Najmi AM | Ketua BPD Desa Ngaol |
Rekaman Proses :
Kegiatan ini dimulai langsung ke point permasalahan yaitu menentukan batas-batas antara Desa Ngaol dengan Desa Telentam. Hal ini terjadi karena dua hal, pertama; dari proses pengkondisian (Pra mustodat), tim yang datang ke Desa Ngaol (satu orang dari tim program & satu orang warga Desa Telentam) sudah cukup dikenal sehingga dalam proses sosialisasi tentang maksud dan tujuan kegiatan serta program sendiri dapat dengan mudah dipahami ditandai dengan kesadaran warga Ngaol akan pentingnya batas wilayah yang jelas untuk administratif desa dan pembangunan serta pengembangan desa, kedua ; warga Ngaol dan Desa Telentam berasal dari satu keturunan dimana menurut sejarah negerinya Desa Ngaol dibangun oleh kakak tertua (Datuk Paduko Rajo), Desa Air Liki dibangun oleh kakak tengah (Datuk Langkah Besar) dan Desa Telentam oleh adik yang bungsu (Datuk Rajo Moyang = perempuan). Jadi kekerabatan yang sangat erat ini harus dipelihara sehingga proses yang terbangun dalam musyawarah (mustodat) lebih kurang layaknya adik-beradik berbincang-bincang, tanpa harus difasilitasi atau dipandu betul. Dalam proses ini dimulai dengan pembicaraan batas wilayah Rajo (dimana dulunya) wilayah tiga desa tersebut masih dalam wilayah kekuasaaan Rajo Mendaro Langit, Terutung- Kerinci). Untuk melihat kembali batas wilayah “ negri nan betigo” semua peserta menyerahkan penjelasannya kepada Bapak Moh. Nur (mantan kades, mantan Datuk Paduko Rajo dan sekarang bergelar Datuk Melintang Bumi). Dalam rangka mengikuti musyawarah batas ini ternyata sang datuk telah mempersiapkan beberapa bahan yang berupa tulisan-tulisan tempo dulu dan sebuah “tembo” yang berisikan kejelasan titik-titik batas mulai dari wilayah ‘ rantau nan tigo’ (Air Liki, Ngaol, Telentam) dan batas antara masing-masing negri. Bapak Moh.Nur mencoba menguraikan batas-batas dan menunjukkan di dalam sebuah peta yang juga telah dibawanya.(sebuah peta topografi yang didapatnya sejak dulu), beliau menegaskan batas ke negri Ngaol dengan negeri Telentam “ Negeri telentam berbatas dengan Negeri Ngaol mulai dari Lubuk Kalilawar yang ada disungai Malanca naik ke Bulut Lipai terus menuju Bulut Durian turun ke hulu sungai nan kecil lepas ke Sungai Selayau”. Wilayah selatan Batang Telentam diatur oleh Datuk Rajo Moyang sedangkan wilayah selatan Batang Ngaol diatur oleh Datuk Paduko Rajo, bagi anak negeri nan tigo boleh masuk membuka kebun/behumo di tanah rajo dengan dibawah pengaturan tiga datuk tersebut. Dari penjelasan tersebut tiap peseta paham bahwa : 1). terdapat ‘tanah rajo “’ di tiap wilayah negeri (red : sekarang desa), jadi dari keterangan tersebut diketahui ada 2 wilayah ‘tanah rajo’ antara Desa Telentam dan Desa Ngaol ( lihat sketsa), 2). batas antara negeri Telentam dan Ngaol tidak langsung bertemu di bagian rimbonya (terdapat tanah rajo yang memisahkan batas wilayah 2 desa), 3). ada atau terdapat wilayah yang bisa dimanfaatkan bersama oleh warga 3 desa ( Air Liki, Ngaol dan Telentam), 4). perlu adanya kesepakatan baru yang mengatur tentang batas wilayah administratif antar desa agar dapat memudahkan pemanfaatan sumber daya dan pengaturan administratif yang berhubungan dengan tatanan sosial dan pemanfaatan lahan masyarakat serta tetap menjamin ketersediaan lahan dan menjaga keutuhan sumber daya untuk anak cucu di kemudian hari.
Selama proses ini berlangsung semua peserta mencermati dengan baik diselingi gurauan-gurauan, antara Kades Ngaol dan Telentam terdengar perbincangan akan rencana memasukkan perusahaan perkebunan di sekitar daerah Sungai Selayau.
Proses selanjutnya fasilitator mengajak semua peserta fokus membicarakan penentuan batas baru dan membangun kesepakatan terhadap batas yang nanti dihasilkan.
Fasilitator : Baiklah mamak-mamak dan datuk-datuk sekalian setelah kita melihat kondisi wilayah kita tadi dimana ada wilayah tanah negeri ( Telentam dan Ngaol) dan ada “tanah rajo” maka sekarang silahkan siapa yang lebih dulu akan menyampaikan usulan batas baru untuk dijadikan batas wilayah administrasi desa (diam sesaaat untuk melihat respon peserta) bagaimana kalau dari Telentam duluan!
Kades Telentam : Yo, kalau ambo terserah mamak (sambil menunjuk datuk Melintang Bumi dari Ngaol)
Pernyataan Kades Telentam disambut senyuman peserta sedangkan Pak Moh.Nur (Datuk Melintang Bumi dari Ngaol) diam agak bingung lalu menegaskan bahwa batas dari orang tua dulu ada di Lubuk Kalilawar dalam Sei. Malanca.
Kades Telentam : Itu iyo, kini yang bebateh ke rimbonyo kemano?
Peserta saling berbisik kembali bergurau.
Fasilitator : (sambil tersenyum) Saya pikir kita yang beradik kakak ini saling terbuka saja, silahkan memberikan penawaran yang tentunya sudah dipersiapkan berdasarkan musyawarah yang sudah dilakukan di kampung atau desa masing-masing baiklah saya coba sampaikan berdasarkan hasil musyawarah ninik mamak di Telentam batas wilayah administrasi desa adalah seperti ini (sketsa terlampir)
Setelah itu para utusan dari Ngaol mendengar dan memperhatikan dengan cermat, semuanya terdiam.
Datuk Moh. Nur : Batas negeri Telentam kalo menurut suri-suri batas rang tuo dulu ‘ ninik nau terbang’ mulai dari Lubuk Kalilawar di Sei. Malanca terus menuju Lubuk Batu Guling lepas ke Bukit Lipai mengikuti pematang menuju Bukit Durian dan turun ke hulu Sei. Mau Kecil dan memotong Sei. Selayau (Lubuk Batu Tunggul). Untuk wilayah selatannya;mulai dari Sei. Malnca naik ke pematang parit dan turun ke Lubuk Gambir terus ke G. Senggirik lepas di Batang Maliki.
Kades Telentam : Iyo itu benar, tapi kini ko kito nak membuek batas baru karena batas nan itu masih ado tanah-tanah rajo yang boleh dimanfaatkan anak nan tigo negeri.
Hal itu dibenarkan oleh Kades Ngaol (datuk Paduko rajo), ditegakkanya “ maka dari itu kini kita datang ke Telentam untuk membuat kesepakatan batas baru untuk mempertegaskan batas administratif desa, agar anak-anak kito yang sudah membuka ladang/ behumo mendapat kejelasan & ketegasan peserta sekalian sepakat /setuju akan maksud yang disampaikan oleh Kades Ngaol maka kembali para peserta berfikir kembali tentang kesepakatan batas baru yang akan dihasilkan (Masing-masing mencoba mengkaji kembali)
Idris Sardi : Saya ada usul, begini ; bagaimana jika batas wilayah desa tetap pada batas lama dan untuk tanah-tanah rajo kita petakan juga serta dibuat atau dipertegas peruntukan pemanfaatannya untuk anak cucu yang berasal dari 3 negeri ( Air Liki, Ngaol, Telentam) dalam bentuk piagam kesepakatan 3 desa tersebut.
Dari usul tersebut, para peserta mencoba melihat wilayah “ tanah rajo” yang terdapat diantara Desa Telentam dan Ngaol. Identifikasi wilayah tanah rajo ini dilakukan diatas Peta Topografi yang telah diperbesar skalanya ( 1:50 000 menjadi 1: 25000) Hasil pembahasan dan Identifikasi secara jelas memperlihatkan terdapat dua wilayah “tanah rajo” yang terletak di wilayah bagian utara dan dibagian selatan . (Hasil digambarkan ulang baik diatas peta topografi maupun sketsa batas wilayah).
Pada awalnya usul Sdr. Idris Sardi diterima oleh semua peserta kemudian Pak Kades Telentam berpendapat: menurut saya yang kita lakukan adalah membuat atau mempertegas batas wilayah administratif desa jadi bagaimana jika 2 wilayah tersebut masuk ke wilayah telentam tetapi status atau penggunaannya tetap oleh anak nan 3 negeri (Air Liki, Ngaol,Telentam).
Kades Ngaol : Itu boleh juga,tapi bagaimana jika dibagi 2 (tengah-tengahnya), bagaimana mak? (bertanya ke Datuk Melintang Bumi- Moh. Nur)
Moh.Nur : Ya terserah saja asal dapat disepakati dan tetap dapat dibuka oleh warga /masyarakat yang ada di 3 desa tersebut.
Idris Sardi : Bagaimana jika wilayah tanah rajo tersebut tetap kita petakan dan mengenai penggunaannya serta batas-batasnya dibuat piagam kesepakatannya dan kita tanda tangani bersama termasuk juga masyarakat Desa Air Liki, Ngaol dan Telentam jadi apakah masih ada tanah rajo yang lain, apakah antara Desa Ngaol dan Desa Air Liki masih terdapat lokasi tanah rajo?
Kades Ngaol : Ooh, tentu saja ada seperti di wilayah Bukit 7 pintu koto dan banyak lagi yang lain.
Datuk Moh. Nur : coba saya bacakan tembo lamo
Selama Datuk Moh.Nur membaca tembo semua peserta mendengarkan dan coba mereka-reka wilayah yang dimaksud, setelah selesai baru semua peserta menyadari luas wilayah “ ninik mau terbang” yang sampai ke beberapa kabupaten (Pelepat , Bungo) hingga ke wilayah kab. Kerinci terus ke Sumatera Barat, setelah itu Datuk Moh. Nur menjelaskan bahwa dulunya Kerinci Residenan Sumatera Barat. (Tembo tersebut ditandatangai oleh seorang Controleur Belanda tahun 1897).
Fasilitator : Jadi kalo begitu bagaimana kita membuat ‘batas wilayah negeri baru (Rekontruksi batas) yang tujuannya jelas untuk mempertegas wilayah administrasi desa sedangkan sistem pemanfaatannya seudah jelas dan dilahirkan dalam betuk piagam kesepakatan.
Kades Ngaol: Ya saya setuju itu, kita selesaikan dulu batas Ngaol dan Telentam.
Semua peserta sepakat, kemudian Kades Telentam bertanya: jadi bagaimana mak kalo kito buek batas Telentam- Ngaol ke barat mulai dari Lubuk Kalilawar naik ke pematang Padun Meranting terus mengikuti pematang menuju Bukit Bakabut jadi pas di tengah-tengah antara Batang Telentam dan Batang Ngaol turun ke Batang Selayau sedangkan ke bagian selatan mulai dari Lubuk kalilawar naik ke Bukit Pematang parit turun ke Talun Tujuh.
Moh.Nur (Ngaol) : Atau begini sajalah karena saat ini Datuk Rajo Gemuyang tidak ada, tadi sudah dijemput dio dak bisa karena lagi gotong royong maka tawarannya apakah adik (Telentam) mau ambil yang bawah (sampai Batang Maliki) atau ambil yang atas (kampung Selayau) silahkan diskusikan dulu baru hasilnya dibawa atau kita ketemu lagi di Pesanggrahan Ngaol.
Semua peserta sepakat, dan Kades Telentam berjanji untuk bertemu di Ngaol dan membawa rombongan.
Fasilitator : saya liat dari tadi abang (Ngaol) diam dan seolah-olah ada yang masih dibingungkan atau dirisaukan, kalo lah benar mungkin ada yang difikirkan silahkan disampaikan sebelum kita tutup.
Tando : Iyo, ado yang ambo risaukan mengenai batas kito dari Lubuk Kalilawar ke pematang Padun Meranting, disitu banyak sekali jurai-jurai (pematang) jadi Sungai Salak itu masuk wilayah desa mano? Sebab ambo lah ada yang membuek kebun di situ dengan beberapa kawan dan dak ado orang Telentam yang masuk ke situ.
Kades Telentam : O… kalo itu dak jadi masalah , Sei. Salak kan sebelah mudik dan kalo lah dimasuki oleh orang Ngaol ( tidak ada orang Telentam) dan dalam pembuatan batas kita tidak secara “ tembak lurus” (pake kompas agar tepat lurus ) ya kan dik?
Fasilitator : Iya ,betul sekali yang kita gunakan adalah GPS seperti ini alatnya dan dalam pengambilan titik batas juga diikuti oleh utusan dari masing-masing desa. Tapi yang menarik juga disampaikan oleh abang tadi menurut saya yang ingin abang tegaskan adalah masalah hak pemanfaatan lahan dan untuk itu kan sudah kita sepakati tadi bahwa batas yang kita buat bukanlah batas wilayah kelola/pemanfaatan tapi batas administrasi yang memudahkan kita dalam hal kepengurusan formal/ yang berhubungan dengan pemerintah, jadi silahkan saja siapa yang memanfaatkannya salah satu anak dari tigo negeri.
Kemudian acara ini selesai dengan konsekuensi menunggu masyarakat desa Telentam berembuk/mustodat kembali atas tawaran yang diberikan Ngaol dan berjanji akan diselesaikan/diselenggarakan dalam minggu ini. selanjutnya semua peserta makan bersama sebelum pulang ke tempat masing-masing.
Hasil Pertemuan :
Dari pertemuan ini belum dapat dicapai kata sepakat untuk batas-batas desa, karena kepala desa tidak berani mengambil keputusan tanpa kehadiran Datuk Rajo Gemuyang sebagai Pimpinan Adat tertinggi Desa Telentam, namun kedua belah pihak bersepakat untuk mengadakan pertemuan ulang dimana pihak dari Desa Ngaol bersedia untuk menjadi tuan rumah pada pertemuan selanjutnya.
— 00000 —
REKAMAN PROSES TEMU KAMPUNG / MUSYAWARAH TOKOH MASYARAKAT DAN ADAT DI DESA TELENTAM
(NEGOSIASI PARA PIHAK)
Materi pertemuan : Musyawarah Tokoh Masyarakat dan Adat Rembuk bersama antara pihak yaitu Desa Telentam dan Desa Sungai Tabir dalam hal menyepakati batas-batas wilayah administratif Desa Telentam.
Hari/Tanggal : Selasa, 13 Mei 2003
Tempat : Surau Dusun Kampung Tengah Desa Telentam
Waktu : Jam 20.13 s/d 22.50
Fasilitator : Abdul Hadison
Co Fasilitator : Ibnu Adrian (Dudung)
Pencatat Proses : Reki
Peserta Mustodat : 4 Orang dari Desa Sungai Tabir 15 Orang dari Desa Telentam
No | Nama | Utusan |
1 | Z. Umar | Kepala Desa Telentam |
2 | Usman | Kepala Desa Sungai Tabir |
3 | Abusri | Anggota BPD Desa Telentam |
4 | Mansur | Pemuka Adat Desa Telentam |
5 | Idrus | Kaur Pembangunan Desa Sungai Tabir |
6 | Umar | Pemuka Adat Desa Sungai Tabir |
7 | Na’i | Pemuka Adat Desa Sungai Tabir |
8 | Sudir | Anggota Masyarakat Desa Telentam |
9 | Murad | Anggota Masyarakat Desa Telentam |
10 | Burokat | Anggota Masyarakat Desa Telentam |
11 | Muluk | Anggota Masyarakat Desa Telentam |
12 | Alaisa | Anggota Masyarakat Desa Telentam |
13 | Usman | Anggota Masyarakat Desa Telentam |
14 | M. Boy | Pemuda Desa Telentam |
15 | Hasan Basri | Tokoh Masyarakat Desa Telentam |
16 | Alaysa AM | Tokoh Masyarakat Desa Telentam |
17 | M. Husin | Sekretaris Desa Telentam |
18 | Tarmizi | Anggota Masyarakat Desa Telentam |
19 | Jamal | Anggota Masyarakat Desa Telentam |
Rekaman Proses :
Musyarwarah dilakukan untuk menetapkan dan menegaskan kembali tapal batas desa Telentam dengan desa-desa yang ada disekitarnya yaitu desa ngaol, desa Nalo Tantam, desa kibul dan desa Sungai Tabir. Utusan desa yang hadir pada saat ini yaitu utusan dari desa Sungai tabir yaitu Bpk. Nai (Lembaga Adat) Bpk. Umar (Pemuka Adat dengan gelar Panglima Data) Bpk Mansur (Kepala Desa) dan Bpk Idrus (KaUr Pemerintahan Desa). Utusan dari desa Ngaol tidak hadir pada karena mereka telah datang ke desa Telentam dan bermusyawarah pada pagi harinya sedangkan dengan desa-desa tetangga lainnya dijadwalkan pada hari lainnya.
Kegiatan musyawarah ini dibuka oleh fasilitator dan pada awal musyawarah ini suasana sangat akrab. Setelah musyawarah dibuka oleh fasilitator maka dipersilahkan kepada utusan dari desa Sungai tabir untuk memaparkan pendapatnya tentang dimana letak dari batas antara desa Sungai tabir dengan desa Telentam. Menurut Bpk Umar letak batas desa telentam dengan desa Sungai tabir adalah arah kebatang pauh yaitu dari Batu ciri menuju kebukit pauh mengikuti pematang pauh melayang sungai melikan terus ke sungai Batang Kibul sedangkan yang arah kemaliki yaitu dari batu ciri naik ke pematang bukit senggerik turun ke ranah kemumu dan terus ke lubuk gambir.
Datuk Rajo Muyang, pemuka adat dari Desa Telentam juga memaparkan pendapatnya tentang batas desa Telentam dengan desa Sungai Tabir. Menurut beliau mengenai batas yang kearah Batanhg pauh tidaklah masalah dan iapun merasa sependapat tetapi mengenai batas yang kearah maliki menurut Datuk Rajo Muyang bahwa berdasarkan pada batas lama Telentam dengan wilayah Kibul (pada waktu itu desa Sungai Tabir bagian dari desa Telentam) adalah di Muaro patekun maka selayaknya pula batas saat ini juga Muaro Patekun.
Adanya perbedaan pandangan ini tidak membuat musyawarah terhenti tetapi musyawarah ini terus berjalan dengan suasana akarab dan penuh tawa walau sempat terjadi ketegangan ketika kedua pihak berusaha mempertahankan pendapatnya masing-masing namun pada akhir musyawarah dapat disepakati oleh kedua belah pihak bahwa batas yang mengarah ke dusun Maliki yaitu dari batu ciri naik menyusuri kepematang bukit Senggerik dan terus ke Muaro Patekun.
Fasilitator : Silahkan apakah dari Desa Telentam atau desa Sungai tabir yang lebih dahulu memaparkan mengenai letak batas antara kedua desa
Setelah dipersilahkan Kepala Desa Telentam juga turut mempersilahkan kepada utusan dari Desa Sungai Tabir untuk lebih dahulu memaparkan letak batas-batasnya. Setelah dipersilahkan maka Pak Umar dari desa Sungai tabir memaparkan pendapatnya mengenai batas kedua desa
Bpk Umar : Perbatasan dulukan lubuk alang bintung tetapi karena adanya kejadian masa lalu maka batasnya yaitu Batu ciri menuju kebukit pauh mengikuti pematang pauh melayang sungai melikan terus ke sungai Batang Kibul sedangkan yang arah kemaliki yaitu dari batu ciri naik ke pematang bukit senggerik turun ke ranah kemumu dan terus ke lubuk gambir.
Pemaparan tentang batas ini ditanggapi oleh Kepala Desa Telentam menurut beliau bukanlah turun di Lubuk Gambir tetapi di Muaro Sungai Patekun dan pernyataan Kepala Desa Telentam ini ditegaskan kembali oleh Datuk Rajo Muyang.
Datuk Rajo Muyang : Pada hakikinya batas kami dengan kibul pada waktu itu desa Sungai tabir dalam wilaya Telentam yaitu batasnya Talun di Sungai Patekun jadi menurut kami batas desa Telentam dengan desa Tabir yang kearah maliki ya… batas Telentam dengan kibul yang dulu.
Mendengar pernyataan Datuk Rajo Muyang, Pak Umar utusan dari desa Sungai Tabir terdiam sedangkan peserta musyawarah saling berbisik membahas pernyataan dari Datuk Rajo Muyang, setelah sekian lama terdiam pak Umar akhirnya bebicara dengan mimic wajah menampakkan rasa tidak senang.
Bpk Umar : yo…teserah di awaklah mano di awak semua senang.
Kades Telentam : Jangan seperti itu…maunya batas yang kita buat ini tidak akan menjadi masalah pada anak cucu kita.
Sambil menggelengkan kepala dan tersenyum Pak umar berkata
Bpk Umar : yo…lah biar kami ambik pertengahannyo bae antarao muaro Patekun dan Lubuk Gambir cak mano kalo di lubuk basung bagi kami cukuplah….yang penting orang sungai tabirkan masih boleh bekebun diwilayah desa Telentam dan juga orang desa Telentam juga boleh bekebun di wilayah tabir.
Bpk Umar : Batas itu kan hanya batas desa kalo nak bekebun dimano nak bekebun bolehlah bukan begitu…
Semua peserta tertawa dan mengiyakan pernyataan pak umar yang disampaikan dengan mimik yang mengundang tawa.
Fasilitator : Jadi tadi ada tawaran dari desa Sungai Tabir bahwa batas desa Telentam dan desa Sungai tabir yang dimaliki adalah Lubuk Basung silahkan Datuk dan Bapak-bapak memikirkan tawaran itu.
Tawaran ini ditolak oleh Kepala desa Telentam dan Datuk Rajo Gemuyang mereka menginginkan batasnya adalah Muaro Patekun dengan alasan bahwa batas lama adalah Muaro Patekun dan di Dusun Maliki penduduknya adalah warga desa Telentam. Penolakan ini mengakibtkan perdebatan antara utusan dari desa Sungai Tabir dan desa Telentam. Fasilitator menengahi perdebatan ini dengan membentangkan peta Sungai Jernih yang didalamnya termasuk wilayah desa Telentam dan desa Sungai tabir. Fasilitator menjelaskan gambar danta tanda peta yang ada serta menunjukkan letak muaro patekun dan menentukan jarak dari Muaro Patekun ke lubuk Gambir dan Lubuk basung sehingga kedua belah pihak jelas dimana letak batas yang diusulkan oleh kedua belah pihak.
Setelah adanya penjelasan itu maka utusan dari desa Sungai tabir dapat menerima usulan dari Datuk Rajo Muyang dan Kades Telentam, namun ketika fasilit6ator menanyakan apakah ini berarti desa Sungai tabir sepakat dengan usulan desa telentam, kembali utusan dari desa sungai Ttabir berdiam diri dan ketika pertanyaan itu diulang kembali, Pak Umar menyerahkan kepada Kepala Desa Sungai Tabir untuk memutuskannya namun Kades Sungai Tabir mempersilahkan Pak Umar saja yang memutuskannya. (terjadi tolak menolak antara Pak Umar dengan Kepala Desa Sungai Tabir) akhirnya Pak Nai yang juga utusan dari desa Sungai Tabir menegaskan bahwa pada saat ini Pak Umar adalah orang yang dituakan oleh masyarakat desa Sungai Tabir maka Pak Umarlah yang harus memutuskan apakah sepakat atau tidak.
Akhirnya Pak Umar (Panglima Datar) menyatakan bahwa “…kami utusan dari desa Sungai Tabir menyatakan sepakat dengan desa Telentam” setelah menyatakan sepkat ini Pak Umar mengetukkan tangannya kelantai sebanyak tiga kali dengan tujuan agar mirip seperti rapat anggota dewan (DPR) pernyataan ini disambut tepuk tangan dan tawa dari seluruh peserta mustodat. Setelah semua tawa reda utusan dari desa Sungai Tabir pamit dengan seluruh peserta musyawarah.
Pak Umar : Lah kan dak ado masalah lagi ha..kalu cak itu kamiko nak balek lah kerano masih ado yang nak kami urus…
Setelah Pak umar pamit maka semua peserta membubarkan diri dan saling bersalaman terlihat semua peserta puas dengan keputusan pada saat itu . fasilitator meng informasikan bahwa saat pengambilan batas akan diberitahukan pada beberapa hari lagi.
— 00000 —
Catatan :
Tidak semua pembicaraan dalam pertemuan ini mampu dicatat oleh pencatat proses karena selama pertemuan peserta seringkali membangun dialog-dialog sesama mereka sehingga banyak sekali tema-tema pembicaraan yang mencuat ke permukaan dan bahkan ada yang tidak relevan dengan muatan pertemuan.
Tulisan ini disalin ulang oleh LSM PRAKARSA MADANI dari Laporan Peninjauan II Saudara Ali Ibrahim, Mahasiswa Jurusan Ilmu Pendidikan dan Pekerjaan Kemasyarakatan FKIP Univ. Padjadjaran, Bandung, Tahun 1962.
I. Kekuasaan Tertinggi.
Kekuasaan tertinggi dipegang oleh suatu majelis yang terdiri dari tujuh orang. Ketujuh orang itu sama tinggi kedudukannya. Majelis ini bernama “Datuk Berempat – Menti Bertigo”. Datuk berempat melambangkan bahwa negeri ini ada hubungannya dengan “Basa Ampek Balai” di Minangkabau. Menti Betigo melambangkan bahwa penduduk negeri ini terdiri dari tiga alur. Datuk Berempat – Menti Betigo jumlahnya tujuh orang: angka tujuh ini hikmahnya untuk mengimbangi “Piagam nan Tujuh Pucuk” di Kerinci.
Datuk Berempat berasal dari keluarga Datuk Putih dan keluarga Datuk Mangkuto Marajo. Yang berasal dari keluarga Datuk Putih ialah Datuk Penghulu Mudo dan Datuk Penghulu Kayo. Dan yang berasal dari keluarga Datuk Mangkuto Marajo ialah Datuk Bandaro Kayo dan Datuk Majo Bantan.
Masing-masing Datuk Berempat mempunyai wakil:
- Wakil Datuk Penghulu Mudo ialah Rajo Mananti
- Wakil Datuk Penghulu Kayo ialah Sempono Kayo
- Wakil Datuk Bandaro Kayo ialah Rajo Malendan
- Wakil Datuk Majo Bantan ialah Rajo Malintang
Keempat orang wakil ini disebut “Anak Gadang nan Berempat”. Mereka adalah anak timangan Datuk Berempat. Diibaratkan sebagai burung perkutut diujung jari: makan di tapak tangan, mengisap ka ujung kuku.
Menti Batigo diangkat dari orang Batin: diantaranya dari keluarga Depati Muara Langkap. Ketiga orang Menti itu masing-masing bergelar : Rio Niti, Rio Gemalo, dan Rio Sari*.
Antara Datuk Berempat Menti Betigo, haruslah diciptakan kerjasama yang sebaik-baiknya. Hal ini sinyatakan dengan kata-kata adat yang berikut:
Datuk Berempat sebagai Bapak,
Menti Betigo sebagai Induk,
Belalang Datuk Berempat,
Padang Menti Betigo
Merebah Datuk Berempat,
Cemeteh Menti Betigo
Peti nan begawang pada Menti nan Betigo
Anak Kuncinyo pada Datuk nan Berempat.
Dibawah Datuk Berempat Menti Betigo ini, kalau yang dinamakan “Nan Bejenjang Naik, Betanggo Turun” yaitu ninik mamak-ninik mamak yang masing-masingnya mengepalai sebuah kampung. Merekalah yang merupakan badan eksekutif yang langsung berhubungan dengan anak kemenakannya.
Jabatan Datuk Berempat Menti Betigo dan Nan Bejenjang Naik, Betanggo Turun ini, diwariskan menurut garis ibu; jadi kepada kemenakan. Jika menurut garis ibu tidak ada lagi yang patut, barulah jatuh kepada anak dengan jalan meresmikan secara adat.
II. Pembagian Tugas
Untuk memudahkan jalannya pemerintahan, maka diadakanlah pembagian tugas. Demikianlah Datuk Berempat Menti Betigo disamping menjadi anggota majelis tertinggi, ketujuh orang tersebut merangkap pula tugas-tugas tertentu:
- Datuk Berempat
- Datuk Penghulu Mudo, disamping menjadi anggota majelis tertinggi ia bertugas mengurus hubungan dengan negeri lain dan mengurus orang-orang yang keluar masuk.
- Datuk Penghulu Kayo, disamping menjadi anggota majelis tertinggi ia bertugas mengurus keramaian-keramaian yang diadakan, nan taisak-isak dilebuh.
- Datuk Bendaro Kayo, disamping menjadi anggota majelis tertinggi, ia bertugas mengurus perkara-perkara kejahatan seprti pembunuhan, perkelahian dan sebagainya. Menurut kata-kata adat urusan Datuk Bendaro Kayo ini disebut: darah teserak, daging tekuak.
- Datuk Rajo Bantan, disamping menjadi anggota majelis tertinggi, ia bertugas mengurus pertambangan. Atau ada orang akan membuka tambang emas, haruslah diberitahukan kepadanya terlebih dahulu. Menurut kata-kata adat urusan Datuk Bendaro Bantan ini disebut: ditebat nan tegenang, dibandar nan tajelo.
- Menti Betigo
Menti Betigo disamping menjadi anggota majelis tertinggi, masing-masing mereka bertugas menjadi Kepala Dusun (Rio) yang diberi kekuasaan untuk memerintah beberapa buah kampung yang berpusat di Dusun tempat kedudukan masing-masing Rio tersebut.
Selain dari itu mereka bertugas pula mengurus “air beralih, pulau menjurung” (maksudnya ialah tanah-tanah pertanian yang diruntuhkan oleh aliran sungai yang berubah-0ubah dan kemudian dapat dijadikan tanah pertanian kembali bila tanahnya telah timbul) dalam daerah masing-masing.
- Rio Niti, berkedudukan di Dusun Baru dan ia bertugas mengepalai serta mengurus Kampung nan IV.
- Rio Gemalo, berkedudukan di Dusun Nangko dan ia bertugas mengepalai serta mengurus Orang Tigo Alur.
- Rio Sari, berkedudukan di Dusun Sungai Jering dan ia bertugas mengepalai serta mengurus Kampung VIIIg
III. Agama
Untuk mengurus hal-hal yang berhubungan dengan agama, diangkat tiga orang pegawai agama:
- Imam
- Khatib
- Bilal
IV. Pengawas
Untuk mengamat-amati jalannya Undang-undang Adat, diangkatlah seorang pengawas yang diberi gelar “Rajo Malenggang”. Dialah yang akan mengetahui lebih dahulu jika ada dalam masyarakat terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-undang Adat. Rajo Malenggang berkewajiban memneri laporan kepada sidang Datuk Berempat Menti Betigo, jika ada cermin nan kabur, lantak nan goyah, buek nanlah berubah dan pakai nanlah terjun.
V. Pengadilan.
Perkara yang kecil-kecil diadili oleh ninik mamak-ninik mamak dimana kekuatan itu terjadi. Jika tidak putus oleh ninik mamak setempat dibawahlah kedalam sidang Datuk Berampat Menti Batigo. Sidang Datuk Berampat Menti Batigolah yang merupakan pengadilan yang tertinggi dan mereka berhak menjatuhkan hukuman atau denda kepada sipelanggar, sesuai dengan undang-undang adat.
Demikianlah garis-garis besar dari pada ketetapan-ketetapan Datuk Putih dan Datuk Mangkaro Marajo yang diresmikan sewaktu perhelatan besar di Pondok Pekan Puaso. Sementara itu Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo tidak aktif lagi memerintah. Mereka hanya bertindak sebagai penasehat saja sampai mereka meninggal dunia. Pemerintahan dijalankan oleh Datuk Berempat Menti Batigo serta nan Bajenjang Naik, Batanggo Turun. Pada waktu itu warga Pangkalan Jambu merupakan sebuah kerajaan keci yang bernaung dalam kerajaan Jambi.
Sejak masuknya kekuasaan penjajahan Belanda kedesa ini pada tahun 1901, sistem pemerintahan secara adat terus berlangsung, tetapi kemudian untuk hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah Belanda. Hukum-hukum adat setempat masih tetap dihormati pemerintah Belanda.
Dewasa ini dalam hal-hal yang berhubungan adat istiadat, masih berkuasa Datuk Barempat Menti Batigo. Tetapi untuk urusan-urusan yang berhubungan dengan pemerintah atasan, dikepalai oleh seorang Pasirah atau Kepala Marga.
VI. Asal Nama Pangkalan Jambu.
Dahulu, Marga Pangkalan Jambu bernama Renah Sungai Kunyit. Kemudian setelah terbentuknya pemerintahan Datuk Barempat Menti Batigo, datanglah raja Jambi beserta beberapa orang pengiringnya melihat keadaan negeri ini. Ditepian Dusun Nangko ada sebatang pohon Jambu. Sewaktu raja sampai ketempat ini, berhentilah ia dan perahu tersebut ditambatkannya pada batang jambu itu. Sejak itu raja menamakan negeri ini Pangkalan Jambu. lama kelamaan nama pangkal jambu berubah menjadi Pangkalan Jambu. Setelah itu dikenal orang negeri ini Pangkalan Jambu. Dari tahun 1901 sampai dengan tahun 1926 Pangkalan Jambu bernama “ Distrik Datuk Barempat Pangkalan Jambu “ dan mulai dari tahun 1926 sampai sekarang bernama Marga Pangkalan Jambu.
VII. Asal Usul Penduduk Marga Pangkalan Jambu.
Sebagian besar dari penduduk Pangkalan jambu berasal dari Minang Kabau, karena orang Minang Kabaulah yang mula-mula membuka negeri ini dibawah pimpinan Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo, kira-kira pada akhir abad ke-XIV.
Golongan penduduk yang kedua berasal dari Kerinci terutama dari Tamiai dan pulau Sangka, yaitu keturunan kaum keluarga Depati Muara Langkap.
Selain itu ada pula yang berasal dari daerah Palembang, Luhak XVI dan Muko-Muko yang disebut daerah Pesisir Balik Bukit.
Antara pendatang-pendatang dari berbagai daerah itu terjadi percampuran darah karena perkawinan atau semendo-menjemendo. Karena hal ini telah berlangsung beratus-ratus tahun, maka penduduk Pangkalan Jambu sekarang ini umumnya memopunyai hubungan kekeluargaan satu sama lainnya.
VIII. Asal Usul Mata Pencaharian Penduduk.
Asal usul mata pencaharian penduduk MArga Pangkalan Jambu pada zaman dahulu, ialah menambang dan mendulang emas. Tetapi kemudian disamping mencari emas, mereka juga membuka ladang dan sawah. Sejak dibukanya lahan pertanian, maka bertani dan menambang emas merupakan dua mata pencaharian yang sama pentingnya. Selain dari bertani dan menambang emas, penduduk juga memelihara ternak. Dewasa ini yang menjadi mata pencaharian pokok penduduk ialah bertani. Menambang atau mendulang emas, berternak hanya merupakan pekerjaan sambilan. Semenjak terbukanya hubungan lalu lintas mobil ada sebagian kecil penduduk yang hidup dari perdagangan.
IX. Perubahan – Perubahan Sosial.
Suatu kebiasaan yang telah teradat di desa ini ialah mengadakan perhelatan dan kendurian bila ada kematian dan peristiwa-peristiwa lainnya. Dalam hal ini akan dititik beratkan pada peristiwa kematian. Peristiwa kematian merupakan suatu kejadian yang harus diikuti oleh beberapa kali perhelatan. Prosesnya demikian : Bila ada seseorang meninggal dunia, maka perhelatan diadakan pada bilangan-bilangan hari yang ketiga, ketujuh, dua kali tujuh (hari keempat belas), hari yang keempat puluh dan bilangan hari yang keseratus. Semakin besar bilangan harinya semakin besar pulalah jamuan yang diadakan. Lebih-lebih lagi bagi keluarga yang tergolong dalam keluarga yang mampu.
Jika ditinjau secara ekonomis, maka perbuatan tersebut merupakan pemborosan belaka. Tetapi sebaliknya masyarakat memandang hal ini lah yang menentukan kedudukan sosial seseorang. Bagi keluarga-keluarga yang tidak mampu mereka menggadaikan sawah dan ladangnya untuk bisa mengadakan perhelatan guna menjaga nama baik mereka dalam masyarakat.
Berkat usaha dari ulama-ulama Islam dan organisasi Muhammdiyah sejak tahun 1938, maka kebiasaaan penduduk yang tidak ekonomis dan tidak menurut ajaran agama Islam yang sesungguhnya itu, dapat ditinggalkan secara berangsur-angsur, sehingga dewasa ini tidak ada lagi perhelatan menurut bilangan-bilangan hari tersebut diatas. Tetapi cukup hanya sekali kenduri sesuai dengan kemampuan keluarga yang meninggal dan hal ini tidak menjadi persoalan lagi bagi masyarakat.
Rencana semula Menti Betigo itu adalah : Rio Niti, Rio Gemalo dan Rio Menang. Tetapi karena sesuatu hal, Rio Menang tidak mau ikut serta. Sebab itu ia tidak hadir pada hari peresmian Undang-undang adat di Pondok Pekan Puasa. Untuk mencukupkan bilangan Menti ini sampai tigo orang, maka diangkatlah pada hari itu juga seorang Menti yang bergelar Rio Sari. Ia berasal dari orang berlima di Pondok Panjang Muara Sungai Bujur.
Sejak tahun 1909 Kampung VIII digabungkan oleh pemerintah Belanda masuk Marga Tanah Renah (Sungai Manau), karena penagihan pajak pada tahun-tahun sebelum tahun 1909, tidak beres oleh Kepala Distrik Pangkalan Jambu. Sebelum tahun 1909 perbatasan Marga Pangkalan Jambu dan Marga Tanah Renah aialah Sungai Sigata sebelah Timur Kampung Rumah Gedang sampai ke Kandang Balik dan kemudian mendaki ke hulu sengai Nagan.